eQuator.co.id – Kisah para pencari ‘emas’ di negara tetangga berwarna-warni. Tak sama dari orang ke orang. Tapi, bisa dipastikan, bekerja secara resmi kerap memberi ending yang lebih happy.
Pria berkulit sawo matang itu baru berusia dua puluh tiga tahun. Ia minta nama aslinya tak dipublikasikan, juga potretnya. Panggil saja Muji, kata dia. Tulang pipinya tampak menonjol.
Berkaos merah dan celana coklat selutut, Muji duduk bersisian dengan awak Rakyat Kalbar. Sama-sama bersandar di dinding selasar Kantor Dinas Sosial (Dinsos) Pontianak di Jalan Sultan Syahir pada pukul dua dini hari, Sabtu (14/5). Sandal jepit dan tas ransel berisikan satu stel pakaian dan dua buah celana dalam ditaruh di sebelahnya.
“Saya lahir di desa kecil Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Setelah menikah, saya tinggal di Dlingo Bantul. Tempat mertua,” ujar Muji.
Sambil bercerita, tatapannya menerawang. Sehari-hari, dia mengerjakan kebun kecil milik mertua.
“Nanduri lombok (menanam cabe), sawi, kacang, kangkung. Pokoke opo waelah mbak, asal isa didol neng pasar (pokoknya menanam apa saja yang laku untuk dijual di pasar). Jadi duit,” tambahnya.
Terpisah ruang dan waktu, sebelum bertemu Muji, Rakyat Kalbar berbincang hal serupa ketika berkunjung ke rumah Ari, lagi-lagi nama yang dipilihnya, di Perumnas IV Tanjung Hulu, Pontianak Timur. Pria berusia 35 tahun itu berdiam bersama istrinya Lia, yang juga memohon agar nama mereka disamarkan, dan anak mereka, Boy, yang baru berusia 3 tahun.
Sebelum menikah, Ari dan Lia juga pernah menjadi pekerja rantau di Negeri Jiran pada 2012. Lia masuk Malaysia sesuai prosedur. Legal seperti maunya Negara, sesuai arahan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI).
“Keluarga saya di kampung, di Senakin, itu beladang jak. Ada gak kebun sikit-sikit,” ujar Lia, Sabtu (7/5). “Sehari-hari ya noreh getah atau ngurus ladang. Jarang nengok duit.” tambahnya.
Lia sulung dari empat bersaudara. Pendidikan cuma tamat Sekolah Dasar (SD), tapi ia berkeinginan tiga adiknya sekolah lebih tinggi. “Biar mereka ndak harus sakit-sakit kerja kaya’ saya sama bapak mamak kami,” tuturnya. Wajah Lia tampak sendu, mengenang keluarganya.
Demi mewujudkan mimpi itu, ia mendaftar ke sebuah agensi penyalur tenaga kerja ke Malaysia yang berdomisili di Pontianak. Lia mengikuti pelatihan dan mengurus surat-menyurat sebelum berangkat.
“Lain dengan saya,” Ari menimpali.
Pria yang kulitnya terlihat cukup gelap karena terbakar matahari itu kini bekerja sebagai kernet bus antarkota. Dia ke Malaysia karena ingin merubah nasib.
“Bosan bah jadi orang ndak beduit. Kata orang, kerja di Malaysia itu bisa dapat duit banyak meski cuma jadi buruh. Pas itu, ada kawan yang mau pergi. Saya ikut dialah,” ujarnya.
Modus mencari ‘segenggam berlian’ ala Ari: jalan-jalan sebagai wisatawan. “Seminggu lah, habis tu saya cari-cari kerja,” tuturnya.
Di Malaysia, Lia membantu di rumah tangga orang sana. Di rumah seorang pegawai Imigrasi. “Sehari-hari saya membantu merawat istrinya yang sedang sakit. Majikan saya itu baik. Saya dibuatkan rekening sendiri, tiap bulan diisi dengan gaji saya,” terangnya.
