Dugaan Pencabulan Siswi SMKN di Pontianak, Surat Terbuka VS Gugah Istana, Tim pun Diturunkan

Kapolresta Pontianak: Ada Tahapan yang Harus Dilalui dalam Proses Hukum

LAPOR. VS (nomor dua dari kiri), siswi salah satu SMK Negeri Pontianak, didampingi keluarga, rekan, dan relawan Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN), mengadukan dugaan pelecehan seksual yang dialaminya ke Polresta Pontianak, Senin (30/5). Dokumen-RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Istana Negara bertindak cepat. Surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dari siswi SMKN di Pontianak, VS, telah ditindaklanjuti. Dewi Keadilan tampaknya tak menutup mata terhadap peristiwa yang menimpa korban dugaan pencabulan yang diduga dilakukan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura (Untan), Dian Patria (DP), itu.

“Ini sudah menjadi wacana (konsumsi,red) publik (surat terbuka dari VS,red),” terang Staf Presiden, M. Riza Damanik, dalam pesan WhatsApp (WA) kepada Rakyat Kalbar, Jumat (17/6).

Lanjut dia, Presiden sendiri langsung membentuk dan menurunkan tim untuk menanggapi surat tersebut. “Saat ini kita sedang melakukan verifikasi lapangan. Ya itu, karena sudah menjadi perbincangan publik,” ungkapnya. Namun, Riza belum mau membuka bentuk verifikasi yang dilakukan Istana Negara tersebut.

Di Pontianak, Direktur Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) Kalbar, Devi Tiomana berharap tindak lanjut yang dilakukan Kantor Staf Kepresidenan dapat memberikan keadilan bagi VS. “Karena sampai saat ini terlapor (DP,red) yang merupakan oknum Dosen Untan hanya diperiksa dan belum diproses hukum oleh pihak kepolisian,” tuturnya.

Devi meminta tim dari Istana Negara memverifikasi Kapolda Kalbar Brigjen Pol Musyafak dan Kapolresta Pontianak AKBP Iwan Imam Susilo terkait laporan yang dibuat korban saat ditangani kepolisian. “Biar ada kejelasan. Termasuk verifikasi kepada korban dan saksi agar mengetahui persis apa yang menimpa korban,” sambung dia.

Ia menambahkan, dari informasi terakhir yang didengarnya, polisi masih menunggu hasil visum yang ditandatangani dokter. “Barulah mereka akan melakukan gelar internal. Terus pra rekonstruksi,” ucap Devi.

Hingga Jumat itu, aktivis peduli perempuan dan anak ini masih menyayangkan kepolisian begitu lamban menangani kasus yang sudah bisa dianggap luar biasa ini, menyusul keluarnya Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Sebentar lagi sudah masuk minggu ketiga. Kepolisian belum menetapkan tersangka terhadap terlapor, padahal alat bukti sudah cukup. Ada 15 saksi yang diperiksa, ada visum, dan laporannya juga ada. Ini berbeda sekali ketika kepolisian menangani kasus yang sama dengan pelaku ‘orang biasa’,” sesalnya.

Terpisah, Kapolresta AKBP Iwan Imam Susilo menegaskan pihaknya tidak pernah main-main dalam menangani perkara. Terlebih itu pencabulan.

“Kita sangat atensi kasus tersebut, namun memang dalam kasus ini kita masih dalam proses yang dilakukan oleh penyidik,” terangnya ketika ditemui di Polsek KP3L, Sabtu (18/6) malam.

Iwan menjelaskan, semua ada prosedurnya. Kalau polisi bermain-main, logikanya tidak akan ada pemeriksaan saksi. Kemudian, lanjut dia, pihaknya telah mendapatkan keterangan ahli dan hasil visum terhadap korban.

“Sekali lagi, kami selalu serius dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, dimana kasus ini sendiri juga sudah saya sampaikan kepada Kapolda Kalbar. Ada tahapan-tahapan yang harus kami lalui dalam proses hukum. Kita meminta pihak korban untuk bersabar, percayakan kepada kami dalam melakukan proses hukum,” pintanya.

Ia juga berterima kasih atas kritik pedas yang masuk kepada pihaknya melalui teman-teman media. “Ini merupakan tantangan kita untuk menunjukkan kinerja lebih baik lagi,” demikian Iwan Iman Susilo.

Seperti diberitakan sebelumnya, Minggu (12/6) VS membuat surat terbuka yang kemudian Devi kirimkan pada Rabu (15/6) pagi ke alamat surat elektronik Istana Negara. Pada sore harinya, staf presiden M. Riza Damanik membalas e-mail tersebut dan meminta kronologis kejadian. Berikut petikan surat tersebut:

“Saya hanya memohon dengan segenap pengharapan pada Bapak Presiden, tolong beri saya keadilan dan perlindungan. Kehormatan saya sebagai anak dan perempuan telah dihancurkannya (terlapor,red). Dan ketika saya melaporkannya ke Polresta Pontianak, saya justru yang dibully keluarga pelaku dan Penasehat Hukumnya. Diintimidasi hingga ke sekolah. 

Bapak Presiden, apakah saya salah ketika saya memilih melaporkan pelaku ke pihak berwajib dan menolak menerima sejumlah uang yang ditawarkan pelaku agar bisa membawa ayah saya berobat? 

Dan, apakah seorang dosen yang punya kekayaan dan kekuasaan bisa kebal dari hukum hingga laporan saya ke polisi tidak pantas untuk ditanggapi? Apakah karena saya seorang anak kecil yang berjuang sendiri untuk bisa hidup dan sekolah demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik?

Atau, salahkah saya menuntut keadilan untuk diri saya? Atau bahkan saya telah salah karena telah lancang menulis surat ini kepada Bapak Presiden? Sebagai bagian dari anak Indonesia, saya tidak menuntut hak dari Negara. Saya hanya memohon keadilan dari kasus yang menimpa saya, masa depan saya yang tercabik-cabik, dan kejelasan status hukum saya. 

Saya memohon maaf jika saya banyak bertanya, tapi setidaknya luka di hati saya tidak semakin membengkak. Saya tidak ingin mati lagi, bunuh diri atau apapun. Saya ingin tamat sekolah dan terus bekerja agar bisa mendapatkan uang yang banyak dimana kelak saya bisa membawa ayah saya berobat ke rumah sakit. Terima kasih Bapak Presiden”.                                         

Laporan: Achmad Mundzirin

Editor: Mohamad iQbaL