Gemerincing Hiang beradu dengan tabuhan Gandang dan Kalimpat. Semakin malam, bunyi yang dihasilkan semakin nyaring. Diiringi entakan kaki penghulu, kedua mempelai duduk khidmat mendengarkan petuah pernikahan. Semalam suntuk.
WAHYU RAMADHAN, Barabai
eQuator.co.id – Ruas jalan di Desa Atiran, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Sabtu (27/4) malam menjelma pasar tradisional. Warung menjamur, stan hiburan rakyat, organ tunggal dengan penyanyi lokal.
Gerimis mengguyur sejak pagi, tidak menyurutkan niat ratusan warga Desa Atiran dan sekitarnya, ikut merayakan pernikahan Rusmin dan Titin. Keduanya warga Suku Dayak Meratus. Mempelai laki-laki, Rusmin dari Desa Kiyu. Istrinya, Titin penduduk Desa Atiran.
Siwan, warga Desa Batu Kambar menyebut, pernikahan warga Dayak Meratus memang selalu melahirkan keramaian. ”Diadakan besar-besaran. Mulai hiburan rakyat hingga ritual adat,” ungkap pria yang desanya bertetangga dengan Atiran.
Sepuluh meter dari keramaian itu, tampak bangunan panjang dari kayu, Balai Adat. Di tempat itulah, kedua mempelai bersanding. Suasana dalam Balai pun semarak. Keluarga besar dan warga berkumpul di balai tanpa sekat itu. Ada yang duduk melingkar, ada pula yang bersandar pada dinding balai. Mereka menunggu prosesi baruji dimulai.
Sederhananya, baruji adalah proses negosiasi mahar pernikahan. Ini mengawali prosesi pernikahan. Setelah itu ada prosesi basanggai, bapayak dan bajanji.
Tetua adat Desa Kiyu, Maribut menjelaskan, bahwa pernikahan selalu berlangsung di desa mempelai perempuan. Aturan tidak tertulis itu sudah berlaku turun-temurun sejak zaman nenek moyang.
Rangkaian acara dipimpin kepala adat dan seorang penghulu. Mereka mewakili masing-masing mempelai. Dalam baruji, penghulu mewakili keluarga mempelai perempuan. Sementara, kepala adat mewakili keluarga mempelai laki-laki. Pembicaraan dilakukan dalam bahasa daerah. Baruji selesai setelah sembilan ikatan bilah bambu keluar.
“Bambu ini mewakili jumlah mahar yang harus dibayar,” ungkap Haris, ketua adat Kecamatan Batang Alai Timur.
Bilah bambu mewakili suara dari perwakilan desa lainnya. Ketua adat dan penghulu bisa saja menyepakati jumlah bilah bambu tertentu untuk mewakili sejumlah desa. Tapi, keputusan ada di tangan perwakilan sembilan desa yang hadir malam itu. Merekalah yang berhak memutuskan berapa banyak bilah bambu yang harus dikeluarkan dalam baruji.
Selanjutnya basanggai alias perarakan. Tapi, sebelum itu, kedua mempelai lebih dulu dirias. Malam itu Rusmin tampil gagah. Laung (penutup kepala, Red) melengkapi setelan jas hitam yang dipakai alumnus Universitas Islam Kalimantan tersebut. Penampilannya sempurna dengan selembar kain berwarna cerah dengan motif kotak-kotak tersampir di bahu.
Sedangkan Titin juga tampil anggun. Dia mengenakan kemben yang dipadukan dengan lilitan kain. Tidak ketinggalan, riasan hena di dahi dan kedua telapak tangannya. Sebagai sentuhan akhir, sarjana pendidikan Universitas Lambung Mangkurat itu memakai kain biru bermotif bunga sebagai penutup kepala. “Seperti pengantin perempuan asal India,” canda Titin.
Selesai dirias, kedua mempelai diarak bergantian di dalam balai adat. Masing-masing berjalan sampai ke ujung ruangan. Inilah basanggai. Ditemani cahaya temaram obor, Rusmin dan Titin berdiri berdampingan. Mereka menghadap Haris dan Suryadi, sang penghulu, yang sesekali memanjatkan doa kepada Nining Bahtara. Mereka memohon agar pernikahan berlangsung aman, damai dan sejahtera.
Setelah berdoa, Haris menaburkan beras kuning ke arah kedua mempelai. Itu simbol bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri. Rusmin dan Titin pun lega.
