eQuator.co.id – Jakarta-RK. Laporan tahunan 2016 KPAI kembali membuka tabir buruknya pola asuh terhadap anak. Indikasinya, kasus pornografi dan cyber crime meningkat tajam. Belum lagi, kekerasan terhadap anak yang justru paling banyak dilakukan orangtua.
Ketua KPAI Asrorun Ni’am Soleh menyampaikan, ada pergeseran dominasi kasus di tahun ini. Yakni, kasus pendidikan yang tergeser oleh kasus pornografi dan cyber crime. 2016, kasus pornografi dan cyber crime menduduki posisi ketiga. Terjadi peningkatan signifikan. Tercatat, 414 kasus yang diadukan.
Asrorun menuturkan, kasus pornografi dan Cyber Crime ini meningkat lantaran tak ada “penyaring” dalam penggunaan internet. Secara bebas anak mudah mengakses beragam informasi yang memuat konten negative seperti pornografi, game online yang sarat dengan kekerasan, hate speech, cyberbullying dan lainnya. Kondisi ini diperburuk dengan pengawasan orangtua yang minim.
Sebagai contoh, kata dia, banyak orang tua merasa tenang saat anak diam di rumah dan tidak keluyuran karena asik main gadget. Lalu, ada kelonggaran pengawasan. Siapa sangka, ternyata anak sedang membuka informasi yang memuat konten negatif.
Komisioner KPAI Bidang Pornografi dan Cyber Crime Maria Advianti menambahkan, peningkatan laporan pornografi dan kejahatan di dunia maya beriringan dengan besarnya jumlah anak yang menggunakan internet. Dari data Unicef 2014, setidaknya ada 30 juta anak dan remaja Indonesia intensif menggunakan internet.
”Penggunaannya bahkan bisa diatas lima jam perharinya,” ungkap Maria.
Kondisi ini tentu tak boleh terus berlarut. Pasalnya, banyak bahaya yang mengancam bila orang tua teledor. Untuk masalah pornografi misalnya. Anak bisa menjadi addict, bahkan lebih mengerikannya lagi bisa menjadi pelaku. Belum lagi tentang hate speech yang bisa meracuni mereka untuk saling membenci.
Ada lagi soal ancaman pihak-pihak tak bertanggung jawab. Misalnya, soal update status di media sosial. Kala cuitan “sendiri nih di rumah” beresiko menimbulkan kriminalitas, seperti pencurian atau pemerkosaan.
”Kurang edukasi tak jarang membuat mereka jadi korban kekerasan dunia maya. Dalam perkembangan zaman saat ini, anak memang sudah harus mengenal teknologi. Tapi harus didampingi dan diedukasi,” tuturnya.
Di sisi lain, kasus kekerasan anak masih tinggi. Bahkan lebih gilanya lagi, tahun ini kasus kekerasan paling banyak dilakukan oleh ibu. Dari 702 kasus yang ada, 55 persennya cenderung dilakukan oleh ibu.
Kekerasan ini meliputi upaya menghalangi akses bertemu, pengabaikan hak pengasuhan, penelantaran, hingga kekerasan dan eksploitasi. Tindakan ini terjadi lantaran dipicu oleh beberapa hal. Seperti konflik rumah tangga, perceraian hingga perebutan hak asuh anak.
”Kondisi yang secara psikologis belum matang juga menjadi salah satu penyebabnya,” ujar Asrorun.
Komisioner Penanggung Jawab Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Rita Pranawati menambahkan, kekerasan ini memang bukan terkait fisik namun intimidasi. Ibu merasa jadi tempat terbaik untuk anak. Hingga akhirnya melarang bertemu sang ayah.
”Padahal kan meski telah bercerai, tapi untuk anak kan tidak ada yang namanya mantan orang tua,” ungkapnya.
