eQuator.co.id – Pernyataan Istana yang menyebut adanya aktor-aktor politik yang ikut menunggangi aksi demonstrasi pada Jumat (4/11) kemarin di Jakarta setelah pecah kerusuhan, dinilai sebagai bola panas yang dilemparkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada publik. Terlebih lagi, pernyataan Jokowi tersebut yang tidak menyertakan nama aktor politik yang dimaksud, seolah menjadi teka-teki yang bakal lama untuk diungkap.
Bahkan, sebagian pihak juga menilai bahwa pernyataan sang kepala negara yang terkesan disampaikan secara tiba-tiba itu dapat memancing kegaduhan atau polemik di masyarakat. Karena itu, Jokowi diminta untuk lebih bijaksana dan sensitif dalam menjalin komunikasi kepada rakyatnya.
“Dari kacamata komunikasi politik atau komunikasi pada umumnya, bahwa akan lebih produktif jika Jokowi tidak serta-merta mengatakan hal tersebut sekalipun memang ada datanya,” kata Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (5/11).
Emrus mengatakan bahwa seorang kepala negara harus memiliki kompetensi komunikasi yang mumpuni dalam menyampaikan pernyataan atau sikapnya kepada masyarakat menyangkut persoalan publik. Menurutnya, semua informasi yang dipegang oleh Jokowi, dalam hal ini terkait demonstrasi kemarin tidak harus disampaikan kepada masyarakat secara blak-blakan.
“Seorang kepala negara itu sarapannya adalah data intelijen. Artinya sehari-harinya dia sudah memperoleh data intelijen yang telah dianalisis. Jadi ketika dia mengatakan itu saya pikir sudah mempunyai dasarnya. Karena seorang presiden tidak boleh sembarangan dalam mengeluarkan pandangan,” ujarnya.
Selain itu, para penasehat presiden juga diharapkan lebih cermat dalam memberikan masukan dan pandangan kepada presiden dalam menentukan kebijakan dan prioritas. Terkait hal tersebut, Emrus menjelaskan bahwa sikap presiden yang memilih melakukan peninjauan proyek kereta Bandara Internasional Soekarno-Hatta daripada menjumpai demonstran bisa menjadi indikator kurang cermatnya para penasehat presiden dalam memberikan pandangan kepada presiden.
“Seharusnya dalam acara peninjauan proyek itu bisa ditunda atau diwakilkan kepada Wapres atau menteri-menterinya. Tapi presiden lebih memilih mendelegasikan Wapres dan menterinya untuk bertemu perwakilan demonstran dan datang langsung ke lokasi proyek,” ujarnya.
Karena itu, menurutnya hal tersebut memang sangat disayangkan karena selama ini Jokowi telah menjadi representasi pemimpin yang dekat dengan rakyat. “Apalagi kita berbudaya ketimuran. Budaya kita ini sudah meletakkan sapaan, teguran langsung, atau pengakuan dengan sorotan mata menjadi sesuatu hal yang luar biasa,” terang dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) tersebut.
Dia juga menambahkan, keputusan Jokowi untuk mendelegasikan Wapres dan sejumlah menterinya untuk bertemu dengan perwakilan demonstran akan dapat mengakibatkan salah persepsi dalam menerima informasi. “Sengaja atau tidak disengaja, pasti akan terjadi apa yang disebut penyampaian yang belum tentu holistik karena daya tangkap dan pespektif orang berbeda-beda. Selain itu juga akan memakan waktu karena Wapres dan menterinya tidak dapat melakukan keputusan saat itu juga, harus lapor ke Jokowi dulu,” imbuhnya.
Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut demo 4 November ditunggangi aktor politik, juga memicu reaksi dari kalangan partai politik (parpol). Meski tidak menyebut spesifik siapa aktor politik yang dimaksud, namun publik sempat berspekulasi dan mengaitkan hal itu dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Apalagi, sebelumnya SBY mengeluarkan pernyataan bahwa dia mendapat informasi jika dirinya dituding ikut membiayai demo tersebut. Hal itu lantas dikait-kaitkan dengan majunya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam kontestasi Pilkada DKI untuk menantang petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Karena itu, Tim Sukses Agus-Silvy yang juga politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI Abraham Lunggana langsung bereaksi. Menurut pria yang biasa disapa Lulung itu, pemerintah terkesan panik menghadapi aksi damai bela Islam 4 November lalu.
Kesan dimaksud, muncul saat Presiden Jokowi menggelar jumpa pers buah dari rapat terbatas jelang tengah malam, setelah bentrokan segelintir massa aksi dengan aparat mereda. ”Apalagi, Pak Joko Widodo mengatakan aksi tersebut ditunggangi beberapa tokoh politik,” ucap dia.
Lulung memantau perkembangan setelah ikut beraksi lewat media-media massa. ”Itu sangat tidak benar. Seandainya kami tidak hadir di aksi itu, tetap saja ratusan ribu umat Islam akan datang. Karena itu panggilan hati masing-masing,” jelasnya.
Dia menyatakan, semua orang tahu kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok sudah menjadi isu nasional. Semua masyarakat memperhatikan itu. Dia dan rekan-rekannya sesame politikus berpartisipasi sebagai warga negara.
”Dan saya ini muslim,” sambung dia.
Setiap warga negara, kata dia, berhak mennyampaikan aspirasi. Oleh sebab itu, dia menangkap kesan panik di balik tudingan presiden tersebut. Dia menyatakan, presiden tahu persis bahwa akan ada aksi besar-besaran pada 4 November. Seharusnya presiden fokus.
Yang cukup disayayangkan, presiden malah meninggalkan istana hanya untuk memantau proyek. Agenda memantau proyek itu, dianggap tidak begitu urgen. Dia mengatakan, para peserta aksi sangat berharap mendapat sambutan baik dari presiden langsung.
”Seandainya presiden tetap di istana, menyambut perwakilan masa dengan baik, saya yakin tidak akan terjadi chaos,” ujar dia.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Politikus Partai Gerindra itu berpandangan sama dengan Lulung. Nah sekarang, kata Fadli, yang terpenting pemerintah mengambil langkah-langkah serius.
”Jokowi harus segera menuntaskan masalah ini. Supaya masyarakat dapat melihat bawa Jokowi tidak memihak ke Ahok,” tegas dia.
Demikian pula Fahri Hamzah dari PKS. Dia mendukung aksi tersebut karena dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Bahkan Fahri mempersilakan para pendemo ke Gedung DPR, setelah beraksi. (dod/ydh)