eQuator.co.id-Bengkayang. Gandeng Komunitas Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) yang didukung oleh program Citradaya Nita 2021 menggelar diskusi online bertemakan “Peran Perempuan dalam Pengelolaan SDA, serta Mitigasi di saat Pandemi”, Sabtu (30/10)
Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Swadaya dan Mandiri (Gemawan),Laili Khairnur, Komnas Perempuan Andy Yentriyani, serta ada puluhan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, aktivis, NGO di Kalbar juga turut hadir dalam diskusi kali ini.
Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur, mengatakan bahwa terkait perempuan maupun sumber daya alam, merupakan salah satu fokus kerja Gemawan. Dimana, kata dia, Gemawan hadir untuk memperkuat masyarakat lokal dan mendorong perubahan kebijakan dalam mencapai keadilan social dan keberlanjutan lingkungan.
“Salah satunya terkait isu keadilan gender sudah kita masukkan dalam visi kita. Bahkan dalam setiap aktifitas apapun paritipsasi perempuan dan laki-laki itu kita berupaya hal tersebut setara,” ujar Direktur Gemawan ini
Bahkan kata Laili, mengenai hal tersebut (perempuan dan SDA), ia memandang saat ini role model pengelolaan sumber daya alam yang banyak dipergunakan adalah dengan eksploitatif yang berorientasi pada ekonomi.
“Dimana dalam penerapannya, partisipasi tersebut hanya melibatkan segelintir orang, yang notabene menggunakan perspektif pria. Untuk itu, diperlukan penguatan dimensi kesetaraan gender dalam hal pengelolaan SDA,” terangnya
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriani menjelaskan dalam The Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW), salah satu yang dibahas adalah perempuan dan sumber daya alam. Terkait pengelolaan SDA, saat ini Komnas Perempuan fokus pada isu kekerasan.
“Terutama dakam rangka menginventarisir, serta mendukung masalah yang dihadapi kaum perempuan,” kata Andy Yentriani
Andy juga menyebutkan temuan Komnas Perempuan melihat konflik sumber daya alam ini, pertama semakin keras ketika pandemi. Dimana perempuan lebih mudah diputus pekerjaanya. Belum lagi Perempuan yang bergantung dengan pekerjaan itu sendiri.
“Kalau temuan di Komnas Perempuan, kita melihat konflik sumber daya alam ini, pertama semakin keras ketika pandemi. Dimana perempuan lebih mudah diputus pekerjaanya,” sambungnya.
Untuk itu, lanjut Andy, pihaknya berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk bisa menjadi pihak yang terus membuka ruang dialog dan pencarian solusi yang didampingi oleh lembaga dan media.
“Advokasi tidak hanya level mikro tapi juga makronya. Isu kekerasan perempuan bukan hanya persoalan personal, ini juga merupakan lapisan persoalan yang hadir, terlebih isunya tidak sederhana,” pungkasnya. (Ova)