-ads-
Home Nasional Deportasi Tak Bikin Kapok

Deportasi Tak Bikin Kapok

Tuntutan Ekonomi Paksa Rakyat Indonesia Kerja di Luar Negeri

PEMULANGAN TKI. Dok. Rakyat Kalbar

Bekerja di luar negeri masih magnet tersendiri bagi warga negara Indonesia (WNI). Dalam sebulan tercatat 14.845 orang jadi buruh migran. Belum termasuk yang lewat jalur ilegal. Tuntutan ekonomi dan pengaruh lingkungan menjadi faktor utama yang mendorong para WNI bermigrasi ke negara tetangga tersebut.

eQuator.co.id – Azis Eko Purnomo, 17, masih ingat betul pengalaman berurusan dengan Polisi Diraja Malaysia pada 2014 silam. Remaja berperawakan kurus itu ditangkap karena membawa senjata tajam, sejenis pisau. Dia pun digiring dan ditahan di sebuah lokap (penjara sementara) polisi Pulau Pinang, negara bagian Malaysia. ”Tapi bisa bebas, bayar suap RM 700,” ujar Azis kepada Jawa Pos.

Bukan hanya sekali itu Azis berurusan dengan polisi negara tetangga. November 2016 lalu, remaja kelahiran Sragen, Jawa Tengah itu juga kembali ditangkap otoritas keamanan Pulau Pinang. Kali ini, Azis disangka pasal perjudian. Azis pun lagi-lagi digiring ke lokap untuk diproses secara hukum. ”Kalau kasus ini, saya harus bayar RM 4.800 biar (kasus judi) tidak diproses,” tuturnya.

-ads-

Kasus judi itu menjadi pengalaman terakhir Azis berurusan dengan polisi Malaysia. Sebab, meski sudah membayar, remaja yang mengaku lulusan SD ini tetap masuk list WNI bermasalah (WNI-B) yang harus dideportasi ke tanah air. Azis pun ikut rombongan WNI-B pulang ke Indonesia pada 25 Januari lalu. ”Saya bayar untuk keringanan kasus,” tuturnya.

Azis merupakan satu diantara ribuan bahkan jutaan WNI yang menganggap Malaysia sebagai rumah kedua. Meskipun berkali-kali mendapat masalah di negeri melayu tersebut, mereka tetap ingin kembali. ”Rencananya bulan depan saya ingin kembali lagi (ke Malaysia, Red),” ungkap remaja yang sejak usia 12 sudah bekerja di Malaysia ini.

Di tempat asalnya di Sragen, dia pesimistis bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Namun di Malaysia dia bisa mendapatkan uang dengan cukup mudah. Aziz yang bekerja di restoran di Pulau Pinang mendapatkan upah RM 80-100 perhari (Rp 270 ribuan). ”Di sana (Pulau Pinang, red) juga sudah banyak teman yang sudah seperti saudara sendiri,” ujar remaja yang sudah tak punya orang tua.

Menjadi buruh di negeri orang masih jadi pilihan yang diminati begitu banyak orang. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2016 ada 234.451 orang TKI. Hingga Januari sudah 14.845 TKI yang ditempatkan. Jumlah tersebut memang lebih sedikit pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 23.665 orang.

Lokasi penempatan paling banyak di Malaysia 5.866 orang, Taiwan (4.915), Hongkong (1.347), Singapura (1.077), dan Saudi Arabia (518). Tentu masih banyak lagi TKI yang berada di negera-negara terebut yang tidak masuk dalam pendataan BNP2TKI.

Kepala BNP2TKI Nusron Wahid mengakui banyak TKI yang menggunakan cara-cara ilegal untuk bisa menjadi pekerja di negeri tetangga. Khususnya di Malaysia dan Singapura. Lantaran masuk secara ilegal, pekerjaan yang diperoleh pun apa adanya. Sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka.

”Banyak sekali TKI yang masuk tanpa izin ke sana (Malaysia dan Singapura),” ucap Nusron.

Nusron menduga ada oknum yang turut bermain. Karena itu, BNP2TKI berusaha mencari tahu keberadaan oknum tersebut. Caranya dengan menjalin kerja sama dengan KPK, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan pemerintah daerah (pemda) yang menjadi kantong-kantong buruh migran.

”Siapa pemainnya? Bagaimana cara mengatasinya?,” kata dia.

BNP2TKI juga membentuk 50 one stop service untuk memudahkan TKI yang hendak mengurus dokumen. Selain itu, one stop service dipercaya bakal memangkas biaya yang biasa dikeluarkan TKI untuk mengurus dokumen.

”Supaya cepat. Untuk urus dokumen tidak perlu ke banyak pintu. Cukup satu pintu,” jelasnya.

Lokasinya berada di kabupaten dan kota yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. selain itu ditempatkan pula di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau. Pada tahun ini ditargetkan bisa selesai 24 tempat one stop service.

Pengetatan sejak pengurusan paspor menjadi salah satu cara untuk menyaring calon TKI ilegal. Pada awal tahun hingga 24 Februari, Direktorat Jenderal Imigasi Kemenkumham setidaknya telah menolak pengajukan paspor 735 orang. Lantaran mereka hendak bekerja di luar negeri tanpa dilengkapi dokumen-dokumen atau perizinan yang sah. Mayoritas berasal dari daerah kantong-kantong TKI seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Kepala bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Agung Sampurno menuturkan sejak awal pembuatan paspor memang ada pengetatan. Pembuat paspor akan ditanyai tujuannya, untuk sekadar wisata atau hendak bekerja. Bila memang untuk bekerja harus disertai dengan rekomendasi dari BNP2TKI.

