eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Fakta demi fakta terkait penyerangan anggota kepolisian di Pos Polisi Wisata Bahari Lamongan (WBL), Jawa Timur, mulai terkuak. Pelaku utama, yakni Eko Ristanto, melakukan aksinya karena dendam. Dia juga nekat menyerang polisi karena terpapar paham radikal.
Dua fakta tersebut terungkap setelah Densus 88 Antiteror memeriksa Eko Ristanto dan MSA di Mapolda Jawa Timur. MSA adalah remaja 17 tahun yang membantu Eko. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, Eko sakit hati karena dipecat dari kepolisian.
Pemecatan itu dilakukan karena pria 35 tahun itu terlibat aksi penembakan guru ngaji di Sidoarjo pada 2011 lalu. Pada Senin 26 Maret 2012, hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo memvonis Eko penjara 11 tahun. Otomatis dia juga dipecat dari kepolisian dengan pangkat terakhir briptu.
Perasaan sakit hati itu semakin membara saat dia mendekam dalam penjara. Apalagi, dia kemudian bergaul dengan napi kasus terorisme yang sama-sama mendekam dalam penjara. Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu menyebutkan, Eko terpapar paham radikal sejak berada di dalam Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
”Setelah keluar dari lapas, Eko ini malah makin terpapar dari media sosial dan beberapa buku. Kami juga sudah sita buku-buku di kediaman Eko,” terang Dedi saat berkunjung ke kantor Jawa Pos di Graha Pena Jakarta kemarin (21/11).
Dia menerangkan, sebelum penyerangan, Eko dan MSA melakukan pengintaian selama berhari-hari. Mereka bolak-balik lokasi penyerangan menggunakan motor.
Untuk kebutuhan penyidikan, Densus 88 Antiteror terus melakukan pemeriksaan. Terutama terkait apakah Eko memiliki kelompok lain. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan Eko tergabung atau memiliki kelompok penyerangan lain.
Sumber internal Jawa Pos di kepolisian menyatakan bahwa dua pelaku tersebut sebenarnya hanya simpatisan. Mereka mendapatkan doktrin radikal melalui akun media sosial. ”Mereka ini termasuk lone wolf,” tambah sumber itu. Dia menambahkan, para pelaku sempat berkunjung ke beberapa lapas napi kasus tindak pidana terorisme (napiter). Tujuannya untuk mendapatkan arahan. ”Langkah apa selanjutnya yang bisa dilakukan oleh para pelaku tersebut. Ikuti napiter itu, itu gurumu, datang ke lapas itu, tanyakan apa selanjutnya,” papar sumber tersebut.
Ketika diwawancarai Jawa Pos kemarin, pengamat terorisme Al Chaidar menyampaikan, besar kemungkinan Eko direkrut saat menjalani hukuman di dalam lapas. ”Jadi, kalau di penjara itu memang jaringan keras,” ungkap dia. Niat penyerangan semakin bulat karena Eko dibakar api dendam pada institusi Polri. ”Dan memang tidak harus menggunakan senjata tajam, bom, atau pistol,” tambah dia.
Al Chaidar menyebutkan bahwa teroris bisa melancarkan serangan menggunakan media apapun. Yang penting serangan terlaksana. Yang dilakukan oleh Eko memang terbilang sporadis. Bisa jadi karena dia bergerak sendiri (lone wolf). Hanya saja, melihat lokasi penyerangan berada di wilayah Jatim, bukan tidak mungkin yang bersangkutan terhubung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang sudah dilarang.
Dia mengatakan, polri memang sudah bergerak menangkapi terduga teroris yang terhubung dengan kelompok tersebut. Namun, kata Al Chaidar, mereka masih aktif bergerak. ”Mereka tidak surut. Jumlah mereka masih banyak,” ungkapnya. Pidana mati untuk pimpinan JAD Amman Abdurrahman tidak membuat mereka kehilangan arah. Sebab, di berbagai daerah masih ada pimpinan wilayah masing-masing.
Dari catatan Al Chaidar, pimpinan wilayah JAD di Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Jatim termasuk paling aktif. Selain itu, masih ada pimpinan wilayah di Sumatera. ”Mereka memiliki hubungan yang sangat intens dengan orang-orang di Suriah,” ujarnya. Penyerangan yang masih terjadi menjadi salah satu bukti bahwa komando belum putus. ”Kalau masih bergerak itu artinya komando masih berjalan,” tegas dia.
Kondisi itu harus diantisipasi oleh pemerintah dan aparat keamanan. Menurut Al Chaidar, pemerintah harus hati-hati betul dalam menerapkan kebijakan. Jangan sampai ada kebijakan yang bisa memancing pergerakan teroris. ”Kebanyakan dari mereka itu bergerak karena memang melihat situasi yang dianggap semakin amburadul,” ucap dia.
Menurut dia, kelompok teroris di dalam negeri sangat sensitif dengan kebijakan yang dinilai menyalahi prinsip-prinsip mereka. Misalnya yang bertentangan dengan kemanusiaan. ”Akan terjadi reaksi balik (jika pemerintah menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip kelompok teroris),” imbuhnya. Itu merupakan gejala umum yang wajib jadi perhatian untuk diwaspadai.
25 hari dan tujuh tahun yang lalu adalah titik balik karir Eko di kepolisian. Pada 28 Oktober 2011 dini hari, mantan anggota Satreskrim Polres Sidoarjo itu menembak Riyadi Solikin. Korban adalah seorang guru ngaji di Desa Sepande, Kecamatan Candi, Sidoarjo.
