Edukasi Nilai-nilai Budaya Melayu

Lestarikan Saprahan Pontianak Melalui Festival

SAPRAHAN. Ratusan peserta dan pengunjung menyantap makanan usai penilaian Festival Saprahan dalam rangka rangkaian hari jadi Kota Pontianak ke 247 di PCC , Rabu (17/10). Gusnadi-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI telah menetapkan ‘saprahan’ Melayu Kota Pontianak sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Agar tradisi ini tak hilang, Pemerintah Kota Pontianak setiap tahunnya menggelar Festival Saprahan.

Pemkot Pontianak kembali menggelar Festival Saprahan. Festival ini dalam rangka memeriahkan Hari Jadi (Harjad) Kota Pontianak ke 247 yang jatuh pada 23 Oktober. Tahun ini, ada 30 kelompok peserta Festival Saprahan yang diselenggarakan di Pontianak Convention Center (PCC), Rabu (17/10).

Plt Wali Kota Pontianaki Edi Rusdi Kamtono menyatakan Festival Saprahan sudah selayaknya memiliki standarisasi. Baik penilaian cara penyajiannya, penampilan penyaji, peralatan makan, hingga menu yang dihidangkan.
“Kita akan menetapkan SOP saprahan supaya memiliki standar. Misalnya jenis makanan yang wajib dihidangkan, makanan tambahan, pakaian pembawa saprahan dan sebagainya,” katanya.
Ia menilai, tampilan dan rasa makanan yang disajikan peserta sudah semakin baik. Paceri Nanas yang menjadi hidangan dalam saprahan, juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Pontianak. Paceri Nanas ini melengkapi Sayok Keladi, Tenun Corak Insang, Arakan Pengantin dan Saprahan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Pontianak. Ke depan, pihaknya juga  berencana mengusulkan sambal Haji Dolah sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kota Pontianak. “Ini merupakan salah satu upaya kita dalam melestarikan budaya khas Pontianak,” jelas Edi.

Meskipun secara umum juga ada di daerah lain di Kalbar, namun Edi menegaskan terdapat beberapa perbedaan dengan Saprahan Melayu Pontianak. Misalnya, cara menghidangkan, menu maupun penampilan penyaji saprahan. Edi berharap Festival Saprahan yang rutin digelar setiap tahun ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terutama generasi muda. “Sehingga mereka bisa ikut melestarikan budaya saprahan ini,” harap Wali Kota Pontianak terpilih ini.
Plt Ketua TP PKK Kota Pontianak, Yanieta Arbiastuti menjelaskan, peserta Festival Saprahan berusia maksimal 40 tahun. Ini dimaksudkan supaya kaum muda lebih paham dan mengenal serta melestarikan nilai-nilai budaya makan saprahan Kota Pontianak. Selain rasa makanan yang dihidangkan, kekompakkan, penampilan peserta dan lainnya juga menjadi aspek penilaian dewan juri. “Festival Saprahan ini diikuti kader-kader PKK se Kota Pontianak,” ungkapnya.

Dirinya berharap, para peserta memahami dan mengetahui bagaimana penyajian saprahan yang sesuai dengan adat istiadat Melayu Kota Pontianak. “Harapan kami generasi muda tetap bisa melestarikan budaya makan saprahan,” pungkasnya.
30 kelompok peserta berasal dari 29 kelurahan se Kota Pontianak. Kelurahan Benua Melayu Laut berhasil merebut juara pertama. Disusul Kelurahan Darat Sekip sebagai juara kedua dari Kelurahan Saigon juara ketiga. Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah berupa trophy dan uang tunai.
Makan Saprahan merupakan adat istiadat budaya Melayu. Berasal dari kata ‘Saprah’ yang artinya berhampar. Yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di lantai secara berkelompok. Terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya.

Laporan: Gusnadi

Editor: Arman Hairiadi