eQuator.co.id – Singkawang-RK. Demam Berdarah Dengue (DBD) memakan korban jiwa di Kota Singkawang. Dua anak meninggal dunia lantaran sudah mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS).
Disebutkan Kabid Pelayanan Medis RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang, Mularso, tercatat sembilan orang masuk rumah sakit secara beruntun di bulan Maret. “Dua orang telah meninggal dunia pada Selasa malam, dan ini memang perlu kita antisipasi. Mengingat tingginya jumlah pasien dan penyebaran pasien ini juga bukan dari satu wilayah. Melainkan beberapa wilayah yang ada di kota Singkawang,” ujarnya ditemui di ruang kerjanya, Rabu (22/3).
Dia mengungkapkan, dari tujuh pasien yang tersisa, ada dua pasien yang sekarang dalam masa kritis. Sedangkan lima lainnya telah melewati masa kritis tersebut. Usia para pasien rata-rata pelajar Sekolah Dasar (SD).
“Yang kritis dari (kelurahan) Sekip lama dan Sedau. Sedangkan yang sudah melalui masa kritis belum bisa dibilang aman. Masih kita pantau terus,” tegasnya.
Terkait dua orang yang meninggal dunia, lanjut dia, memang telat dibawa kerumah sakit. Saat dibawa, keadaannya sudah Dengue Shock Syndrome (DSS).
“Mereka itu baru dibawa tadi malam (21/3), dan meninggalnya juga tadi malam. Bahkan satu anak belum sempat sampai ke rumah sakit, saat di ambulans sudah meninggal,” ungkapnya.
Imbuh Mularso, “Adapun yang meninggal Aisyah Kirana usia sekitar 8 tahun, duduk di kelas 2 SD warga Bukit Batu. Dan Nurcaila berusia 4 tahun warga Alianyang Gang Kapuas”.
Ia mengakui, dibandingkan tahun lalu, tahun ini jumlah penderita DBD meningkat. Bisa jadi, analisa dia, ini siklus kejadian luar biasa (KLB), yang mana terjadi dalam 5 tahun sekali.
“Sampai ada yang meninggal ini luar biasa. Bahkan dalam 1 bulan ini mereka masuk, dan beruntun lagi masuknya, dan penyebaran DBD ini pun luas, dari Singkawang Tengah, Barat dan Selatan. Tapi kebanyakan di Selatan,” jelas Mularso.
Ia menyatakan pihaknya mengambil langkah-langkah dengan melaporkan kasus ini ke Dinas Kesehatan (Dinkes) agar mereka dapat mengambil tindakan. “Merekalah yang akan mengambil langkah-langkah selanjutnya ke masyarakat. Diantaranya mungkin dengan melakukan fogging, dan saya juga meminta agar Rumah Sakit ini juga difoging, karena infeksi penyakit juga ada di Rumkit,” pungkasnya.
Dinkes Singkawang sendiri segera melakukan pencegahan dan penanggulangan DBD yang, meskipun belum menetapkan status KLB. “Dalam bulan ini saja sudah ada tiga kasus kematian akibat DBD, dua kasus kematian akibat DBD terjadi pada Selasa (21/3) malam, sedangkan satu kasus lainnya terjadi sekitar dua minggu lalu di Sungai Bulan Kecamatan Singkawang Utara, yang merenggut anak usia 3,5 tahun,” ujar Mursalin SKM, Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kota Singkawang, di ruang kerjanya, kemarin.
Pihaknya telah menerjunkan Penyelidik Epidimologis (PE) dan menyusun telaah terkait kasus ini. Penetapan KLB diusulkan ke Kepala Dinas Kesehatan Kota Singkawang kemudian diusulkan ke Walikota.
“Secara prosedur tetap (protap) penanganan DBD, dimana PE datang ke lokasi yang ada kasus DBD. Petugas PE mendatangi rumah penderita, kemudian menyelidiki seluruh wilayah dalam radius 100 meter dari rumah penderita,” ujarnya.
Dia menjelaskan, PE mencari apakah ada penderita lain. Kedua, apakah ada warga terkena penyakit yang gejalanya mirip DBD, lalu melihat apakah dalam radius 100 meter itu ada jentik nyamuk.
