Ia sendiri tidak benar-benar tahu apakah jasa yang diperdagangkannya kala itu sesuatu yang melanggar hukum. “Yang pasti itu melanggar term of service sosial media yang mewajibkan penggunaannya memasukkan idientitas aslinya,” ujarnya.
Untuk mencari pembeli ataupun pengguna jasanya, Herjuno mengaku tidak terlalu sulit. Ada forum-forum tertentu yang biasa jadi tempat untuk mencari proyek semacam ini. “Terlebih mereka yang pandai bahasa Inggris, akan mudah mendapat klien,” ujarnya.
Pengguna jasanya bisa datang dari beragam kalangan. Mulai dari mereka yang ingin kelihatan sebagai seleb, karena banyak follower hingga tokoh-tokoh yang sebenarnya sudah punya nama. Namun pria yang akrab disapa Juno ini menyebut, keberadaan akun-akun bodong yang jadi pengikut ini sebenarnya tidak begitu bermanfaat. “Untuk digital marketing mereka ini tak organik, mereka bot dan nggak mungkin ada interaksi. Justru buzzer yang biasanya jauh lebih berguna,” jelasnya.
Juno menganggap jasa yang ditawarkannya dulu hanyalah untuk menambah statistik follower. Namun lemah secara kualitas.
Sementara Hajon Mahdy Mahmudin, seorang konsultan sosial media marketing menyebut keberadaan buzzer adalah sesuatu yang normal dan sah-sah saja. “Karena mereka memang dibutuhkan untuk kepentingan marketing di sosial media,” ujarnya.
Ia menggambarkan keberadaan buzzer tidak ubahnya seperti memilih brand ambasador sebuah produk. Seorang influencer atau buzzer akan selalu mendapat perhatian dari para pengikutnya. Karenanya biasanya para buzzer ini adalah orang terkenal atau selebrity.
“Tapi tidak mesti juga, beberapa user yang punya niche atau topik bagus juga bisa jadi buzzer yang efektif,” jelasnya.