Sejak 23 hingga 25 Mei 2017, Rakyat Kalbar bersama lima awak media lain mengikuti Jurnalis Trip Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh). Selain cerita toleransi akan keberagaman religi sebelumnya, banyak pengalaman didapat dalam perjalanan ke Bumi Uncak Kapuas ini.
Ocsya Ade CP, Menua Sadap
eQuator.co.id – Desa Menua Sadap, Kecamatan Embaloh Hulu, dan Desa Melemba, Kecamatan Batang Lupar, merupakan dua destinasi ekowisata yang sedang dikembangkan oleh Kompakh melalui intervensi program TFCA (Tropical Forest Consevation Act) Kalimantan. Organisasi ini melakukan pendampingan pengelolaan destinasi yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan di dua desa itu.
Mengapa Malemba dan Menua Sadap yang dipilih? Jawabnya, mereka merupakan kawasan penyangga dan koridor di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
Selasa 23 Mei, pukul 09.38, rombongan jurnalis tiba di Bandara Pangsuma, Putussibau, Kapuas Hulu. Tak lama menginjakkan kaki, kami langsung meluncur ke Sekretariat Kompakh. Pengenalan. Puas berbincang, perjalanan dimulai. Tujuan pertama Dusun Kelayam, Desa Menua Sadap.
Hari itu kami memang dijadwalkan menikmati wisata budaya masyarakat Suku Dayak Iban di sana. Memakan dua jam waktu tempuh perjalanan darat dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, untuk sampai di Dusun Kelayam. Direktur Kompakh, L. Radin, dan Manager Divisi Ekonomi Kompakh, Eduardus Ratungan, mendampingi.
Tiba di Dusun Kelayam sekitar pukul 13.45, puluhan masyarakat suku Dayak Iban menyambut kami dengan sambutan khusus yang disebut Bedara’ Nyambut Temuai Datai (menyambut tamu yang datang). Mereka mempercayai ritual itu dapat membuang semangat yang lemah. Kedatangan tamu dari luar juga dianggap sebagai pembawa rezeki dan keberuntungan.
“Suatu kehormatan untuk kita dapat menyambut tamu yang datang ke rumah kita. Dengan harapan dapat membawa rezeki dan hal-hal yang baik. Serta dapat menyebarluaskan kebudayaan kita di sini kepada dunia luas,” tutur Novi Irwandi Lagi. Pria berusia 52 tahun itu merupakan Tuai (tuan atau yang dituakan) di Rumah Panjai (panjang/betang) Dusun Kelayam.
Dalam prosesi ritual adat ini, senyum dan sapaan mereka dari atas Rumah Panjai tak lepas kepada kami. Mereka menebarkan keramahan. Penyambutan itu dilakukan di halaman depan kaki tangga rumah. Terhampar barang sesajian penyambutan yang masing-masing ditaruh di tujuh piring di atas tikar daun. Ada lemang, pinang, sirih, kapur, gambir, tembakau, daun, rokok, tumpi (lempengan pulut), pulut, telur ayam, rendai (beras ongseng), besi, dan ayam kampung, sebagai sesajiannya.
“Semua harus ada. Ini memang sudah turun temurun. Kalau salah satu tak ada, tidak bisa dibilang ritual adat,” jelas Lagi.
Tuai Rumah dan kepala adat serta sejumlah tokoh melakukan ritual penyambutan itu, lengkap dengan jampi-jampi adat. Setelah dijampi, sejumlah sesajian tadi dibungkus dalam pelepah pinang.
Secara bersamaan, salah seorang warga memotong seekor ayam tepat di bawah tangga utama Rumah Panjai. Setelah itu, setiap tamu disuguhkan tuak. Di bagian ini, toleransi dari suku Dayak Iban sangat terasa. Mereka tak memaksa bagi tamu yang enggan menenggak minuman dari sari buah enau tersebut.
Usai ritual pertama ini dilakukan, satu persatu tamu diperbolehkan naik meniti tangga utama menuju Rumah Panjai. Sebelumnya, setiap tamu harus menginjak pelepah pinang tadi.
