eQuator.co.id – Kubu Raya-RK. Akhir-akhir ini, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) menjadi sorotan. Beberapa hari saja tidak hujan, sangat mengkhawatirkan. Terutama di wilayah Kubu Raya yang sudah menjadi langganan Karhutla.
Tahun lalu Kubu Raya mendapatkan predikat sebagai salah satu wilayah pengekspor asap. Sehingga Indonesia menjadi gunjingan di mata internasional. Meskipun demikian, di tahun yang sama, Bupati Kubu Raya malah mendapatkan penghargaan sebagai kabupaten yang bebas dari kebakaran hutan dan lahan dari Mendagri.
Tahun ini pemerintah pusat berkoordinasi pemerintah daerah, mengaktifkan kembali berbagai satuan tugas (Satgas) yang menangani Karhutla. Seperti dilakukan secara simbolis oleh Wakil Gubernur Kalbar, Drs. Christiandy Sanjaya, SE, MM, Kamis (14/7) lalu di Desa Teluk Empening, Terentang, Kubu Raya.
Christiandy mengingatkan masyarakat, untuk lebih siaga dalam menghadapi kekeringan atau kemarau tahun ini. “Tahun ini jangan ada bencana kabut asap lagi,” tegas Christiandy.
Kesiagaan masyarakat, dibantu pemerintah, menyediakan berbagai fasilitas. Ini dilakukan, jangan sampai bencana Karhutla tahun lalu kembali terjadi. Sehingga Kubu Raya bisa mempertahankan penghargaan dari Mendagri, sebagai kabupaten yang bebas Karhutla. Apalagi Karhutla membawa dampak sosial dan ekonomi, selain kerusakan lingkungan.
Mencermati kembali sekilas kejadian tahun lalu di Terentang, Karhuta seluas 200 hektar di Teluk Empening sangat disayangkan. Ternyata peristiwa itu belum ada apa-apanya. Asap yang menyelimuti beberapa kabupaten/kota bahkan hingga ke luar negeri yang disematkan berasal dari Terentang, tidaklah hanya dari terbakarnya hutan dan lahan seluas 200 hektar itu saja.
Camat Terentang, Sarino kembali membuka buku catatannya tahun lalu. Setidaknya ada 1.472 hektar lahan yan gterbakar di 10 desa di wilayah kerjanya. Di Desa Teluk Empening saja, dalam catatannya, bukan seluas 200 hektar, namun 349 hektar. Desa Teluk Bayur seluas 216 hektar, Radak I seluas 291 hektar, Dungun seluas 272 hektar. Sedangkan yang kurang dari 200 hektar terdiri dari Desa Radak I seluas 145 hektar dan Permata seluas 126 hektar. Desa Radak Baru dan Terentang Hulu masing-masing 63 dan 10 hektar. Hanya Desa Petual yang tidak mengalami kebakaran. “Sebagian besar lahan itu berada jauh dari pemukiman warga. Jadi tidak ada yang menangani,” ungkap Sarino.
Dalam tatanan sosial, Desa Empening memberikan contoh menyedihkan karena Karhutla. Dalam tiga tahun terakhir sudah 10 kepala keluarga pergi, pindah tinggal keluar dari desa ini. “Ada juga yang jadi TKI atau kerja sawit di luar Empening,” ungkap Firdaus, Kepala Desa Empening.
Sekarang warga Teluk Empening hanya berjumlah 330 kepala keluarga (KK) dengan jumlah warga mencapai 1.327 jiwa.
“Tahun lalu sekolah sempat terpaksa libur seminggu karena asap,” terang Firdaus mengungkapkan dampak asap bagi pendidikan yang terjadi di Empening. “Asapnya terlalu pekat di sini,” tambahnya.
Asap juga bikin pening warga. Tidak sedikit kebun mereka yang ikut terbakar. Tahun lalu, dari 200 hektar yang dilaporkan setengahnya adalah kebun masyarakat, baik itu karet maupun palawija. “Warga jadi malas menanam karet lagi. Sudah tanam, umur setahun dua tahun, terbakar api,” kata Firdaus.
Padahal masyarakat Teluk Empening mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Aturan di kalangan masyarakat Empening sendiri sebenarnya sudah ada. Sangat keras melarang pembakaran lahan. “Siapa yang bakar, dihitung per pohon karet yang kena lalap api. Pohon yang paling kecil dihitung Rp10 ribu per pohon,” jelas Firdaus.
Namun kejadian seperti tahun 2015, masyarakat sendiri merasa tidak ada yang membakar lahan. Meski pada faktanya sekitar 200 hektar yang terbakar.
Jika suatu wilayah mengalami kekurangan penduduk, maka terganggunya aktivitas sosial dan ekonominya. Sehingga sulit di wilayah itu untuk berkembang dan maju.
“Jika suatu wilayah kecil mengalami Karhutla, pastinya akan berdampak pula pada perkembangan wilayah yang lebih besar, dalam hal ini lingkup Kalbar dan umumnya di Indonesia,” jelas Firdaus.
Penanggulangan Karhutla
Karhutla tidak hanya dianggap sebagai pengganggu kesehatan atau perusak lingkungan. Dalam upaya melindungi lingkungan dan dampak kerusakannya, ada tangan-tangan hebat yang berjuang.
“Kapolres menginap hingga dua minggu di masjid Desa Empening. Kapolda (saat itu Brigjen Pol Arief Sulistyanto) sampai dua kali datang meninjau lokasi Karhutla,” kata Iptu Bhukari, Kapolsek Terentang.
Pejuang-pejuang lingkungan ini berhak mendapat apresiasi lebih. Menurut keterangan Waka Polda Kombes Pol Joko Irianto, Kamis (14/7), pihaknya telah diminta untuk mengajukan nama tokoh dalam satuan tugas (Satgas) penanggulangan bencana Karhutla. “Nanti tanggal 27, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, pemerintah mau memberikan penghargaan terhadap personel yang berperan aktif dalam melakukan penanggulangan bencana Karhutla ini,” ungkap Joko.
Menurut Joko, proses pengajuan tersebut dimulai dari tingkat bawah, dalam satuan tugas yang ada. “Di kepolisian, kita seleksi mulai dari nama yang diajukan oleh Polsek, lalu Polres dan di Polda sendiri,” katanya.
Ketika diminta untuk mengungkapkan nama yang diajukan oleh Polda Kalbar, sambil tersenyum Joko menyebut nama Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Suhadi SW. “Lihatlah, dimana ada lahan terbakar, dia pasti ada,” tutur Joko.
Senada dengan Waka Polda, Wakil Gubernur Christiandy Sanjaya juga sempat menyinggung adanya rencana pemberian pengharagan kepada personel penanggulangan bencana Karhutla. Pernyataan itu disampaikannya saat memberikan sambutan pada acara pengaktifan kembali posko lapangan penganganan bencana asap akibat Karhutla di Teluk Empening, Kamis (14/7). “Cuma kita harap penghargaan ini tidak hanya untuk personel saja, tapi juga utnuk tim secara keseluruhan. Termasuklah tim dari BPBD atau BMKG,” harapnya.
Laporan: Marselina Evy
Editor: Hamka Saptono