eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Defisit APBD Kalbar Tahun Anggaran 2018 yang mengalami defisit Rp600 miliar lebih masih menjadi pertanyaan besar. Sampai-sampai Gubernur Kalbar terpilih, Sutarmidji angkat bicara.
Menurut Wali Kota Pontianak itu, Pemprov Kalbar dalam hal ini Penjabat (Pj) Gubernur dan Ketua Tim Anggaran provinsi harus memberikan penjelasan tentang defisit anggaran sebagaimana surat edaran yang diberikan kepada setiap SKPD.
“Kepala BKD dan Aset itu kalau menjelaskan jangan seperti orang tak paham, sehingga membuat masyarakat semakin penasaran,” tegas Sutarmidji, Kamis (26/7).
Pria yang karib disapa Midji ini menuturkan, di dalam surat edaran itu ada yang bersifat potensi. Namun ada juga yang riil (sudah defisit). Seperti dana kurang transfer bagi hal pajak sebesar Rp268 miliar. Hal tersebut jelas riil defisit, karena uang harusnya tersedia. Tapi faktanya tidak. “Ini 2017, artinya ketika 1 Januari 2018 yang ini ada di kas,” ujarnya.
Kalau terpakai kata dia, pasti angka ini akumulasi dari kurang transfer beberapa tahun sebelumnya. Dijelaskan Midji, Kota Pontianak pernah kurang lebih dari Rp50 miliar dari pagu awal yang ditransfer. Akhirnya kelabakan. “Untung aja ada dana sertifikasi yang kelebihan transfer, kalau tidak kita bisa gagal bayar,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia meminta Pemprov Kalbar untuk dapat menjelaskan dan memberi solusi yang benar dalam hal defisit ini. Ia pun menilai cara menutup defisit dengan memotong pagu anggaran belanja langsung seluruh SKPD sebesar 30 persen memang berat. Akan tetapi ini pilihan yang sedikit baik dibandingkan mendongkrak pendapatan, tapi tak rasional. “Hal ini mengganggu realisasi program ke depan,” lugas pria yang akan dilantik sebagai Gubernur Kalbar pada 17 September 2018 ini.
Terpisah, Anggota DPRD Kalbar H Miftah menuturkan, pihaknya belum bisa memberikan banyak komentar terkait defisit APBD tersebut. Sebab sampai saat ini belum ada menerima laporan dari eksekutif mengenai hal itu.
“Selama ini normal-normal saja masih berjalan. Jadi yang disampaikan oleh pemerintah itu sepihak. Sedangkan pembahasan anggaran itu antara pemerintah provinsi dalam hal ini eksekutif dengan legislatif,” terangnya.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengatakan, jika terjadi potensi defisit seperti ini mestinya harus ada laporan yang diterima pihak legislatif dari eksekutif. Nyatanya, sampai kemarin pihaknya tidak tahu.
“Itu hanya bahasa kemungkinan-kemungkinan. Mestinya ada alasan yang harus dikemukakan permasalahannya apa kenapa sampai defisit anggaran,” tuturnya.
Miftah masih menunggu rapat pembahasan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Karena di situ akan dibacakan dan kelihatan dengan jelas. Apakah APBD tahun ini memang defisit dan apa latar belakangnya? “Apakah karena faktor gaji 13 atau THR. Tidak mungkinlah sampai Rp600 miliar,” lugasnya.
Ini berarti ada yang tidak beres dari pemerintah. Padahal, tahun 2017 sudah LHP dan hasilnya WTP.
“Berarti pemerintah provinsi ngutang. Nanti lebih lengkapnya, begitu kita pembahasan APBD mau kita bongkar semua, baru bisa kita komentar,” tegas Miftah.
Sementara itu, Pakar Ekonomi Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Edi Suratman mengatakan, kondisi tahun 2017 ada SiLPA yang tidak tercapai sebesar Rp77 miliar. Ini berarti perencanaan anggaran tahun 2017 kurang benar.
“Problem pertama berarti ada diperencanaan anggaran kenapa begitu banyaknya SiLPA yang tidak tercapai,” ungkap Edi kepada Rakyat Kalbar, Kamis (26/7).
Kemudian, lanjut dia, kurang bayar pajak dari 14 kabupaten/kota sebesar Rp268 miliar. Hal tersebut juga merupakan keadaan tahun 2017. Seharusnya kabupaten/kota menerima di tahun 2017. Akan tetapi karena tidak mampu dibayarkan tahun 2017, ia menganggap seolah-olah Pemprov Kalbar berutang sama kabupaten/kota.”Itu kan haknya kabupaten/kota. Kenapa belum dibayarkan?” tanyanya.
Karena belum ada duitnya kah? Atau dipakai buat apakah? Yang menjadi pertanyaan pernahkah kabupaten/kota tahu mengenai itu? “Saya khawatir tidak diberitahu. Dan saya bertanya kepada salah seorang kepala daerah, dia mengaku tidak tahu itu,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untan ini tidak menampik adanya masalah dalam pengelolaan keuangan di tahun 2017. Sehingga dirinya pun menyarankan agar dilakukan audit dari pihak ketiga.
“Yang paling normal sebenarnya harus di audit dari pihak ketiga. Walau sudah diaudit oleh BPK, adakan lagi audit ulang. Karena infonya baru tahu sekarang,” saran dia.
Dijelaskan Edi, untuk keadaan tahun 2018 ada tunjangan atau gaji pegawai yang tak terbayarkan. Hal tersebut menurutnya, masuk akal. Karena keadaan terjadi di tahun anggaran 2018.
“Tapi yang nyata tahun 2017 itu kan sudah lewat. Memang bisa disebut potensi, tapi yang dikhawatirkan itu keadaan 2017 itu mengganggu kondisi keuangan di tahun 2018,” paparnya.
Untuk mengimbangi itu semua anggaran belanja langsung setiap SKPD harus dipotong sebesar 30 persen. Menurutnya, itu sesuatu yang paling mengganggu. Karena tindakan tersebut dapat mengurangi hak rakyat.
“Itu uang pemerintah, tapi hak rakyat. Berarti seharusnya rakyat menikmati pendidikan 100 persen, tapi dengan adanya pengurangan itu jadi menikmati 70 persen. Begitu juga yang lainnya,” demikian Edi.
Laporan: Rizka Nanda
Editor: Arman Hairiadi