eQuator.co.id – Jakarta-RK. Gempa-gempa berskala besar tiba-tiba bermunculan di berbagai penjuru dunia. Mulai dari Myanmar, Jepang, Ekuador hingga Tonga pun terkena imbas gempa dengan skala diatas 5 SR (Skala Richter).
Publik menjadi penasaran, apakah terdapat benang merah dari bencana gempa yang tiba-tiba melonjak. Terkait fenomena tersebut, pemerintah Indonesia harus segera melacak mana saja lokasi yang “matang” dan berpotensi gempa di daerahnya.
Menuruti informasi yang dihimpun dari situs Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS), telah terjadi delapan insiden gempa berskala besar dalam tujuh hari terakhir. Dimulai dari gempa berskala 6,6 SR di Ashkasham, Afghanistan. Fenomena tersebut terus berlanjut hingga gempa yang menimpa Kerajaan Tonga dengan skala 5,8 SR, Minggu (17/1).
Diantara banyak negara, Jepang memang menjadi negara paling terdampak dengan empat gempa dalam sepekan ini. Gempa tersebut kebanyakan terjadi di prefektur Kumamoto dengan puncak gempa berskala 7,3 SR. Menurut lansiran situs berita CBC, gempa tersebut membunuh 32 orang dan menyebabkan total korban tewas akibat gempa di Jepang menjadi 41.
Belum lagi korban jiwa yang ditimbulkan dari gempa di Ekuador. Gempa berskala 7,8 SR pada 17 April itu telah menelan sedikitnya 77 korban jiwa dan 1.500 hunian yang roboh karena dampak gempa, hingga menyebabkan longsor. Hal ini ditanggapi seismolog asal Universitas Coloradi AS, sebagai salah satu fenomena yang bisa berujung pada bencana gempa skala besar seperti yang terjadi di Nepal tahun lalu.
“Saya melihat ada sekitar empat lagi gempa dengan skala 8,0 SR ke atas. Hal itu seiring dengan beban yang yang ditanggung oleh wilayah-wilayah tersebut selama berabad-abad,” ujarnya dalam lansiran Daily Express.
Namun, hal tersebut dibantah oleh pakar gempa asal Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano. Gempa-gempa yang terjadi secara beruntun di beberapa negara tak berkaitan. Menurutunya, gempa-gempa tersebut memang sudah disebutkan sebagai potensi dalam publikasi badan geologi di setiap negara sebelumnya.
“Secara kebetulan saja, kejadian gempa tersebut terjadi hampir secara bersamaan. Tapi, gempa itu terjadi karena aktivitas tektonik di wilayah itu sendiri. Tidak adak faktor eksternal yang signifikan,” ujar Irwan.
Dia tak menampik, gempa di suatu wilayah bisa memicu gempa di wilayah lainnya. Contohnya, Gempa Nias pada 2005 yang secara teori dipicu oleh Gempa Aceh pada 2004. Namun, hal tersebut berlaku jika dua lokasi tersebut berdekatan. Sedangkan, jarak Myanmar, Jepang dan Ekuador sangat jauh dari Indonesia.
“Inti dari gempa adalah saat lokasi itu sudah matang. Dengan kata lain, aktifitas tektonik merupakan faktor paling utama dalam kasus-kasus gempa yang terjadi dalam beberapa hari ini,” terangnya.
Bantahan yang sama turut disampaikan Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Dia mengatakan, semua lokasi yang sedang aktif saat ini memang zona aktif gempa bumi. Dari setiap lokasi tersebut, memiliki karateristik tektonik masing-masing, termasuk tingkat kematangan akumulasi tegangan.
“Kawasan yang sedang terjadi gempa memang sudah saatnya terjadi pelepasan tegangan kulit bumi. Kebetulan saja ada aktivitas signifikan yang terjadi bersamaan. Saya melihat ini tidak ada yang istimewa,” tuturnya.
