eQuator.co.id – Memilih genre operatic pop, Andrea Miranda, 30, memberikan variasi baru di dunia musik. Dia tidak hanya menyanyi tetapi juga memberikan sentuhan opera dalam alunan lagunya.
DARAH seni mengalir dalam diri Andrea Miranda. Ayahnya adalah musisi kenamaan Indonesia, Purwacaraka. Andrea sudah lama mengenal dan mendalami musik. Namun, dia memulai perjalanannya di industri hiburan dengan bermain dalam drama musikal.
Dia telah membintangi Gita Cinta The Musical yang disutradari Ari Tulang, Onrop Musical (Joko Anwar), dan Semut Merah Semut Hitam (Titiek Puspa). ’’Sejak aktif dalam bermain drama musikal, saya semakin mantap bahwa inilah genre saya,’’ ucap Dea –sapaan Andrea– dalam promo albumnya di Surabaya pada Rabu (13/4).
Selain musik yang diiringi opera, genre tersebut lekat dengan cara membawakan lagu. Itulah mengapa Dea selalu penuh penghayatan saat menyanyi. Contohnya, single Aku Cinta Padamu yang aslinya dibawakan Vina Panduwinata. ’’Dalam versi saya, lagu ini menceritakan cinta yang tidak terbalas,’’ imbuhnya. Oleh karena itu, dia membawakan lagu tersebut dengan mimik yang sendu.
Keinginannya membuat album operatic pop sebetulnya muncul sejak 2011. Tetapi, itu baru bisa terlaksana awal 2015. ’’Memang saya tidak memiliki target untuk punya album,’’ terang penyanyi yang belajar musik sejak usia lima tahun itu.
Keinginannya menekuni musik bukan semata-mata hanya untuk industri. Tetapi, memang di situlah dia memiliki passion.
Pada November 2015, Dea baru merilis album pertamanya, selftitled. Pembuatan album memakan waktu sekitar sepuluh bulan. Dea melibatkan banyak musisi, antara lain Dian H.P., Tohpati, Teza Sumendra, Mhala dan Tantra Numata, serta Ifa Fachir untuk aransemen musiknya. Untuk iringan orkestra, Dea bekerja sama dengan Budapest Scoring Orchestra yang berpusat di San Francisco, Amerika Serikat.
Proses merekam musik orkestra oleh 32 musisi dilakukan di Hungaria dan San Francisco. Dea mengawasi proses tersebut dari Indonesia secara live streaming. ’’Setelah rekaman, kami download musiknya dari Indonesia,’’ imbuhnya.
Dia dan Dian H.P. banyak terlibat dalam pembuatan album tersebut. Hingga akhirnya, ada delapan lagu yang mereka masukkan.
Bekerja di belakang layar tidak sulit buat dia. Dea punya bekal yang banyak. Setelah lulus Jurusan Musik Universitas Pelita Harapan, dia mengambil short course Pop/R&B di Berklee College of Music, Boston, Amerika Serikat (AS), pada 2009. Lalu, pada 2014, Dea kembali ke AS. Kali ini dia memperdalam musik yang menjadi passion-nya di New York Film Academy.
Setahun di sana Dea belajar banyak hal. buka Tidak hanya bernyanyi, tetapi juga akting dan menari. ’’Dance-nya pun beragam. Saya belajar balet juga,’’ ujarnya.
Sebenarnya, itulah yang dia inginkan. Dea selalu terkagum-kagum dengan pemain broadway yang bisa menyanyi, menari, dan berakting dalam waktu bersamaan.
Pulang dari New York, Dea berfokus pembuatan album yang diproduseri sang ayah. Purwacaraka, ayah Dea, menyatakan sudah lama melihat potensi dan minat putrinya di bidang musik.
Tetapi, Purwa membiarkan Dea melakukan perjalanan sendiri. Mulai memilih kuliah jurusan musik hingga menjalin networking dengan musisi yang lain. ’’Saya sudah kerepotan mengurus sekolah musik. Jadi, senang sekali Dea bisa menjalin networking sendiri,’’ ucap Purwa, lantas tertawa.
Meski begitu, dia tidak melepas Dea begitu saja. Mereka selalu berdiskusi. Purwa selalu hadir untuk menyupervisi album Dea. Apalagi, Purwa menyadari genre operatic pop baru di Indonesia. Genre yang dipilih Dea tergolong antimainstream. Tapi dia berharap kerja keras Dea di album terebut diterima pecinta musik Indonesia.(ina/c4/jan).