eQuator.co.id – SANGGAU-Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) PT. Tayan Bukit Sawit (TBS) oleh DPRD Kabupaten Sanggau mendapat reaksi dari tokoh adat Kecamatan Kembayan, tempat operasi perusahaan pengolahan sawit tersebut.
Meski telah menyatakan peryataan sikap bersama, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Kecamatan Kembayan, Usman Iting menegaskan, tak ada niat dari tokoh adat untuk menghalang-halangi kerja Pansus.
“Silahkan berjalan. Kami cuma mau dan mohon, apabila Pansus itu datang, kami tokoh adat ini mohon bisa hadir dalam forum itu, untuk mendengar Pansus. Hitung-hitung nambah pengalaman,” katanya kepada wartawan, Kamis (19/4).
Usman menegaskan, ia beserta tokoh adat lainnya, sama sekali tak membela perusahaan. Yang ia bela adalah masyarakat yang bekerja diperusahaan tersebut. Pasalnya selama ini, masyarakat di 11 desa di Kembayang, sudah sangat terbantu dengan beroperasinya PT. TBS.
“Terutama pemilik lahan. Karena dulu janjinya, apabila masyarakat pemilik lahan itu mau menyerahkan lahan, mereka diprioritaskan untuk bekerja. Ditambah lagi, harga yang pantas. Tapi bukan masalah harga yang menjadi motivasi masyarakat menyerahkan lahan, tapi masalah pekerjaan itu,” ungkapnya.
Karenanya jika ada persoalan di perusahaan tersebut, ia menyilakan pemerintah bersama DPRD bermusyawarah. Terpenting, pabrik jangan ditutup. “Itulah alasan kami, terutama masalah karyawan. Kasihan mereka tak ada pekerjaan. Kami juga memperjuangkan nasib petani sawit yang pribadi. Mereka sekarang kan sudah enak menjual sawitnya di situ, sudah dekat. Sudah tidak antre sampai dua atau tiga hari seperti dulu di PTPN. Jadi sekarang mereka sudah mudah menjualnya. Jadi dua poin itu yang menurut kami urgen untuk kami perjuangkan. Jangan sampai pabrik itu ditutup. Yang sudah ada, ya sudah lah. Kita urus baik-baik. Kalau ada masalah ya kita musyawarahkan,” bebernya.
Ditanya soal sanksi adat yang akan dijatuhkan yang tercantum dalam poin pernyataan sikap bersama, Usman menjelaskan itu berlaku jika pabrik benar-benar ditutup. “Karena waktu membuka lahan kan menggunakan ritual adat. Bahkan pendirian tugu pun lewat ritual adat. Itulah alasan kami, kalau pabrik ditutup, kami tetap menuntut adat,” terangnya.
Senada diungkapkan Temenggung Tata Jabu, Desa Tanjung Merpati, Dewantoro. “Saya ingat betul waktu pendirian pabrik itu saya pateh. Jadi melibatkan adat, ritual. Di sana sudah terpasang (tugu tiga etnis, red). Apapun, bagaimanapun, menurut kami versi orang adat, hal yang terjadi di situ harus melaporkan,” katanya.
Selama ini, kearifan lokal, terutama bagi suku Dayak, kata Dewantoro, sangat dijunjung tinggi. Dan itu dikatakannya sangat membantu pemerintah dalam menangani persoalan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Ia mengakui selama ini ada misskomunikasi dengan Pansus. Pernyataan Ketua DPRD, Jumadi, yang meminta agar pabrik ditutup jika terbukti melanggara aturan, dinilainya cukup mengejutkan.
“Jangan pakai bahasa ‘tutup-tutup’. Itu kan mengejutkan masyarakat. Pansus silakan turun, sampai dimana kesalahan perusahaan. Jangan berdasarkan laporan masyarakat, masyarakat yang mana. Siapa masyarakatnya, mana tandantangannya. Seharusnya kami mengetahui selaku pengurus adat. Saya tak keberatan kalau kami tidak diberitahui selaku pengurus adat. Tapi bersedialah mencari pengganti saya di sini. Intinya seperti itulah. Kalau masalah izin sialahkan dipansus. Intinya pabrik itu jangan disegel, jangan ditutup. Kalau mau menyegel mau menutup, ada ritualnya,” tegas Dewantoro. (KiA)