Dia mencontohkan untuk kasus Ekuador. Menurutnya, catatan kegempaan Ekuador menunjukkan bahwa hampir seluruh gempa bumi kuat yang terjadi disebabkan oleh aktivitas subduksi lempeng. Dalam hal ini Lempeng Nazca menyusup ke bawah Lempeng Amerika Selatan. Subduksi lempeng ini cukup aktif dengan laju penunjaman 40-53 mm per tahun.
Terkait kuatnya guncangan, dia mengatakan, itu dikarenakan zona subduksi ini lokasinya berdekatan dengan daratan. Sehingga setiap terjadi gempa kuat, selalu timbul banyak kerusakan, yang tak jarang menelan korban jiwa cukup besar.
Berdasarkan catatan sejarah sendiri, gempa bumi di negara ini memang sudah beberapa kali memporak-porandakan bangunan dan menelan banyak korban jiwa. Beberapa contohnya, gempa bumi Riobamba pada tahun 1797 M, 8,3 SR, menewaskan sekitar 40 ribu orang. Kemudian, gempa bumi Carchi 1868 M. Gempa berkekuatan 7,7 SR itu juga menewaskan sekitar 40 ribu orang.
Selanjutnya, gempabumi Esmeraldas 1906 M, dengan kekuatan gempa 8,8 SR. Akibat gempa berkekuatan besar itu, sebanyak 1.000 orang dilaporkan tewas. Lalu, gempa bumi Ambato tahun 1949 M dan gempa bumi Napo 1987M. Gempa berkekuatan 6,8 SR dan 6,9 SR itu menewaskan sebanyak 5.050 orang dan 1.000 orang di masing-masing lokasi.
“Gempa yang terjadi Minggu (17/4) juga demikian. Berdasarkan kedalaman hiposenternya, 19,2 kilometer. Ini merupakan jenis gempa bumi dangkal,” paparnya. Akibatnya, banyak bangunan rumah di berbagai tempat, termasuk hotel dan jembatan dilaporkan rusak berat. Sebanyak 41 orang dilaporkan tewas.
Berdasarkan analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi Ekuador ini dipicu oleh mekanisme penyesaran naik (thrust fault). Tataan tektonik dan data hiposenter gempa bumi, mendukung dugaan kuat bahwa gempa bumi darat ini terjadi akibat aktivitas subduksi lempeng.
Kondisi Indonesia
Terkait peristiwa gempa merusak di Ekuador ini, maka Indonesia harus segera mengambil pelajaran, selanjutnya mempersiapkan diri. Pasalnya, seperti halnya Ekuador, Indonesia juga memiliki banyak subduksi lempeng aktif.
Subduksi lempeng tersebut terdapat di sebelah barat Sumatera, Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan di Laut Banda. Selain itu, ada pula di sebelah Utara lengan Sulawesi juga terdapat zona subduksi, termasuk subduksi dobel di Lempeng Laut Maluku serta subduksi lempeng di sebelah utara Papua. Zona subduksi tersebut masih aktif, sehingga potensi terjadinya gempa bumi kuat akibat aktivitas subduksi ini sangat besar.
“Dibanding Ekuador, ancaman gempa subduksi lempeng jauh lebih besar di negara kita. Kita seolah dikepung generator gempa bumi dari berbagai arah,” ujar Daryono.
Indonesia harus selalu waspada dengan keberadaan zona-zona tersebut. Apalagi, bukan hanya ancaman gempa bumi saja, tapi juga tsunami, yang mungkin timbul sebagai dampak gempa kuat di zona tersebut.
“Pemahaman masyarakat terkait bahaya gempa bumi dan tsunami harus terus ditingkatkan. Tidak lupa juga soal mitigasinya,” ungkapnya.
Terkait kesiapan Indonesia menghadapi gempa, Irwan mengaku cukup prihatin. Pasalnya, sampai saat ini pemetaan gempa di Indonesia masih belum ideal. Dia mencontohkan total alat GPS pelacak gempa yang diakui hanya berjumlah 150 unit. Itu pun terpusat pada wilayah Jawa dan sebagian Sumatera.
