Menanti belasan tahun sejak disemai agar bunga bangkai bisa berbunga, itupun durasinya paling lama cuma tiga hari. Tapi, astaga, di Kebun Raya Cibodas, tangan-tangan jahat malah menimpuki bunga langka itu dengan batu.
Zalzilatul Hikmia, Cibodas
Jelas saja hati Destri Zulfahmi hancur saat mendengar kabar itu. Bunga raksasa yang telah dia rawat belasan tahun dan akan mekar sempurna dalam beberapa hari malah jadi korban vandalisme.
”Dalam hati, saya langsung ngebatin, kurang ajar amat ini yang nimpuk (dengan batu, Red),” tutur peneliti bunga bangkai jenis Amorphophallus Titanum Becc. di Kebun Raya (KR) Cibodas, Bogor, itu saat ditemui di kantor pengelola Kebun Raya Cibodas, Jumat pekan lalu (12/2).
Semula, Destri memperkirakan ”buah hatinya” itu akan mekar sempurna, menyebarkan bau bak bangkai binatang, pada 24 Januari. ”Eh, 21 Januari-nya dikasih tahu ada yang bolong,” tutur peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut.
Mirisnya lagi, setelah diperiksa, diketahui vandalisme tersebut tak hanya dilakukan sekali. Melainkan tiga kali. Itu terbukti dengan ditemukannya tiga butir batu ukuran sedang di dalam spadix atau tempat bulir dengan tangkai yang dilindungi seludang bunga alias spatha.
Wajar kalau Destri demikian marah. Sebab, membudidayakan bunga raksasa yang masuk kategori langka itu sangat tidak mudah. Menunggunya berbunga butuh belasan tahun. Itu pun, mekarnya hanya tiga hari. Bayangkan!
Selama ini, orang mengasosiasikan bunga bangkai hanya dengan Rafflesia arnoldi yang kali pertama ditemukan Thomas Stamford Raffles di Bengkulu pada abad ke-19. Sejatinya raflesia itu satu divisi dengan Amorphophallus titanum Becc., tapi berbeda genus.
Dalam klasifikasi ilmiah, divisi berada di bawah kingdom. Setelah divisi, ada kelas, ordo, famili, genus, dan spesies. Semakin ke bawah berarti memiliki kekerabatan yang semakin dekat.
Di UPT (Unit Pelaksana Teknis) Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, bunga bangkai itu dikonservasi bersama sekitar 2.632 jenis tanaman lain. Di sana, ada 18 spesies Amorphophallus titanum Becc. (A. titanum) yang sedang dibudidayakan.
Tanaman-tanaman tersebut merupakan hasil eksplorasi flora di Bukit Sungai Talang, Dusun Sungai Manau, Desa Sungai Kalu Dua, Kecamatan Koto Parik Gadang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada 2000. Persisnya di Resor Batang Suliti, Taman Nasional Kerinci Seblat.
Ada dua indukan yang dibawa. Satu berukuran besar dengan umbi seberat 50 kilogram (kg). Satunya lagi relatif lebih kecil dengan berat umbi 30 kg. Menurut Destri, saat dibawa ke Cibodas oleh seniornya, Solihin dan kawan-kawan, indukan berupa umbi beserta biji yang telah dihasilkan.
Biji kemudian disemai hingga menghasilkan 25 anakan. ”Saya waktu itu kebetulan baru masuk, tahun 2002, baru tahu juga kan tanamannya seperti apa. Oh, ini bunga bangkai,” kenang Destri.
Destri memeriksa kondisi tanaman maksimal dua hari sekali. Saat melakukan pengukuran bersama staf lain pun, dia sering kali dibilang cerewet karena banyak larangan yang dilontarkan.
Tidak boleh injak sana dan injak sini. Lewat pinggir sana, jangan sebelah sini. Kalimat-kalimat itu paling sering dia lontarkan saat para staf lain masuk area bunga bangkai.
”Banyak umbi di sana yang mereka tidak tahu di sebelah mana. Kalau terinjak, kan pertumbuhannya bisa terganggu,” papar perempuan berusia 30-an tahun itu.
Dari 25 yang ditanam, hanya 17–18 anakan yang terdeteksi berkembang. Itu pun, baru enam anakan yang berhasil tumbuh hingga fase generatif atau berbunga setelah disemai 16 tahun lalu.
Dia bercerita, tidak ada perlakuan khusus dalam budi daya tanaman raksasa itu. Hanya, proses tumbuhnya agak lama karena harus melewati tiga fase. Yakni, vegetatif (berdaun), dorman, dan generatif (berbunga).
