eQuator.co.id – Indonesian Cultural Performance memang telah menutup Festival Produk Indonesia 2016 di Vivacity Mall, Kuching, Malaysia. Namun, kenangan manis masih dirasakan para pedagang UKM peserta festival besutan Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) sejak 8 Juni hingga 3 Juli 2016 tersebut.
Kain songket asal Kabupaten Sambas jadi andalan Indonesia di festival. Stan penjualan tenun itu paling diminati masyarakat setempat. Dijual di kisaran harga RM1000-3000 (kurs Rp3.300), masyarakat Kuching agaknya tak begitu memikirkan harga. Kualitas lah yang mereka cari.
Salah seorang warga Kuching yang memborong beberapa produk Indonesia adalah Dewan Bandaraya Kuching Utara, Datuk Wee Hong Seng. Bahkan, ia akan memberikan lapak jualan di kawasan India Street, Kuching, untuk pelaku usaha kecil menengah (UKM) Indonesia yang memamerkan produknya di festival tersebut.
Stan pelaku UKM yang menjadi favorit Datuk Wee masing-masing produk aloevera (olahan dari tanaman lidah buaya) Pontianak, jajanan khas Singkawang, dan kain songket Sambas. Sejumlah produk di tiga stan itu dibelinya.
“Is good (mantap). Indonesian product is the best (produk Indonesia yang terbaik),” tutur Datuk Wee kepada Rakyat Kalbar sambil mengacungkan jempol kanannya, Minggu (3/7).
Awalnya, Datuk Wee hanya mendampingi Menteri Muda Pelancongan (Pariwisata) Sarawak, Datuk Lee Kim Shin, dan Konsul Jenderal RI, Jahar Gultom, mengelilingi dan mencoba produk di setiap stan tersebut. Entah mengapa, Datuk Wee kembali lagi ke stan yang sudah dikunjungi tersebut.
“Dia tertarik sekali dengan produk aloevera yang saya pamerkan ini,” ujar Benisius Kowira, pengusaha aloevera dengan brand Jestkins asal Pontianak.
Pria berusia 42 tahun ini bercerita, saat mencicipi, Datuk Wee berkata bahwa khasiat lidah buaya ini sama persis dengan sarang burung walet. “Katanya, khasiatnya sama. Bisa untuk kolestrol, panas dalam, usus dan lainnya. Tapi sarang burung walet itukan mahal, makanya kita disuruh untuk berjualan di Kuching. Wali Kota Sarawak menyediakan lapak di India Street,” ungkapnya.
Ratusan dus produk aloevera baik makanan maupun minuman dibawa Beni dari tempat usahanya di Jalan Parwasal, Siantan, Pontianak Utara, untuk mengikuti festival rutin sejak tiga tahun belakangan itu. Di hari pertama, dia pesimis dan pasrah karena produknya hanya dilihat masyarakat Sarawak. Tanpa dibeli.
“Masyarakat di Sarawak ini awalnya belum tahu bahwa aloevara ini bisa dikonsumsi. Tahunya mereka hanya untuk kosmetik. Namun setelah beberapa hari pameran di sini, akhirnya mereka tahu khasiatnya lidah buaya dan mulai membeli. Dan, habis sudah,” cerita Beni.
Jika difasilitasi, Beni menyatakan siap menjual produknya di Kuching. Selain peluang bisnis di sana oke, dikatakannya, juga untuk mempromosikan keberagaman produk UKM Indonesia di mancanegara. “Pak Menteri (Datuk Lee Kim Shin) juga baru kenal dengan produk aloevera ini. Ia dan Pak Konjen tadi juga mencicipi. Katanya mereka siap memfasilitasi. Ya, mudah-mudahan ini bukan hanya sekedar janji,” harapnya.
Senada, owner Dayang Collection, Dayang. Tenun Sambas dagangannya juga dijanjikan lapak jualan di kawasan India Street. Selama mengikuti festival, omzet Dayang puluhan juta rupiah. “Kemarin saat festival di sini (Kuching, red) ada orang Kuala Lumpur yang pesan,” ungkap dia.
Memamerkan produknya di Kuching bukan untuk kali pertama. Sudah tiga kali. Jepang dan Belanda merupakan negara lain yang pernah dihampirinya untuk memasarkan tenun songket. “Di sini juga ada (songket, red), tapi motif kan berbeda-beda. Motif kita justru banyak diminati,” tutur Dayang.
Konsul Fungsi Ekonomi KJRI di Kuching, Henny Mullyani, mengakui dalam festival, hasil kerajinan tangan masyarakat Sambas yakni kain songket laku keras. “Orang Kuching di sini sangat tertarik meskipun harga terbilang mahal,” ujarnya, usai menghadiri penutupan festival tahun ketiga tersebut, Minggu (3/7) siang.
Selain itu, lanjut Henny, event yang berlangsung selama 25 hari ini juga membuat produk makanan maupun minuman berbahan aloevera atau lidah buaya asal Pontianak laris manis. “Dalam beberapa hari saja sudah habis terjual. Sehingga peserta festival yang mendagangkan produk aloevera pulang lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan,” ungkapnya.
Lanjut dia, hingga minggu ketiga festival, omzet dari transaksi penjualan sudah sekitar RM80 ribu. Hingga berakhirnya kegiatan, meskipun rekap detailnya belum disusun, Henny memprediksi transaksinya mencapai kisaran RM100 ribu.
“Belum lagi ada yang pesan secara pribadi dengan sejumlah peserta festival. Ada juga yang mau menjadi distributor di Kuching,” tuturnya.
Tapi pada intinya, ia menyatakan, Festival Produk Indonesia 2016 bukan semata mencari omzet penjualan. Tujuan event lebih kepada upaya untuk membuka peluang dan pasar baru bagi pelaku usaha kecil menengah (UKM) Indonesia.
Sedianya, festival ini diikuti oleh 28 pedagang UKM dari Pontianak, Singkawang, Sambas, Sanggau dan Kapuas Hulu, serta dua asosiasi perhimpunan pedagang UKM. Kurang lebih 100 jenis produk-produk UKM berkualitas yang dipamerkan. Ada produk fashion, garmen, batik, kain tenun, kain songket, aksesoris, handy crafts, serta produk makanan dan minuman dalam kemasan.
Meskipun secara umum, menurut Henny, produk yang dipamerkan sangat diminati, ia tetap memberikan catatan agar kedepan lebih baik, terutama terhadap produk kuliner. “Soal rasa produk kita sangat enak dan mampu bersaing. Namun masalahnya adalah ada beberapa produk kita masih perlu peningkatan terutama soal kemasan. Bahan kemasan produk kita kurang baik dan menarik,” paparnya.
Ia berharap, dengan diadakannya event ini, produk Kalbar tak lagi hanya dikenal di Kuching. Seharusnya juga sampai ke negara lain sehingga ekonomi pelaku UKM terus tumbuh dan berkembang.
“Paling tidak produk Kalbar di Kuching banyak dipasarkan, jangan sampai sebaliknya. Semoga produk kita terus diminati. Terlepas dari kegiatan ini, karena kewenangan kami hanya sebatas membantu atau memfasilitasi promosi di Kuching, kedepannya bergantung daerah masing-masing lagi untuk mengembangkan UKM mereka,” terang Henny. (*/selesai)
Ocsya Ade CP, Kuching