eQuator – Sukadana-RK. Ada pertanyaan yang mengemuka di publik, benarkah kelompok masyarakat yang menyebut dirinya (sudah) eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) betul-betul telah keluar dari organisasi yang tidak diizinkan di Indonesia itu? Kalau memang mantan, kenapa masih hidup berkelompok, tidak sepenuhnya membaur dengan masyarakat setempat?
Dari pantauan Rakyat Kalbar (RK), di sejumlah kabupaten, grup itu memang terlihat mengutamakan kekompakan. Tak heran, ketika dikonfirmasi terkait keyakinan yang dianut, semua berdalih komunitas itu tidak bersinggungan dengan agama. Melainkan, pertanian, sosial, juga budaya. Pertanyaan lanjutan, mengaku sosial kok meninggalkan keluarga di daerah asal? Heemm…
Kami mandiri, kenapa harus dicari-cari! Inilah sepenggal kalimat yang keluar dari mulut seorang perempuan muda mengaku eks anggota Gafatar saat diskusi ringan dengan RK di Dusun Melinsum, Desa Sejahtera, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Jumat (22/1). Ini bagian lain dari berita halaman utama koran ini terbitan kemarin (24/1) berjudul “Umur Sembilan Tahun Belum Bisa Baca Alquran”.
Perkampungan (eks) Gafatar itu dihuni 23 kepala keluarga (KK) dengan 107 jiwa. Di sana, terdapat sembilan bangunan mirip barak. Lebar bangunannya tak kurang dari 12 meter, panjang sekitar 6 meter. Pintunya berjumlah 27 buah. Setiap pintu yang hanya selebar empat meter dihuni satu sampai dua KK. Setiap pintu disekat menggunakan tirai.
Bentuk barak seragam, beratap seng berdinding papan. Jarak lantai dengan atap sekitar tiga meter. Di bawah atap seng, tersusun rapi daun nipah yang kering sebagai ganti dek untuk menahan rasa panas di dalamnya. Penampakan sekitar barak terlihat hamparan sawah yang belum lama ditanami padi.
Di barak paling ujunglah RK bertemu dengan dua bocah bersaudara, Faris dan Ema, berikut dua perempuan muda. Berbeda dengan Faris dan Ema, mereka yang mengaku masih lajang ini enggan menyebutkan namanya. Pun ketika ditanya berasal dari mana, keduanya enggan berterus terang, justru balik bertanya.
“Kalau abang, dari mana?” kata perempuan itu mengalihkan perhatian. “Saya dari rumah,” jawab RK, mencoba memancing. Langsung disambarnya sambil tertawa, “Ya, sama donk, kami juga dari tadi”.
Perempuan muda yang satu lagi memegang komik Avatar Aang. “Baca buku apa tu, Gafatar ya?” tanya RK lagi. “Bukan, ini Avatar, beda dengan Gafatar,” jawabnya seraya memperlihatkan komik itu.
Ia tak keberatan ketika RK memegang cerita bergambar kartun tersebut dan melihatnya sebentar. Melihat mereka sedikit tertutup, RK mencoba berdiskusi lebih jauh, iseng bertanya apa bedanya Avatar dengan Gafatar. Langsung disambar Si Pemilik Komik, “Jelas beda”. Ditanya dimana perbedaannya, ia balik bertanya, “Menurut abang, Gafatar itu apa?”.
Tiba-tiba, perempuan satunya mengutarakan sedikit isi hatinya. Ia mengaku kecewa, lantaran baru mulai belajar hidup di pemukiman yang baru tujuh bulan dibuka itu namun sudah dipaksa untuk keluar. “Kami diusir, padahal kami tidak salah,” tutur dia.
Karena butuh jawaban atas sejumlah pertanyaan, RK pun mencoba menanggapi sesuai isu yang berkembang terhadap Ormas yang tak diizinkan itu. Diskusi pun semakin panjang.
“Memang tidak salah dengan bertani, kerja sosial, kebersamaan, dan persatuan di kelompok ini (eks Gafatar). Namun, ada satu hal yang menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, khususnya Islam, yaitu menyangkut keyakinan. Kabarnya, di kelompok ini mayoritas agamanya Islam namun mengajarkan salat dan puasa tidak wajib. Benarkah ada ajaran agama baru di sini?” tanya RK.
Pertanyaan tersebut membuat mereka tercengang. Satu dari dua perempuan itu spontan membantah. Dia menegaskan tidak ada ajaran agama baru di kelompoknya. “Tidak ada soal agama, kalaupun mereka tidak salat itu urusannya pribadi. Yang agama Islam di sini ada yang salat kok, benar kan?” ujarnya meminta pembenaran dari rekannya yang memegang komik.
Wartawan koran ini langsung menimpali. Banyak orang Islam tidak salat, juga tidak puasa, tetapi orang Islam yang taat tidak marah. Itu karena mereka menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu dosa. “Akan tetapi, menjadi persoalan dan orang Islam yang tidak salat dan tidak puasa juga akan marah kalau ada orang mengaku Islam dan di KTP-nya tercantum agama Islam, namun membenarkan salat dan puasa tidak wajib,” ujar RK.
Imbuh RK, “Dan kecurigaan publik itu tertuju ke eks Gafatar. Apalagi, muncul nama Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai Nabi. Padahal, dalam Islam, Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir dan tidak ada lagi setelahnya,”.
Mendengar tanggapan itu, mereka yang tadinya lancar berbicara mulai mengerem. Dan, mencoba mengalihkan topik diskusi. Keluarlah ungkapan “Kami ini mandiri, kenapa harus dicari-cari!”.
Kalimat itu diutarakannya menanggapi banyaknya kasus ‘orang hilang’di Indonesia. Seperti diketahui, secara nasional, media cetak maupun elektronik kerap memberitakan banyak masyarakat kehilangan anggota keluarganya yang kemudian diduga bergabung ke Gafatar.
“Kenapa harus dicari, apalagi kalau sudah berkeluarga, kan sudah mandiri,” tukasnya, nada suaranya meninggi.
Langsung disambut RK dengan tanya, “Katanya sosial, tapi kok sama keluarga tidak sosial? Pergi hingga putus komunikasi dan sampai membuat keluarga resah karena kehilangan. Apakah sosial dimaksud hanya untuk sesama anggota kelompok atau sama orang lain saja, tapi tidak sosial sama keluarga?”. Pertanyaan itu tidak dijawab. Mereka pamit, pergi menuju barak yang lain.
Warga Kayong Utara sendiri sempat membuat plesetan terkait Gafatar. Film kartun Avatar Aang di televisi belakangan memang lagi ngetren di sana. Bahkan, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) KKU, H. Nazril Hijar, dengan nada bercanda menyebut perbedaan keduanya.
“Kalau Gafatar itu Gerakan Fajar Nusantara. Tapi, kalau Avatar itu, ava-ava ntar,” selorohnya, lantas tertawa renyah.
Laporan: Kamiriluddin
Editor: Mohamad iQbaL