Dia bekerja hampir dua tahun di sana. Kehidupannya enak, dia sering diajak jalan-jalan oleh majikannya. “Mau apa jak gampang di sana,” kata Lia, sambil tersenyum.
Bahkan, ketika pulang ke Indonesia, Lia mendapat pesangon. “Beliau ambilkan duit itu di Bank, lalu kasi saya saat dia antar saya nyeberang di Tebedu,” ucapnya.
Bertolak belakang dengan Lia, Ari menceritakan pengalamannya bekerja sambil petak umpet dengan polisi Malaysia. Kesadaran akan situasinya yang sulit membuat Ari mengenal jalan-jalan gelap di Kuching, Sarawak.
“Pernah sekali, kami bersembunyi di lantai dua kafe. Kamar tu, kawan kami yang orang Malay kuncikan dari luar. Biar seolah-olah kamar tu kosong. Lampu kami matikan. Setengah mati nahan nafas waktu petugas tu berdiri di depan pintu,” beber Ari.
Di Malaysia, dia memang kerja serabutan, sering kali jadi kuli bangunan. Tapi, tak pernah bekerja terlalu lama di satu tempat.
Beralih kembali ke selasar Kantor Dinsos Pontianak, Muji masih menundukkan kepala, memejamkan mata sesaat. Pria itu semakin lancar bertutur dengan bahasa ibunya, Bahasa Jawa. Melanjutkan cerita awal mula dia memilih jadi TKI.
“Aku ki tau nabrak uwong mbak, trus kudu mbayar denda rung puluh juta (Saya pernah menabrak orang, dan diharuskan membayar denda sebesar 20jt). Aku ngutang sek (saya berhutang dulu). Ndilalah, rego Lombok medun tekan rung ewu per kilo (terjadi situasi tak terduga, harga cabe hanya dua ribu per kilo). Matenglah! Ra isa ngangsur (Tidak bisa mengangsur pinjaman),” tukasnya.
Muji lalu bertemu dengan seseorang bernama Suroto yang mengiming-iminginya penghasilan besar jika bekerja di Malaysia. Meminjam Rp3 juta dari keluarganya, Muji membuat passport dan berangkat.
“Aku numpak kapal seko Semarang. Tekan kene, diter ne numpak bis tekan Entikong. Seko kono aku mung di kek i peta kon nemoni toke ne (Saya naik kapal dari Semarang. Lalu diantar ke Entikong menggunakan bis. Di Entikong saya disuruh menyeberang sendiri, diberi peta, disuruh menemui pengusahanya),” jelas dia.
Imbuh Muji sedikit ceria, “Untung aku ki tamat SMA, jadi isalah ngerti titik golek-golek arah karo moco bahasa ne kono (Untung saya tamat SMA jadi bisa mengerti bahasa walau sedikit sehingga bisa mencari arah jalan disana)”.
Meninggalkan istri dan satu anak, Muji akhirnya mendapat pekerjaan sebagai buruh pada pengusaha pengeruk pasir sungai. Selama sepuluh bulan bekerja, ia sempat mengirim uang ke rumah.
“Tau yo an tekan sewu. Mung ya tau mek enem atus (Pernah hingga seribu ringgit, tapi pernah juga hanya enam ratus ringgit). Yo itung-itung eneklah limo las yuto kabeh e (jika dihitung-hitung total pendapatan yang dikirim mencapai 15jt),” ungkapnya.
Memang, salah satu alasan kenapa orang Indonesia senang bekerja di Malaysia yang paling sering didengar Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial (Kabid Linjamsos) Dinas Sosial Kalbar, Yuline, adalah kemudahan diterima untuk bekerja.
“Katanya, di sana tidak perlu ijasah, udah bisa kerja. Asal bisa melakukan apa yang disuruhkan orang tu,“ jelas Yuline ketika ditemui Rakyat Kalbar di ruang kerjanya, Jumat (13/5).
Itu dari penuturan mantan TKI lho, sambung dia. Tentu, kata Yuline, berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia. “Baru melamar kerja saja ijazah yang pertama kali ditanya.” tandasnya. (*/to be continued)
Marselina Evy, Pontianak