Apa Kabar Keramik Singkawang yang Tenar pada 1980-an?

Upaya Keras Bertahan Tanpa Tungku Naga

SINAR TERANG. Bong Se Moi dan keramiknya di Sakok, Singkawang Selatan, Minggu (22/1). SUHENDRA

Pembuatan keramik di Singkawang merupakan tradisi turun temurun. Para penerusnya berusaha mati-matian mempertahankannya. Seperti dilakukan pembuat keramik Sinar Terang dan Dinamis di Sakok, Singkawang Selatan.

Suhendra, Singkawang

eQuator.co.idDulu, era 1980-an, usaha pembuatan keramik Sinar Terang cukup maju. Seminggu sekali ratusan keramik besar dan kecil dibakar dalam tungku khusus yang disebut Tungku Naga.

“Bisa dibayangkan, sekali pembakaran itu biaya yang diperlukan bisa mencapai puluhan juta. Ditambah bahan baku saat itu juga cukup mudah didapat dan masih tersedianya tenaga ahli dan karyawan yang mencapai belasan orang,” tutur Bong Se Moi, pengelola Sinar Terang, ditemui Rakyat Kalbar, Minggu (22/1).

“Sekarang mertua saya sudah meninggal sejak tahun 2000, dan sejak itu usaha ini dilanjutkan ke kami,” tambah dia.

Diakui wanita berusia 55 tahun ini, seiring waktu berjalan, usaha keramik mulai meredup lantaran kesulitan bahan baku dan permodalan. Tenaga ahli pun mulai tidak bisa bekerja lagi karena faktor umur. Yang paling menyusahkan adalah rusaknya Tungku Naga.

“Padahal dengan menggunakan tungku naga ini, puluhan keramik bisa kita bakar. Kami berharap ada bantuan permodalan. Rencananya memang, kalau ada uang, kami akan perbaiki tungku naga ini,” tuturnya.

Se Moi tidak berpangku tangan. Untuk mensiasati agar usahanya tetap berjalan —meskipun Tungku Naga belum dapat digunakan—, ia mengandalkan pembakaran menggunakan tungku bantuan pemerintah yang kapasitas pembakarannya tidak sebesar dan sebaik Tungku Naga.

“Sementara ini, kita hanya produksi yang kecil-kecil saja, lantaran kesulitan tenaga ahli dan permodalan. Keramik kecil ini harganya memang murah, ada 10 ribu dan 20 ribu rupiah. Namun yang kecil ini lebih laku lantaran murah dan modalnya pun tidak terlalu besar. Ya minimal untuk bertahan hidup,” ungkapnya.