“Cucuk (tusuk,red),” perintah Haris di ujung prosesi basanggai. Dua ekor babi di sisi kiri dan kanan balai adat sontak berteriak karena tubuh mereka dihujam senjata tajam. Masyarakat setempat percaya bahwa ritual menusuk babi itu adalah bentuk penghormatan kepada para leluhur.
Kini, dua prosesi tersisa. Bapayak dan Bajanji. Dalam Bapayak, kedua mempelai disandingkan di ruangan tengah balai adat. Diiringi tabuhan gandang dan kalampit.
Penghulu merapalkan doa-doa keberkahan untuk kedua mempelai. Selama prosesi berlangsung, Rusmin dan Titin harus berdiam diri di tempat. Bukan satu atau dua jam, tapi sampai pagi menjelang. Ya, mereka duduk diam mendengarkan doa semalam suntuk.
Semakin malam, tabuhan dua alat musik pukul yang terbuat dari kulit, itu semakin nyaring. Terlebih ketika penghulu Suryadi membunyikan gelang hiang di tangan kanannya. Di sela-sela prosesi tersebut, warga yang hadir atau keluarga mempelai bisa berfoto bersama. Suryadi yang asyik mendoakan mempelai sama sekali tidak merasa terganggu. Sebaliknya, lelaki berumur 70 tahun, itu malah makin khusyuk doa.
“Fuh, fuh, fuh, fuh,” Suryadi meniup ke arah langit-langit. Itu menjadi simbol mengusir roh jahat. Harapannya adalah supaya acara pernikahan dan hiburan rakyat di luar Balai Adat berjalan lancar.
Dalam pernikahan ini juga ada benda-benda seserahan. Diletakkan hadapan mempelai. Ada piring kaca yang berjumlah duabelas, ada kain putih, dan periuk dari kuningan yang berisikan benda-benda hingga rempah-rempah yang sebelumnya digunakan untuk ritual. Masing-masing benda, mempunyai filosofi tersendiri. Kalung yang terbuat dari kuningan yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai anggit, misalnya.
“Anggit ini, menjadi pemberitahu bahwa tuan rumah mempelai perempuan sedang menggelar pernikahan,” kata Haris.
Dia menambahkan bahwa secara sederhana, anggit itu berfungsi sebagai pengundang. Dia lantas mengatakan, meski anggit dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten HST, bukan berarti semua keluarga memilikinya.
Lantas, bagaimana bila keluarga yang tidak memiliki anggit ingin menggelar resepsi pernikahan? Haris menjelaskan, keluarga yang mempunyai hajat bisa meminjamnya dari keluarga lain. Dengan catatan, setelah dipinjam, anggit harus diserahkan sekaligus dengan membayar ganti uang sejumlah Rp24 ribu dan beras.
“Bila tidak menyertakan anggit, maka keluarga yang mempunyai hajat bakal dihukum denda adat sebanyak 12 tahil. Atau Rp1,2 juta. Selain itu, pihak keluarga juga harus siap menjadi bahan pembicaraan mengingat ini adalah salah satu bagian penting dalam adat kami,” urainya.
Seluruh rangkaian prosesi pernikahan dinyatakan selesai setelah kedua mempelai Bajanji. Prosesi itu berlangsung pada pagi hari. Pada tahap tersebut, kedua mempelai dikumpulkan bersama dengan keluarga besar masing-masing. Mereka diperkenalkan dan dinasihati oleh masing-masing keluarga. Ritual itu dikenal dengan nama Basurung Parukunan.
“Sesudah semua itu, baru kedua mempelai turun dari Balai Adat. Acara pun selesai,” ujar Haris.
Di balik meriahnya pesta adat khas Suku Dayak di Pegunungan Meratus Kabupaten HST itu, Haris prihatin. Sebab, generasi sekarang seolah tidak peduli pada warisan budaya tersebut. Partisipasi mereka pun sangat minimal. Dia khawatir, adat istiadat itu bakal hilang ditelan waktu.
Sabtu malam itu, mulai baruji hingga prosesi adat lainnya berlangsung, para pemuda malah memilih menyaksikan hiburan di luar. Yang mengikuti prosesi di dalam Balai Adat pun hanya orang-orang tua.
“Saya tidak bisa melarang karena itu hak mereka. Tapi, saya berharap tradisi ini bisa bertahan selama-lamanya,” tuntasnya. (RADA