“Jika dalam penyelidikan PE menemukan tiga hal rersebut akan dilakukan fogging alias pengasapan serta intervensi abatenisasi di radius 200 meter dari rumah penderita. Itu untuk wilayah yang sudah ada kasus, maka penanganan seperti itu,” terang Mursalin.
Menurut dia, pihaknya telah gencar melakukan pencegahan melalui gerakan 3M plus abatenisasi. ”Soal DBD ini sebelumnya kami pada bulan Februari 2017 lalu sudah melakukan rapat koordinasi di setiap kecamatan se-Kota Singkawang secara bergiliran. Dimana camat, RT, dan kader DBD dan Posyandu dilibatkan,” paparnya.
Bahkan, Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kota Singkawang, kata Mursalin, sudah memetakan wilayah Rukun Tetangga yang masuk kategori Epidemis dan Sporadis.”Kategori merah alias epidimis adalah wilayah RT yang setiap tahun dari tahun 2014-2016 ada kasus DBD, ada tiga RT di Kota Singkawang masuk ketegori ini,” jelasnya.
“Sementara kategori Sporadis adalah wilayah RT yang dalam tiga tahun itu pernah ada kasus DBD meski tidak beruntun terjadi kasus DBD. Misalkan ada wilayah RT ada terjadi kasus DBD tahun 2014, sedangkan di tahun 2015 dan tahun 2016 tidak ada kasus DBD inilah yang disebut sporadis, jumlahnya ada 223 RT,” sambung dia.
Mursalin mengatakan, atas pemetaan penanganan DBD tersebut, pada 2017 ini Dinkes dan KB kota Singkawang membuat 4 siklus penanganan DBD.” Dimana setiap siklus itu kurun waktunya selama 3 bulan, penanganannya dilakukan penebaran abate di tempat penampungan air yang melibatkan warga, ketua RT dan kader DBD dan Posyandu. Dimana takarannya 1 sendok makan abate untuk kapasitas air 100 liter,” ucapnya.
Pembagian abate dilakukan Maret, Juni, September, dan Desember tahun ini. “Kita siapkan 200 boks abate yang menelan biaya Rp 700 juta. Maret ini sebenarnya sudah dilakukan,” terang Mursalin.
Dia juga mengingatkan saat ini sudah datangnya pergantian musim. “Musim penghujan inilah berkembangnya nyamuk pembawa DBD ini. Hanya saja jika secara umum dikenal musim hujan September-Desember, namun tiga-empat tahun terakhir ini siklusnya berubah, karena hingga Maret pun masih masuk musim penghujan,” jelasnya.
Ia mengingatkan, telur nyamuk Aedes Aegepty bisa bertahan enam bulan di musim panas. Ketika kena hujan sekali saja, menetas.
Gejala awal DBD pada manusia, dijabarkan Mursalin, kini berubah. Sehingga, bila ada anak maupun orang dewasa mengalami demam, batuk diharapkan langsung diperiksakan ke dokter. Karena kadang gejala awalnya tidak nampak.
“Seperti kasus bocah di Sungai Bulan mengalami batuk, pilek dan demam, namun tidak menunjukkan ada bintik-bintik merah seperti gejala umumnya. Begitu dicek darah ternyata positif DBD,” tukasnya.
Makanya jika demam, kata Mursalin, dan ada kekhawatiran terkena DBD, tindakan awal harus dilakukan seperti memberi minum banyak-banyak. Berupa susu atau air mineral, kemudian beri minuman obat penurun panas atau paracetamol, lalu dikompres menggunakan air hangat.
“Jika dalam 1-4 hari masih panas langsung dibawa saja ke dokter atau puskesmas, karena jika sudah masuk hari kelima-ketujuh sudah turun panas bukan berarti sembuh melainkan sudah masa kritis bahkan sudah parah,” pinta dia.
Andri Saptawan, orangtua dari Aisyah Kirana Putri, bocah perempuan berusia 8 tahun yang meninggal dunia lantaran terkena DBD, mengungkapkan anaknya sejak Jumat (17/3) sudah demam dan pihaknya memanggil mantri. Kondisi Aisyah tidak berubah hingga sore harinya dan dibawa ke RS DKT Singkawang. Lantaran belum ada perubahan, akhirnya Aisyah dibawa ke Puskesmas Condong dan Senin sorenya dibawa ke Klinik ICM.