”Makanya kalau pas bikin paspor hanya bilang ingin wisata tapi ternyata saat di bandara bawa visa kerja bisa ditolak petugas imgrasi. Karena dia tidak konsisten,” ujar Agung.

Petugas tidak akan mempertimbangkan meskipun orang tersebut sudah punya tiket misalnya. Orang tersebut tetap bisa ditolak saat di bandara. Data dari Januari hingga 24 Februari sudah ada 125 orang yang dicekal pergi.

Pengetatan dalam pembuatan paspor itu ditujukan untuk perlindungan TKI. Sebab, orang yang dari awal menyalahi aturan sangat mungkin tidak punya kompetensi yang cukup untuk bekerja di luar negeri. ”Potensi dieksploitasinya lebih besar. Justru itu merugikan yang bersangkutan,” ungkap pria asal Malang itu.

Dia mencontohkan kasus Siti Aisyah yang belakangan diketahui bekerja secara ilegal di Malaysia. TKI yang tanpa memiliki dokumen yang sah berada dalam posisi yang rentan. Sesuai prosedur, para TKI itu harus melaporkan ke KBRI untuk pendataan. Tapi, memang banyak yang mengelabuhi dengan menjadi TKI ilegal.

”Ketangkapnya (Aisyah, red) lagi kerja jual minyak wangi parfum,” imbuh Agung.

Peran imigrasi di luar negeri juga tidak bisa mengawasi seluruh warga Indonesia. Apalagi dari sekitar 130 kantor kedutaan besar hanya 19 negara diantaranya yang punya atase imigrasi.

”Kadang yang sulit itu mengawasi kalau ada orang yang bepergian ke Malaysia tapi tujuan akhirnya bekerja di negara lain. Pelacakanya dengan bantuan negara lain itu,” ungkap dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migran Care Wahyu Susilo mengatakan pemerintah perlu lebih mengguatkan jalur diplomasi agar bisa menekan negara lain dalam perlindungan TKI. Tantangan tersebut memang berat karena Indonesia perlu punya posisi tawar yang kuat.

”Tapi perlidungan itukan komitmen Presiden Jokowi juga yang menjanjikan negara hadir untuk melindungi,” katanya.

Selain itu, pengawasan terhadap TKI juga sangat lemah. Pejabat yang menangani tenaga kerja di luar negari bukan seorang diplomat. Tapi, hanya petugas teknis administrasi yang mendata TKI.

”Kalau diplomat dengan paspor yang dimiliki tentu punya gerak yang lebih leluasa. Seperti menemui TKI di penjara,” ungkap Wahyu.

Lebih jauh perlu pula untuk mengubah cara pandang terhadap TKI. Tidak hanya memandang mereka dari sisi ekonomi saja. Tapi, juga lebih pada upaya perlindungan WNI di negara lain.

”Saya kira peran swasta juga harus lebih dikurangi. Karena swasta itu orientasinya hanya mengambil untung,” kata Wahyu.

Sementara itu,  Pihak Kementerian Ketenagakerjaan menilai permasalahan TKI ilegal di berbagai negara merupakan masalah yang kompleks. Baik pencegahan dan perlindungan TKI tak akan bisa sukses jika upaya tersebut hanya dilakukan secara benar di negara Indonesia. Karena itu dia menilai penting adanya payung hukum antara negara asal dan tujuan.

Hal tersebutlah yang terus berusaha didorong oleh Kemenaker dalam kesempatan apapun. Apalagi, payung hukum yang melindungi buruh migran secara hukum di wilayah Asia Tenggara. Seperti yang diketahui, kawasan ASEAN merupakan kawasan tujuan TKI terbesar sepanjang sejarah buruh migran. Diantaranya, negara tetangga Malaysia masih belum menduduki posisi nomor satu dengan penempatan TKI prosedural sebanyak 87 ribu jiwa tahun lalu saja. Sekitar 30 persen dari total pengiriman TKI 2016 sebanyak 234 ribu.

Namun, seringkali upaya perlindungan TKI dan penegakan hukum penyalur terhalang dengan belum tegasnya hukum di negara tujuan. Banyak oknum penyalur yang masih bersembunyi di negara seperti Malaysia. Karena itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri terus mendorong negara-negara ASEAN untuk menghasilkan instrumen yang mengikat mengenai perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran.

Upaya tersebut bakal dilakukan lagi pada Pertemuan Retreat Menteri Tenaga Kerja se-ASEAN di Davao City 20-21 Februari nanti. Menurutnya, diskusi pembuatan instrumen hukum untuk buruh migran di ASEAN terus berputar-putar. Dari saat diskusi dimulai pada 2009, sudah 15 perundingan dilakukan tanpa ada konsensus.

”Indonesia kan negara yang  banyak menempatkan tenaga kerjanya ke luar negeri. Karena itu kami sangat perhatian terhadap perlindungan hak-hak pekerja migran dan penegakan hukum disana,” ujarnya.

Salah satu aspek yang diperdebatkan adalah status instrumen antara mengikat atau tidak. Kemudian, apakah keluarga dari TKI tersebut juga ikut masuk dalam daftar perlindungan dalam produk hukum itu nanti. ”’Kami berprinsip agar status instrumen ASEAN tersebut nantinya akan mengikat. Sehingga memiliki landasan hukum yang jelas,” terang Maruli A Hasoloan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja. (Jawa Pos/JPG)

Exit mobile version