eQuator.co.id – Menjelang tanggal 28 Juni setiap tahunnya, masyarakat Kalimantan Barat (Kalbar) akan mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang, sebagai peringatan untuk menghormati dan menghargai jasa para pejuang. Sebanyak 21.037 jiwa telah menjadi korban keganasan tentara Jepang pada tahun 1942-1945. Ini berdasarkan Perda Kalbar No. 5 Tahun 2007 tanggal 12 Juli 2007 yang menetapkan Peristiwa Mandor sebagai Hari Berkabung Daerah, dan Makam Juang Mandor sebagai monumen daerah Provinsi Kalbar.
Penulis selalu mengingat kata-kata Bapak Proklamator kita, Bung Karno yaitu Jasmerah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Mengingat judul tulisan diatas, pada kesempatan libur panjang ini, kami membaca kembali buku mengenai sejarah-sejarah di Kalbar. Berikut kami kutipkan dan terjemahkan secara garis besar sepotong sejarah dari buku dalam bahasa Mandarin yang berjudul “Menyembah, Berkorban, Berjuang, Bangkit” tulisan Li Zhuo Hui seorang penulis senior dan redaktur beberapa koran bahasa Mandarin, baik di Indonesia maupun di Singapura. Buku ini terbitan Februari 2012.
Dalam buku tersebut pada halaman 214 terdapat Bab 3: 12 Sultan Kalbar Dibunuh, terdapat subbab berjudul “Sejarah Berdarah Hua Khiaw” ditulis oleh Wartawan Xi Hang. Isinya sebagai berikut, “Hari ini tanggal 14 Oktober 1945, terungkap pembunuhan massal oleh tentara Jepang terhadap masyarakat di West Borneo. Dalam pemeriksaan di Pengadilan Militer, pasukan PBB Resimen 9 yang dipimpin oleh seorang Jenderal Australia, Mr Jasydek tiba di Pontianak tanggal 26 September 1945.
Hari ke-2 ada 2 pemuda Tionghoa, masing-masing bernama Ho Nam Shin dan Lie Tjhin Fa, merupakan utusan masyarakat Tionghoa di Mandor untuk melaporkan peristiwa ditemukannya kerangka-kerangka manusia yang tersebar di bekas lapangan terbang buatan Belanda yang belum jadi, kepada Ketua Perkumpulan Dagang Tionghoa, Ng Nyiap Liang (Catatan penulis: Bos Bioskop Chung Hua/Abadi).
Tanggal 27 September 1945, Ng Nyiap Liang, wartawan Xi Hang, sopir Ng Kim An beserta dua pemuda berangkat menuju Mandor dan menyaksikan tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan massal. Kondisi di areal tersebut dipenuhi rumput dan semak belukar. Pada hari itu, berhasil dikumpulkan 47 tengkorak manusia. Semua tengkorak tersebut ditemukan muncul ke permukaan tanah, karena digali oleh binatang liar. Diperkirakan masih terdapat banyak liang-liang kuburan massal di areal semak belukar itu”
Areal itu kemudian oleh Pemerintah Daerah Kalbar melalui mantan Gubernur (almarhum) Kadarusno dibangun menjadi Makam Juang Mandor, sebagai Monumen Daerah Provinsi Kalbar.
Sejarah ini diceritakan bukan bertujuan untuk menganjurkan balas dendam, tetapi untuk mengingatkan kita, agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Teringat kata-kata bijak kuno Tionghoa “Qian Shi Bu Wang, Hou Shi Zhi Shi” yang secara harafiah artinya “Kejadian masa lalu tidak dilupakan merupakan guru bagi masa depan.”
Demikianlah sekiranya sepotong sejarah kelam bagi masyarakat Kalbar pada masa awal kemerdekaan. Kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari pengorbanan nyawa para leluhur kita, dan sekarang menjadi tanggung jawab kita bersama untuk meneruskan cita-cita luhur kemerdekaan dalam menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa pada umumnya, dan Kalbar pada khususnya.
Mohon maaf seandainya terdapat kata-kata yang kurang menyenangkan dalam tulisan ini, mengingat usia penulis yang sudah tergolong lansia. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi kita bersama. Salam Sejahtera.
*Budayawan Tionghoa Kota Pontianak