
Sebelum namanya dikenal dunia, Iwan Zoda seorang pemecah batu di pantai Kayong Utara. Bocah sembilan tahun yang dikenal gandrung berkelahi.
Deska Irnansyafara, Pontianak
Pendiri Sasana Tinju Kayong Utara, Daminus Yordan, pertama kali bertemu Iwan di tepi pantai. Dari kejauhan, ia melihat seorang anak kecil bertubuh kurus sibuk memecahkan batu di antara kerumunan nelayan.
“Umurnya waktu itu masih sembilan tahun,” kata Dami, sapaan karib Damianus, ditemui di salah satu kafe kawasan Pontianak Selatan sambil menyantap sepotong buah nangka, Ahad (6/3).
Kala itu, Dami beserta keluarga baru pindah dari Ketapang. Ia sengaja berkeliling, berkenalan dengan tetangga baru. “Saya lihat teknik Iwan memecah batu cukup baik. Padahal dia anak kecil, tapi memecahkan batu cukup besar bisa. Hebatnya, batu pecah dengan baik pula,” kenangnya.
Masyarakat di sekitar pantai Kayong Utara memanfaatkan batu sebagai bahan material bangunan. “Kalau orang lain sembarang pukul saja yang penting hancur. Tapi kalau Iwan tidak, dengan teknik yang pas, batu pecah dengan baik,” ungkap Dami.
Dami pun menerawang, ia berpikir, “Kalau dia (Iwan) dibentuk jadi petinju, pasti akan bagus pukulannya”.
Lantas, Iwan pun dihampiri, ditawarkan untuk bertinju. “Saya ceritakan, kalau jadi petinju berprestasi, bisa keluar daerah bahkan keluar negeri. Naik pesawat, bisa punya uang,” kisah Dami.
Abang Daud Yordan ini juga memikat hati Iwan dengan mencontohkan beberapa petinju sukses seperti Manny Pacquiao dan Chris John. “Saya bilang, kalau bertinju bisa masuk tv dan punya banyak teman. Akhirnya dia tertarik dan berlatih,” tuturnya.
Di kalangan pemecah batu, sosok Iwan kecil dikenal pemberani tak takut berkelahi. “Saya pikir kalau tidak nakal bukan anak jalanan. Iwan tidak mungkin anak dari seorang Kasi, Kabid, maupun Kadis, di pemerintahan. Mana mungkin anak pejabat mau jadi petinju,” seloroh Dami.
Kenakalan Iwan dimakluminya. Beberapa bulan dididik, penerawangan Dami terbukti. Iwan punya bakat bertinju di atas rata-rata bocah seusianya. “Dari sisi sekolah formal dia memang tertinggal. Tapi olahraga tinjunya dia jalani dengan sangat baik dan sempurna sekali,” bebernya.
Karena keseringan berantem, Iwan pun tidak melanjutkan pendidikan di sekolah. Terlalu sering memukul sebayanya, Iwan diberikan sanksi dari pengurus sekolah. “Tapi setelah bertinju, saya tekankan tidak boleh memukul orang di luar,” tegas Dami.
Sewaktu ditemukan Sang Pelatih, Iwan tak lagi hidup bersama ayah dan ibunya. “Orangtuanya pisah sejak usia dia masih dua tahun. Dia ikut neneknya,” ujar Dami.
Imbuh dia, “Saya izin dengan neneknya Iwan. Saya ambil Iwan untuk berlatih supaya bisa dicetak menjadi petinju seperti Daud”.
Setelah empat tahun berlatih di Sasana Kayong Utara. Iwan pun mengikuti kompetisi tinju tingkat daerah. Kala itu, usianya 13 tahun. “Dia berhasil jadi juara Kalbar, terus nasional,” serunya.
Sejak itu, Iwan terus berkompetisi mewakili Kalbar. Puluhan medali emas dikoleksinya. “Setelah melewati umur 17 tahun, Iwan masuk ke ajang profesional. Kita bina lagi, sampai meraih puncak,” tutup Dami. Setahun kemudian, pria berjuluk ‘Sniper’ itu merengkuh sabuk juara World Boxing Organization (WBO) Asia Pasifik setelah menundukkan Petchchorhae Kokietgym di Thailand pada ronde 12.
Gelar itu dipertahankan di Pontianak Convention Center (PCC) setelah bikin petinju Thailand lainnya, Phupa Por Nobnom, semaput di ronde 3 pada penghujung tahun lalu. (bersambung)