Iringan musik dan tarian khas Dayak Iban yang dibawakan sejumlah muda-mudi mengiringi langkah kami dari ujung menuju ujung Rumah Panjai. Panjangnya sekitar 120 meter. Tiba di tengah-tengah Ruai Rumah Panjai (ruang kumpul penduduk), satu ritual adat kembali dilakukan. Lebih kurang seperti yang pertama.
“Prosesi ritual ini dilakukan agar tamu yang datang selalu dalam keadaan sehat, terhindar dari hal-hal buruk dari pada tamu atau untuk menangkal lemah semangat tamu. Makanya disertakan besi sebagai pengeras untuk penguat semangat kita,” ujar Lagi. Kalau pemotongan ayam, lanjut dia, sebagai pengganti untuk menyelamatkan roh tidak bagus yang akan naik ke rumah.
Setelah semua ritual terlaksana, dilanjutkan dengan jamuan. Kami juga diajak untuk melihat hasil tenun dan anyaman khas suku Dayak Iban. Beragam motif tenun khas hasil hutan Kalimantan itu memiliki daya pikat tersendiri.
Kain tenun karya ibu-ibu suku Dayak Iban Dusun Kelayam ini memiliki ciri khas. Menggunakan pewarna alami dari bahan dasar bermacam kulit kayu hasil hutan Kalimantan, tak heran jika produk ini sudah terbang ke mancanegara.
Hasil tenunan dan anyaman serta beberapa pernak pernik khas Dayak Iban Dusun Kelayam yang dipajang di depan salah satu bilik saat prosesi Bedara’, begitu menarik perhatian. Rasa penasaran sebenarnya sudah timbul ketika berada dalam Ruai Rumah Panjai. Bukan karena pajangan kain tenun yang dijual itu, tapi karena melihat jejeran kain tenun yang dipasang hampir menutupi setiap dinding 25 bilik Rumah Panjai. Warna-warnanya yang mencolok membuat pandangan tak mau berpindah.
Tak seperti di Rumah Panjai yang pernah kami kunjungi. Warna kain tenunnya beragam, ada biru muda dan merah. Tapi setelah diperhatikan, kain tenun di bilik itu kebanyakan warna merah manggis dengan motif khas Dayak Iban. Ukurannya pun bervariasi. Diperkirakan lebar kain bisa mencapai 2-3 meter dengan panjang kira-kira 3 meter. Di depan beberapa bilik, juga terdapat alat tenun lengkap. Sejumlah ibu tengah menenun.
Ketua Seni Budaya Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) Desa Menua Sadap, Emilia Telibai mengatakan, seni budaya tenun ini sudah turun temurun dari nenek moyang masyarakat Dayak Iban. “Sebab dulu tak ada penjual pakaian. Jadi, kita tanam kapas dan kita manfaatkan untuk dibental lalu ditenun. Hasil tenun ini digunakan untuk membuat pakaian,” kata dia.
Salah seorang ibu penenun menjelaskan, sebelum proses menenun, terlebih dahulu benang dipintal dan dianyam. Lalu dibuat motif menggunakan alat tradisional. Warna kain tenun menggunakan pewarna alami. Bahan-bahannya didapat di sekitaran hutan.
“Ada dari pohon kerbai, rengait, enggkudu dan jangau. Jadi kita sekarang tidak pakai wantek (pewarna kimia). Karena pewarna buatan wantek itu cepat luntur, meski warnanya cerah disbanding pewarna alami. Ini juga berkat ilmu yang diajarkan oleh Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Aspuk),” ujarnya. “Kalau pembeli, suka yang tenun menggunakan pewarna alami. Karena tak cepat pudar,” sambungnya.
Proses pembuatan pewarna alami ini tak begitu lama. Setelah kulit kayu direbus, dicampur dengan kapur sirih. Beberapa jam direbus, didapatlah warnanya.