“Karena itulah, kami sering kelabakan untuk melacak, jika gempa terjadi di Kalimantan, Sulawesi atau Indonesia timur. Padahal, secara historis, gempa di wilayah timur seperti itu perairan Banda, atau Pulau Yapen, terjadi jauh lebih banyak daripada wilayah Indonesia barat,” jelasnya.
Hal tersebut, lanjut Irwan, menyebabkan potensi-potensi gempa yang berhasil didetilkan masih sedikit. Misalnya, wilayah selatan selat sunda dan laut Jawa Timur yang diakui menjadi sumber subduksi. Atau wilayah Lembang, Bandung yang mempunyai aktifitas tektonik cukup tinggi.
“Untuk pulau Kalimantan dan Sulawesi sendiri kami belum mempunyai informasi detil mengenai potensi gempa. Ironinya, Jepang yang luas negaranya hanya sebagian dari Indoensia saat ini mempunyai 1.500 alat GPS,” terangnya.
Dia pun berharap pemerintah mau mengeluarkan anggaran untuk menambahkan alat-alat tersebut. Pasalnya, investasi alat pendeteksi gempa bukanlah hal yang menarik bagi pengusaha. Namun, hal tersebut justru sangat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur secara tepat.
“Ini adalah intangible asset. Bukannya menghasilkan keuntungan, tapi menghindarkan resiko dari infrastruktur atau pemukiman yang tidak tepat. Harusnya negara menunjukkan keberpihakan dalam hal ini,” ungkapnya.
Dia memberi contoh dengan kasus terbaru gempa di Jepang. Menurutnya, skala gempa di Jepang mencapai 10 kali lipat dari gempa Jogjakarta pada tahun 2006 lalu. Namun, korban jiwa gempa Jepang hanya mencapai 41 orang, sedangkan korban gempa Yogyakarta mencapai 6.234 orang.
“Memang tetap berduka, tapi Indonesia juga harus mengambil pelajaran. Setidaknya, perlu sekitar 600 alat GPS agar kami bisa memetakan gempa secara maksimal,” harap Irwan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho pun mengungkapkan hal yang sama. Kota-kota besar dan sedang di Indonesia belum siap menghadapi gempa besar. Sebab, building code atau bangunan-bangunan yang konstruksi tahan gempa relatif masih terbatas diterapkan. Begitu juga sarana prasarana pendukungnya masih belum memadai. “Tingginya faktor kerentanan bisa berdampak pada tingginya korban,” ujarnya.
Selain itu, tata ruang wilayah juga belum mengatur atau menyesuaikan dengan ancaman gempanya. Banyak daerah pemukiman dan pemerintahan yang dibangun di sepanjang jalur sesar. Seperti di Bandung, Bantul, Bukit Tinggi, Padang, Bengkulu dan lainnya. Akibatnya, jalur evakuasi belum didesain sedemikian rupa untuk bisa menuju ke daerah aman.
Hal ini diperparah dengan pengetahuan masyarakat soal gempa yang masih sangat minim. Banyak yang belum tahu apa yang harus dilakukan, saat terjadi dan pasca gempa besar.
“Itulah yang menyebabkan setiap terjadi gempa, lalu ada peringatan dini tsunami selalu terjadi kekacauan dan kemacetan,” tegasnya.
Diakuinya, sejumlah kegiatan seperti sosialisasi, pemetaan, latihan, pendidikan, perkuatan logistik dan peralatan ke BPBD, dan lainnya sudah dilakukan. Namun, Sutopo merasa masih kurang dibandingkan dengan tingkat ancamannya. Dia berharap mitigasi bencana gempa harus dilakukan secara itensif dan berkesinambungan. Pemda harus rutin melakukan latihan-latihan dan sosialisasi ke masyarakat. (Jawa Pos/JPG)