eQuator – Praktik gratifikasi di dunia kedokteran sejatinya sudah bukan barang baru. Perusahaan farmasi memberikan ‘imbalan’ kepada setiap dokter yang meresepkan obat produksi perusahaan farmasi tersebut.
Praktek kotor ini jadi perbincangan menyusul pemberitaan investigasi sebuah majalah. Dari hasil investigasi tersebut, terungkap nilai gratifikasi yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter hingga ratusan juta rupiah.
Berikut ini tanggapan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zainal Abidin saat dijumpai di ruang kerjanya. Ditemani kudapan ringan plus kopi susu hangat, Zaenal memaparkan.
+Banyak kalangan menilai harga obat terlalu tinggi lantaran praktik gratifikasi. Sebenarnya seberapa besar pengaruh gratifikasi terhadap harga obat itu?
-Kami rapat kemarin, saya coba tanyakan ke farmasi alokasi dananya ke mana sih sebenarnya. Ternyata obat itu sebelum diproduksi harganya sudah naik, karena mungkin dari izinnya sudah harus bayar, bahan bakunya juga kan dari luar negeri, karena kita tidak punya bahan baku.
Selain itu, ada biaya distribusi, distribusi obat di Indonesia itu panjang rantainya, setiap persinggahan perusahaan distribusi obat itu mengambil keuntungan 10-30 persen dan apotik pun demikian. Jadi bukan resep yang membuat harga obat mahal. Yang diresepkan dokter itu sedikit sekali daya ungkitnya terhadap harga obat. Dan itu tidak masuk ke dokter, kan ke apotek sendiri.
+Menkes Nila F Moeloek serius menindaklanjuti praktik gratifikasi ini dengan langsung menggandeng KPK. Anda bagaimana menanggapinya?
-Begini ya. Jadi gratifikasi menurut pandangan IDI pasti berhubungan dengan suap. Itu juga ada hubungannya seperti dengan korupsi. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap. Kalau dia bukan pegawai negeri tidak masuk, begitu juga dokter. Apabila pemberian itu berhubungan dengan jabatannya itulah suap, tapi jika tidak terkait dengan jabatannya nggak ada masalah. Apalagi tidak semua dokter pejabat negara atau pegawai negeri. Namun memang yang pegawai negeri diatur oleh undang-undang.
+Kode etik kedokteran memangnya tidak mengatur soal gratifikasi?
-Kalau dalam kode etik kedokteran (gratifikasi) dibolehkan. Menurut etik, seorang dokter menerima bantuan untuk mengikuti pendidikan berkelanjutan, simposium, kursus-kursus, baik di dalam negeri maupun di luar negeri itu dibolehkan.
Kenapa (dibolehkan)? karena dokter itu pasti tidak bisa membiayai sendiri. Sementara dia dituntut untuk memiliki kemampuan, harusnya pemerintah menyediakan uang untuk itu tapi kan tidak, akhirnya pihak farmasi turun tangan, tapi dengan catatan tidak boleh mempengaruhi independensi dokter untuk meresepkan obat.
Begitu juga farmasi dia juga ada kode etiknya. Misalkan, saya jadi pembicara mengikuti acara selama di Bali, kode etik kedokteran membolehkan saya mendapat sponsor tiket pesawat, penginapan, tapi kalau saya hanya peserta tidak boleh dapat (uang) Perdin (Perjalanan dinas), tidak dapat macam-macam. Karena saya membuat makalah. Itu bukan hal yang haram.
+Tapi anggapan di luar mengatakan itu korupsi?
-Ada teman-teman di luar dengan mudah mangatakan itu korupsi. Padahal semua negara asosiasi kedokterannya membolehkan itu.
+Kalau dokter menerima gratifikasi dalam bentuk mobil bagaimana?
-Kalau itu kan kami sudah panggil dokternya, ada yang mengatakan tidak seperti itu. Jadi ada dokter yang punya apotek, ada yang punya rumah sakit, mungkin itu yang masuk rumah sakit, kebetulan dia yang tanda tangan. Tapi dia tidak masuk sebagai pribadi dokter, tapi masuk ke korporasinya.
+Kalau diajak umroh?
-Ya itu sudah salah, tidak usah dibicarakan lagi. Ada sanksi etiknya itu.
+Lantas bagaimana pencegahannya?
-Kalau mau ke depan kita buat transparan aja, siapa yang memberi lapor, siapa yang menerima lapor. Nanti kita nilai penerimaan ini di luar batas kewajaran atau tidak. Kalau dapat berlebihan kembalikan. Kalau tidak ya ada sanksi. Sanksinya ya macam-macam. Ada ditegur, ada dibuat bikin paper atau dilarang praktik supaya dia jera.
Untuk itu, sekarang kita silahkan perusahaan farmasi mempublikasikan ke mana saja uangnya mengalir, biaya promosinya berapa dan mengalir ke mana saja.
Dokter juga publikasikan, laporkan ke IDI bahwa saya tanggal sekian berangkat ke mana, dapat bantuan sekian agar transparan. Untuk itu ke depan kami ingin membentuk forum komunikasi antara IDI, asosiasi rumah sakit, counsil kedokteran dan perusahaan farmasi.
Muaranya nanti kita membuat lembaga kontrol. Nanti kalau ada yang mencurigakan atau ada aneh-aneh, silahkan laporkan ke majelis etik untuk diberikan penilaian kalau salah suruh kembalikan uangnya.
+Hingga kini adakah sistem di pemerintah yang bisa meminimalisir praktik gratifikasi dokter?
-Sekarang ini dengan era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) BPJS itu tidak akan membayar kalau dokter itu membuat resep mahal. Sekarang ada e-katalog, yang memesan obat itu kan rumah sakit, bukan dokter. Pokoknya dengan e-katalog, dokter tidak boleh seenaknya meresepkan obat.
Re-editing: Andry Soe