Penembakan itu yang membuat Eko akhirnya tidak lagi berstatus sebagai polisi. Korbannya bukanlah penjahat. Dia guru ngaji dan takmir masjid Ar Rohman. Eko dipecat dan divonis hukuman sebelas tahun penjara. Setelah tak jadi polisi, nama Eko kembali mencuat. Dia menyerang polisi menggunakan batu dan ketapel kelereng.
Semasa menjadi polisi, Eko termasuk sosok menonjol di kesatuannya. Sebelum dipecat, dia anggota reserse yang produktif. Sering menangkap pelaku kejahatan di Sidoarjo.
Karirnya tamat selepas dugem dan pesta miras di Ponti Café and Resto, jalur lingkar Barat Sidoarjo pada 27 Oktober 2011. Pesta tersebut digelar bersama sesama temannya hingga berganti hari. Ladys club berpakaian minim di kafe itu bilang, mereka menghabiskan banyak botol. Pesta terhenti setelah seorang rekannya yang pulang duluan, terserempet mobil Riyadi Solikin.
Pesta berhenti. Eko mengejar mobil Riyadi Solikin yang berjalan ke arah rumahnya. Satu tembakan yang dilepas di jalanan Taman Pinang, tidak membuat mobil Suzuki Carry W 1499 NW berhenti. Tiga tembakan dilepaskan ketika mobil menapaki jalan Sepande. Tembakan terakhir dari samping membuat Riyadi Solikin tak berdaya. Korban meninggal setelah dibiarkan dua jam dalam kondisi berdarah.
Kasus penembakan itu sempat membuat wajah kepolisian tertampar. Eko melapor ke pimpinannya bahwa dia menembak karena ada perlawanan. Riyadi Solikin disebut membawa celurit dan membahayakan. Laporan polisi dengan prestasi moncer itu membuat pimpinannya percaya. Eko melengkapi alibi perlawanan dengan luka di jari kelingking kanannya. Luka itu disebut karena sabetan celurit.
Saat itu, aksi koboi Eko dibela habis-habisan oleh kesatuannya. Penembakan itu dianggap sudah sesuai prosedur. Polres Sidoarjo sampai menggelar jumpa pers yang membeberkan alasan bahwa penembakan itu tidak salah. Posisi Eko menjadi sangat aman dan terlindungi.
Meski sudah ada rilis, Jawa pos tetap menulis tentang semua kejanggalan. Seorang perwira polisi berpangkat balok tiga, meminta bertemu. Dalam pertemuan singkat itu, dia berani bertaruh bahwa anak buahnya benar. Saat itu, saya pun berani bertaruh, anak buahnya salah. Seorang perwira berpangkat melati, ikut marah besar. Dia menyebut berita Jawa Pos tidak benar. Kira-kira 30 menit kemarahan itu ditumpahkan di ruangannya.
Tapi posisi aman Eko tidak berlangsung lama. Rekayasa cerita terungkap. Celurit yang konon dibawa korban, tidak pernah ada. Luka di jari, juga buatan sendiri. Terlebih, tentang cerita penyerangan yang dilakukan dengan kaca mobil terbuka sedikit.
Kejanggalan itu membuat masyarakat marah. Demo besar-besaran menuntut penembak Riyadi Solikin diadili. Sampi akhirnya, tim pencari fakta Polda Jatim menemukan kejanggalan. Enam polisi akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Sejak itu arah angin berbalik. Eko menjadi sosok yang paling disalahkan. Atasannya yang merasa dikibuli, marah sekali. Karena ulahnya, polres menjadi sasaran kemarahan warga. Foto kapolres di bundaran Taman Pinang dibakar. Konvoi demo warga nyaris anarkis. Polisi yang tidak ikut-ikutan, ikut khawatir terkena amarah warga. Sampai-sampai polisi membiarkan pengendara roda dua yang tak berhelm saat melewati jalan protokol.
Bukan itu saja. Saat itu dia sebenarnya pernah meminta agar ditahan di tahanan polres. Eko Khawatir jadi sasaran amuk tahanan lapas yang marah. Apalagi yang ditembak mati adalah seorang takmir masjid. Tapi permintaan itu diabaikan. Polres tidak mau menanggung risiko jika dianggap mengistimewakan. Apalagi amarah warga masih belum sepenunnya reda.
Selama di dalam lapas, Eko sangat tertekan. Petugas lapas sampai memberikan pengawasan khusus dan menjauhkan dari semua benda yang dianggap membahayakan. Termasuk menempatkannya di ruang tahanan yang terpisah dari tahanan lain.
Akibat ulah Eko, beberapa perwira terkena getahnya. Ada yang dinonjobkan. Sehari-hari hanya ngantor tanpa tugas apa pun. Ada juga yang rencana melanjutkan sekolah kepemimpinan, berantakan. Padahal sudah direncanakan sejak jauh hari dan mendekati hari pelaksanaan.
Hal itu yang membuat Eko dijauhi oleh teman-temannya. Saat ditahan di Lapas Delta Sidoarjo, Eko hampir tidak pernah dijenguk oleh koleganya. Hanya keluarga dekat yang datang. Termasuk bapaknya yang juga pensiunan polisi.
Polisi bermelati satu yang pernah marah besar itu pun akhirnya meminta maaf. Sedangkan yang berbalok tiga, tak sempat bertemu sampai sekarang. Sebenarnya saya ingin bertemu walau semenit. Sekedar untuk mengatakan, saya menang taruhan.
Kini nama Riyadi Solikin dipakai untuk menamai jalan raya Sepande. Lokasi guru ngaji itu ditembak. (Jawa Pos/JPG)