DUNIANYA seperti mau kiamat saat menerima hasil pemeriksaan darah. Dia positif mengidap HIV/AIDS. Dua bulan terpuruk, kemudian bangkit dan menjadi motivator.
PEREMPUAN berusia 44 tahun itu hanyalah ibu rumah tangga biasa. Akrab dipanggil NN. Lima tahun lalu, divonis mengidap Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) saat suami mulai jatuh sakit. Saat ini, ia masih terlihat sehat. Berat badannya pun masih normal seperti kaum ibu kebanyakan.
Ketika bertemu FAJAR (Jawa Pos Group), Sabtu (7/5) sore, NN mengenakan gamis gelap dan jilbab besar menutup hingga dada. Ibu berparas cantik ini bercerita awalnya sama sekali tidak tahu kalau suaminya mengidap HIV/AIDS. Pun tidak memantau perilaku suaminya di luar rumah. Ia hanya bilang, suaminya seorang wiraswasta.
Sampai akhirnya, suaminya tiba-tiba sakit dan kondisinya semakin hari kian buruk ketika dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo. Seorang kerabat yang datang menjenguk menyarankan agar suaminya periksa darah. Setelah hasil pemeriksaan darah keluar, ternyata positif mengidap penyakit mematikan itu.
Mendengar kenyataan tersebut, ibu tiga anak ini langsung drop.
“Kata dokter, sudah stadium empat. Tidak sempat berobat sebelumnya karena saya tidak tahu kalau dia (suami, red) mengidap HIV/AIDS,” tuturnya ditemui FAJAR di salah satu kafe di Manggala, Makassar.
Pada minggu kedua suami dirawat, ia dan ketiga anaknya yang sudah remaja juga memeriksakan darah. Kondisi kejiwaan NN semakin buruk saat ia dinyatakan positif HIV/AIDS. Antara percaya dan tidak percaya, ia merasa dunianya seperti kiamat.
Beruntung, ketiga anaknya negatif. Tetapi suaminya meninggal setelah 40 hari dirawat. Saat itu April 2011, NN semakin terguncang tidak memiliki semangat hidup. Apalagi, pemahamannya tentang HIV/AIDS masih kurang. Dia cuma tahu, HIV/AIDS penyakit mematikan.
“Saya dua bulan terpuruk. Di pikiranku, saya juga hanya menunggu hari saja,” ujarnya dengan suara pelan.
Perempuan kelahiran 1972 ini mengaku, keluarganya pun sempat syok dan menangis setelah mengetahui kondisinya. Namun, pada akhirnya, penyakit yang dideritanya dianggap biasa oleh sanak kerabat NN maupun Sang Almarhum Suami.
Dia kembali menjalani hari secara normal. Meski demikian, tetap tak terlalu terbuka dengan “statusnya” di lingkungan masyarakat, terutama kepada para tetangga. Saat ini, masih dalam batas keluarga terdekat saja yang mengetahui.
Alasannya, NN menghindari stigma dan diskriminasi dari orang-orang yang belum paham secara utuh tentang HIV/AIDS. Dia juga menjaga masa depan ketiga buah hatinya yang saat ini sudah beranjak dewasa agar tidak dikucilkan.
Juli 2015 awal kebangkitan NN. Dia mulai diajak pihak rumah sakit untuk ikut pertemuan para ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Saat itulah semangat hidupnya berangsur mulai kembali. Selain pertemuan, juga sering ikut pelatihan-pelatihan keterampilan.
Hanya saja, pada tahun pertama, NN enggan berobat. Sebab, kondisinya masih bagus, apalagi pola hidupnya selama ini dijalani dengan sehat. Namun, setahun kemudian kondisinya kembali drop, berat badan tiba-tiba turun drastis. Teman-teman di komunitasnya menyarankan untuk berobat. Dia harus mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV).
Setelah lama belajar tentang HIV/AIDS, dia menjadi pengurus Ikatan Perempuan Positif Indonesia dan Jaringan Perempuan Positif Indonesia. Lalu, pada 2014, dipanggil oleh Yayasan Peduli Kelompok Dukungan Sebaya (YPKDS) untuk menjadi pendamping.
“Awalnya, saya hanya diminta mengisi yang kosong, makanya belum tahu cara kerjanya. Nanti satu bulan belajar baru saya bisa paham,” ujarnya.
Selain sebagai ibu rumah tangga, NN punya aktivitas lain. Sebagian waktunya dia wakafkan untuk mendampingi mereka yang baru tahu statusnya positif untuk memberikan semangat hidup, memberi support agar mereka tidak putus asa dan tetap berjuang untuk hidup.
NN kerap melakukan pendampingan hingga subuh, apalagi jika pasien dampingannya ibu hamil yang hendak melahirkan. Sebab, tidak sedikit yang belum siap membeberkan statusnya kepada keluarga masing-masing.
Selain ibu hamil, NN juga mendampingi pengguna narkoba suntik (penasun), Lelaki Seks Lelaki (LSL), dan lelaki pelanggan WPS. “Khusus ibu hamil, saat ditemukan positif dari layanan, kita langsung dampingi sampai dia melahirkan. Kalau ibunya cepat terapi, anaknya bisa tidak tertular,” paparnya.
Hanya saja, lanjut NN, tantangannya adalah ada yang tidak bisa menerima kenyataan saat mengetahui statusnya hingga keluar dari program pendampingan. Ada juga yang dibawa pulang ke kampung halamannya karena dianggap penyakit kiriman sehingga pengobatan terputus. Padahal, ARV harus dikonsumsi seumur hidup secara teratur. (*)
NURLINA ARSYAD, Manggala