
Ini lebih dari harga diri bangsa. Rupiah juga simbol kedaulatan ekonomi NKRI. Ia harus ada di seluruh pelosok negeri, jika tidak ingin negeri ini dilanda kegoncangan ekonomi yang hebat. Berikut ulasannya!
LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram
eQuator.co.id – DI Lombok, dengan uang Rp 10 ribu atau Rp 15 ribu Anda sudah bisa menikmati semangkuk bakso porsi jumbo. Tapi di Papua, semangkuk bakso dihargai Rp 75 ribu!
Jika tak percaya, jelajahi saja Kabupaten Bintang, Papua. Bahkan sebelum pemerintah menetapkan satu harga untuk Bensin jenis Premium. Harga bensin di sana Rp 100 ribu per liter!
“Ya terjadi inflasi,” kata Lalu Mandra Kamajaya, Kasir Senior Perwakilan Bank Indonesia (BI) provinsi NTB.
Bagi yang pernah belajar ekonomi. Tidak sulit memahami kenapa nilai mata uang rupiah bisa berbeda-beda di lain-lain daerah. Teorinya memang agak panjang jika dijelaskan. Tapi sederhananya begini. Di Papua harga bakso mahal karena bahan-bahan pembuat bakso sulit didapat.
Memang ada banyak hal yang dapat menyebabkan inflasi. Tapi pada kasus bakso mahal di Papua karena ongkos dan biaya produksi untuk membuat bakso yang juga tak murah. Maklum letak Papua susah dijangkau bahan-bahan yang mendukung untuk membuat bakso.
“Tapi walau begitu kita tetap kampanyekan cinta rupiah,” imbuhnya.
Seterpuruk apapun jatuhnya nilai mata uang rupiah di pelosok negeri, Bank Indonesia (BI) harus tetap getol mengkampanyekan rupiah sebagai alat transaksi yang sah.
“Tidak boleh ada daerah yang tidak mau pakai rupiah,” ujarnya.
Berbagai misi pun dirancang. Mengkampanyekan rupiah ke pelosok-pelosok negeri. Menunjukan perubahan-perubahan dan bentuk uang yang sah untuk dipakai transaksi saat ini. Semakin merata rupiah semakin baik bagi keadaan ekonomi negeri.
Rupiah seumpama timbangan. Mampu menyeimbangkan daerah yang tengah inflasi dengan deflasi. Caranya yakni dengan memeratakan penyebaran mata uang.
“Karena itu mata uang tidak boleh kosong di sebuah daerah,” terang Mandra.
Ia menuturkan saat terjadi banjir bandang di, Bima beberapa waktu lalu. Ribuan rumah terendam. Harta benda tak bisa diselamatkan. Mesin-mesin ATM tak bisa bekerja. Bank-bank mikro lumpuh. Ekonomi lumpuh total!
“Kami segera ke sana untuk memastikan uang tersedia,” kisahnya.
Kenapa harus bawa uang? Kenapa tidak bawa logistik padahal masyarakat butuh logistik, bukan uang? Rupanya ini untuk menekan potensi amukan inflasi yang lebih parah. Orang mungkin mengira uang tidak akan banyak berguna di saat logistik sulit didapat setelah bencana.
Padahal jika uang sampai kosong dalam satu daerah, hal itu berpotensi memperparah kondisi daerah. Inflasi akan semakin tinggi, lalu memicu kegaduhan ekonomi yang lebih serius.
“Harga-harga barang mungkin akan sangat mahal di sana setelah bencana. Tetapi selama ada uang, orang masih bisa membeli barang yang dibutuhkan,” tuturnya.
Tapi kalau uang tidak ada. Kemudian barang sulit didapatkan. Maka ini berpotensi mendorong masyarakat berbuat anarkis hingga kriminal.
Karena itulah, saat terjadi bencana di suatu daerah, BI tetap mengupayakan agar lembar dan koin rupiah, tetap tersedia di sana.
Proses pengiriman uang pun tak mudah. Penuh dengan kerahasiaan. Berkode misi rahasia negara. Informasi jadwal pengiriman uang tak banyak yang tahu. Pengawalan ketat diberikan aparat keamanan dari divisi terbaik.
“Uangnya dibawa pakai truk kontainer pengawalan ketat aparat keamanan,” ceritanya.
Informasi pengiriman disampaikan pada sore hari. Sebelum keesokan harinya mereka berangkat dalam misi rahasia negara. Yang tahu jadwal pengiriman itu, hanya petugas kasir, atasan kasir BI, dan petugas keamanan yang ditunjuk mengawal kontainer.
“Karena kodenya rahasia alhamdulillah tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Mandra.
Aparat khusus pengawal uang dalam kontainer pun tak mau jauh-jauh dari truk. Mereka berdiri siaga dengan mata penuh awas terhadap gerakan-gerakan mencurigakan.
“Kita rasanya seperti presiden. Bedanya presiden naik Mercy kita naik Truk,” kelakarnya.
Tidak ada pilihan. Karena ini misi negara, maka harus selesai dan sukses. Uang harus tiba tepat waktu di daerah bencana. Masyarakat di lokasi bencana tidak boleh mendapat jawaban uang kosong.
Maka tak lama setelah bencana berlalu, masyarakat yang ingin mencairkan tabungannya, untuk membeli logistik sudah harus bisa dilayani jasa perbankan di sana.
“Padahal mungkin banyak yang tidak tahu betapa beratnya proses pengiriman uang,” cerita Mandra.
Prosesnya sungguh tidak mudah. Para kasir bank bekerja lembur sore hari setelah dapat jadwal waktu pengiriman. Mereka menyiapkan uang bertumpuk-tumpuk lalu dimasukan ke dalam paketan tanpa boleh diabantu oleh siapapun. Hanya kasir yang boleh menghitung dan mengangkat uang-uang itu.
“Security pun tidak boleh, padahal uang-uang dengan jumlah miliaran bahkan triliun itu, walau kertas, beratnya minta ampun,” kekeh Mandra.
Tapi mereka tak punya pilihan. Harus segera menuntaskan penyiapan fisik uang dan laporan yang akuntabel. Tidak boleh meleset serupiah atau se-sen pun. Angkanya harus persis antara laporan di buku dengan fisik.
Bagi Mandra, proses pengiriman uang dari menyiapkan, memaketkan, membuat laporan, mengawal perjalanan, hingga akhirnya didistribusikan pada masyarakat memang melelahkan dan sangat menguras energi. Tapi itu semua dengan mudah terbayar saat melihat masyarakat tersenyum menerima uang yang jadi hak mereka.
“Nenek-nekek tesenyum saja kami sangat bahagia, melihatnya. Setidaknya itu bukti kalau mereka masih cinta juga pada rupiah,” tandasnya. (Lombok Post/JPG/bersambung)