Sebelum individu bunga bangkai dewasa (ditandai dengan masuk masa generatif, yaitu berbunga), siklus hidupnya hanya berputar pada masa vegetatif-dorman-vegetatif. Pada masa vegetatif itu, bentuk bunga bangkai persis dengan tanaman lain. Seperti pohon dengan dedaunan yang rimbun.
Nah, yang jadi catatan, masa itu tidak dapat diprediksi terjadi sampai kapan. Yang pasti jarang dalam waktu singkat. Dari catatan Destri, paling cepat sebelas tahun.
Biasanya, itu bergantung besar umbi, kesuburan, kelembapan tanah, cuaca, serta kemampuan umbi dalam menyimpan makanan. Bila ada salah satu yang tak terpenuhi, tanaman akan tetap berada dalam fase vegetatif atau berdaun.
Saat sudah siap, barulah ia akan dorman dan muncul sebagai tanaman yang berbunga. Masa dorman juga memakan waktu cukup lama, 9–14 bulan. Tapi, bagi Destri, semua proses yang butuh waktu tak sebentar itu lumrah.
Dia menyamakannya dengan pertumbuhan pohon mangga. ”Sejak ditanam dari biji, perlu enam–tujuh tahun hingga akhirnya bisa dinikmati buahnya,” katanya.
Karena itu, meski seumuran, anakan Amorphophallus titanum tersebut mekar tidak bersamaan. ”Ada juga yang baru mekar setelah enam belas tahun seperti anakan keenam,” papar perempuan berkerudung tersebut.
Itupun, paling lama hanya tiga hari. Sampai akhirnya akan membusuk dan memasuki fase dorman lagi. Belum lagi, saat proses mekar, tanaman itu mengeluarkan bau busuk.
Baunya seperti bangkai hewan. Persisnya bangkai tikus. Juga, bau itu bisa tercium hingga radius 15–20 meter. ”Nilai utama dari bunga bangkai ini bukan dari bau bunga, tetapi nilai konservasi dan nilai ilmiahnya yang tinggi. Kami berhasil budi daya hingga saat ini juga berkat kerja sama semua pihak di Kebun Raya Cibodas,” ungkapnya.
Sayang, tangan-tangan usil selalu saja ada. Sebelum kejadian Januari lalu, pada 2003 terjadi hal serupa pada indukan utama. Keusilan kedua terjadi pada 2015.
”Sudah dari 16 tahun lalu saya minta agar dipasang pagar kawat ke atas,” ucap dia.
Selain memasang pagar kawat, perempuan dengan logat Melayu kental itu juga meminta area kebun bisa dipagar. Dengan begitu, lalu-lalang orang bisa diawasi dengan baik dari pintu masuk.
Koordinator Jasa dan Informasi Kebun Raya Cibodas Dian Ridwan Nurdiana mengklaim bahwa pihaknya sudah mengambil tindakan. Paranet telah dipasang mengelilingi VAK I.B, tempat bunga bangkai ditanam. Tujuannya, menghindari upaya pelemparan kembali menjelang proses mekarnya indukan bunga bangkai pada April mendatang.
Sebetulnya, papar dia, tata aturan soal kunjungan sudah dijelaskan di setiap pintu masuk. Aturan itu meliputi larangan memetik, mengambil, dan merusak tanaman yang dikembangkan di KR Cibodas.
Selain itu, tim keamanan sudah disiagakan untuk terus berpatroli. ”Memang kekurangan kami tidak ada kamera pengawas ya. Kalau mengandalkan tim keamanan, ya tidak mudah mengawasi kebun seluas 84,99 hektar,” kata Dian.
Untung, begitu kabar vandalisme itu tersebar ke media sosial, salah seorang pelaku datang untuk meminta maaf. Dia seorang bocah berusia 13 tahun, datang dengan diantarkan sang ibu.
Dia ternyata pelempar batu kedua. Pihak Kebun Raya Cibodas juga tidak bisa memastikan apakah pelaku dua pelemparan lainnya satu orang atau lebih. Sebab, tak ada kamera pengawas.
”Saya mau marah juga sudah tak tega. Anaknya terlihat tertekan juga saat diantar oleh ibunya,” ungkap alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.
Menurut Destri, aksi pertama sejatinya paling berpengaruh pada masa pertumbuhan spadix tanaman keenam. Sebab, tanaman sedang berada di masa akhir pertumbuhan sehingga tak mampu lagi melakukan recovery saat terjadi kerusakan.
”Tapi, bukan berarti aksi kedua dan ketiga dapat dibenarkan,” katanya.
Untung, anakan keenam yang menjadi korban vandalisme itu tetap tumbuh. Bunganya juga tetap mekar pada 26 Januari lalu, mundur dua hari dari prediksi. Setidaknya hati Destri yang hancur bisa sedikit terobati. (*/Jawa Pos/JPG)