“Ada pantangan saat proses pembuatan warna alami ini. Saat pencelupan tak boleh ragu. Misalnya, penenun menerka-nerka hasil warnanya. Itu tidak boleh. Itu pantangannya,” jelasnya. Makanya, proses ini mesti ditunggu.
Kalau kebiasaan orang sini, Emilia menyambung, jika tamu datang saat proses pencelupan maka harus dihentikan sementara. “Itu mengantisipasi proses perebusan tak begitu matang bisa berakibat warnanya tak mau merah. Semua itu ada takaran dan pantangannya,” ucapnya.
Pantangan lainnya yang dipercayai masyarakat setempat adalah tak memperbolehkan anak-anak yang belum tumbuh gigi memegang alat tenun. “Sebab, cerita nenek moyang kami, jika anak-anak pegang alat tenun maka anak bisa bisu,” jelas Emilia.
Motif kain tenun Dayak Iban sangat khas. Diantaranya motif ranting pohon dan komodo. Selain menenun kain, di masyarakat Desa Menua Sadap biasanya juga membuat syal, selimut, baju, taplak meja, serta hiasan dinding.
“Biasanya juga sering dibuat untuk tambahan pembuatan jaket dan rompi,” paparnya.
Waktu pengerjaan pun bergantung penenun. Jika dikerjakan tiap hari, kain berukuran 2 kali 3meter bisa selesai dalam waktu sekitar satu bulanan. Jika tak rutin, ya satu kain tenun bisa selesai tahunan. Kisaran harga tenunan ini dari Rp75 ribu hingga Rp3 juta.
Produk tenun Desa Menua Sadap sudah dikenal luas. Berkat pendampingan-pendampingan yang ada, produk tenun sampai ke Malaysia dan Brunei.
“Akhir-akhir ini kami juga banyak terima pesanan kain tenun,” ucap Emilia.
Dia menambahkan, bagi perempuan Dayak Iban, keterampilan tenun wajib dikuasai. “Karena, berdasarkan adat istiadat turun temurun, setiap gadis harus bisa menganyam dan menenun untuk bekal ketika sudah berkeluarga nanti,” jelasnya. Makanya, para penenun kebanyakan ibu-ibu.
Saat itu, salah seorang penenun adalah Ketua Kelompok Tenun Kelayam Nguji, Yuliana Hermina. Perempuan 44 tahun tersebut tengah menenun di Ruai Rumah Panjai. Kemahirannya menenun terlihat jelas. Ia sudah belajar menenun sejak berusia 14 tahun.
“Dalam sebulan saya bisa menenun dua kain. Tergantung lebar juga. Kalau syal dapat 16 unit saya buat,” ucapnya.
Direktur Kompakh, L. Radin, berharap dengan eksplor yang dilakukan pihaknya ini dapat menambah jumlah kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara. Sejak berdiri 2005, Kompakh mendampingi 10 wilayah destinasi wisata.
“Karena di sini banyak potensi ekowisata dan budayanya. Kita pelan-pelan gali potensinya. Dimulai dari budayanya dulu, baru kita akan berpetualang ke alam. Banyak view alam yang akan kita jumpai di lokasi berikutnya. Semoga kegiatan ini akan meningkatkan kunjungan wisatawan,” harap Radin.
Usai melihat tenun karya-karya kerajinan masyarakat, kami memutuskan untuk menginap di Rumah Panjai Dusun Kelayam. Ini menjadi pengalaman perdana, bisa membaur dalam kehangatan serta kedekatan dengan masyarakat Dayak Iban.
Bilik nomor 13 milik Sekretaris Desa Menua Sadap, Yanuarius Lasa yang berusia 38 tahun. Meski hanya semalam di sana, kami sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Malam panjang dilewati dengan tarian khas Dayak Iban, tarian Ngiling Bidai (gulung tikar), Puak Kumbo, dan Gendang Pepat. Sungguh menghibur. Hiburan malam ini berakhir dengan dentingan gitar masyarakat Rumah Panjai sebagai pengiring rehat. (*/bersambung)