Lantaran sudah mengeluarkan darah dari hidung, darah korban diperiksa dan sudah positif terkena deman berdarah dan Senin malam dirujuk ke RS dr Abdul Aziz Singkawang. Dan Selasa (21/3) sekitar pukul 21.30 malam nyawa Aisyah tidak dapat tertolong lagi.
Sementara itu, di Mandor, Landak, petugas Puskesmas setempat masih melakukan fogging setelah penetapan KLB DBD di tiga desa Kecamatan Mandor beberapa waktu lalu. Camat Mandor, Rajiman menuturkan, saat ini fogging sudah masuk ke Desa Mandor.
“Sebelumnya fogging di lakukan di Desa Kayu Ara, diteruskan ke Desa Mandor, kemudian Desa Pongok atau Kayu Tanam Kita targetkan empat hari selesai untuk di Desa Mandor,” kata Rajiman, Rabu (22/3).
Bertahap, fogging terus dilanjutkan untuk mencegah meluasnya DBD. “Sebab tidak bisa secepatnya selesai dilakukan fogging. Mesin fogging terbatas. Alatnya hanya tiga unit, jadi tidak bisa selesai satu desa satu hari,” katanya.
Rajiman berharap, ada penambahan alat lagi. Dari tiga unit alat mesin fogging itu, satu dari Puskesmas Mandor dan dua dari RSUD Landak. “Paling tidak kalau ada tamabahan tiga atau dua unit, kerja sangat makaimal,” imbuhnya.
Rajiman mengaku telah menyampaikannya ke Kadis Kesehatan Kabupaten Landak. Oleh Kadis akan memberikan kembali bantuan satu unit mesin fogging.
“Saya minta dengan ibu kadis agar ada tamabahan alat fogging. Karena ini prioritas. Karena kasus ini sudah KLB. Dulu-dulu kasus ini tidak banyak paling ada tiga tapi sekarang beda sudah masuk sepuluh kasus,” kata Rajiman.
Sebelumnya, ditemukan sepuluh pasien DBD di Kecamatan Mandor. Dari sepuluh orang ini, delapan dari Desa Kayuara, satu orang dari Desa Pongok dan satu orang dari desa Kayu Tanam.
“Kami bersama-sama membantu pemerintah untuk membasmi jenis-jenis nyamuk yang menyebabkan penyakit DBD. Maka dilakukan foging,” ujar Rajiman, Jumat ( 17/3) lalu.
Pemerintah sudah menyediakan alat mesin fogging dan obat-obatannya, sedangkan masyarakat mengeluarkan tenaga untuk partisipasi dalam pelaksanaan. Untuk pelaksanaan foging di desa Kayuara, di perkirakan tiga hari baru bisa selesai.
“Mesin foging yang di gunakan hanya tiga unit. Sedangkan rumah masyarakat sangat banyak,” katanya.
Foging dilaksanakan sesuai desa yang sudah ada kasus DBD nya. Setelah di desa Kayuara kemudian desa Pongok atau desa kayu Tanam.
Menurut data dari Puskesmas Mandor, dari sepuluh orang itu, Masnudianto 8, Siti Nurfadila 8, Galih 5, Vina S, 5, Ismi Azzahra 7, Fais 4, Abdurahman 9, Chelsi 8, dari desa Kayu Ara. Kemudian Adiyatman 17 dari desa Pongok, dan Serial 5, dari desa Kayu Tanam.
Camat Mandor Rajiman menghimbau, untuk pencegahan, masyarakat agar lebih waspada jaga kebersihan bak air atau tong tempat air dan sejenisnya jangan biarkan untuk sarang nyamuk.
“Jika ada bak yang terendam air, agar cepat dibuang airnya dan apabila keluarga sakit panas atau demam cepat bawa puskesmas jangan tunggu lama-lama,” imbaunya.
Pihak Puskesmas Mandor, dalam hal ini juga sudah membagikan bubuk abate kepada setiap penduduk.
“Selain itu dilakukan foging ke rumah masyarakat. Kita ingin dilakukan ke semua penduduk di semua desa se-kecamatan Mandor. Agar terhindar dari penyakit DBD,” harap Rajiman.
Laporan: Suhendra, Antonius
Editor: Mohamad iQbaL