Menurutnya, persoalan utama atas kekerasan dalam keluarga adalah lemahnya pola asuh. Hampir 70 persen orang tua hanya mengcopypaste pengasuhan yang diterima sebelumnya.
”Jadi tidak dilihat lagi apakah itu baik untuk anak atau tidak. Cenderung sama dengan yang dialami,” keluhnya.
Dampak dari konflik dalam rumah tangga ini ternyata tak main-main. Anak terancam stress yang akhirnya berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak. Bahkan, paling buruk, ada beberapa anak yang mencoba bunuh diri karena tidak mampu memanage stress yang dialami.
Guna bisa segera mengakhiri kasus ini, KPAI mendesak pemerintah untuk segera merevitalisasi pendidikan pranikah. Pendidikan ini diharapkan diberikan secara intensif pada calon pasangan. Bukan hanya soal kewajiban saat menjadi pasangan suami istri, namun terkait pola asuh anak yang baik.
”Selama ini pranatanya sudah ada, yaitu kursus calon pengantin atau suscatin. Akan tetapi sangat tidak berdaya. Bahkan dibeberapa KUA ada yang tidak diberikan,” tegas Asrorun.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) diminta untuk segera memberlakukan mata kuliah perlindungan anak di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Sedangkan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemenidkbud), diminta membuat regulasi mekanisme untuk rekrutmen pendidik dan kependidikan yang tidak memiliki riwayat dan berpotensi menjadi pelaku kekerasan di satuan pendidikan.
”Berkaitan dengan cyber crime, Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu menerbitkan regulasi dan kebijakan yang dapat menekan tayangan pornografi, sexual online, dan content tidak sehat lainnya. Tentunya dibarengi dengan upaya hukum bagi pengunggah dan perekam,” tegasnya.
Menurutnya, di beberapa negara upaya ini telah dilakukan. Bahkan, bagi pejabat negara yang ketahuan membuka situs porno dapat terkena kode etik dan dimakzulkan.
Menghadapi berbagai masalah anak yang kian pelik, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu mengungkapkan, pihaknya tengah mengembangkan perlindungan anak berbasis masyarakat. Yakni, meningkatkan sensitivitas keluarga dan anak terkait konten porno atau cyber crime lain. KPPA sudah menyiapkan 1300 lebih fasilitator desa yang akan mendampingi.
Menurutnya, cara ini paling pas dari pada hanya menunggu pihak-pihak bersangkutan untuk melakukan penutupan konten. Apalagi, dari laporan Bareskrim, setidaknya ada 25 ribu situs per hari yang bisa diupload.
”Kalau programnya hanya menutup konten akan kurang. Karenanya, khusus untuk cyber crime KPPPA memberikan fasilitasi pada keluarga agar mampu mendampingi anak dalam penggunaan IT. Nanti didorong pula anak dalam peer group agar mampu menghindari cyber crime,” paparnya.
Ketua Dewan Konsultatif Nasional Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menuturkan, temuan KPAI bahwa pelaku kekerasan kepada anak banyak oleh ibu, cocok dengan temuan mereka beberapa tahun lalu. Menurutnya ada sejumlah sebab yang sampai membuat ibu-ibu melakukan kekerasan kepada anak.
Penyebab pertama adalah dibanding dengan ayah, waktu ibu bersama anak lebih banyak. Sehingga potensi adanya kekerasan oleh ibu kepada anak lebih tinggi. Penyebab kedua adalah ibu-ibu kerap menjadi korban kekerasan oleh ayah. Nah untuk pelampiasan kekesalan itu, si ibu meluapkan kepada sang anak.
’’Faktor lainnya seperti beban ekonomi,’’ kata dia.
Kak Seto, nama akrabnya, mengusulkan solusi berupa pemberdayaan rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT). Keberadaan RT dan RW harus bisa menjadi media untuk para ibu-ibu mencurahkan uneg-unegnya. Sehingga tidak disimpan sendiri kemudian dilampiaskan kepada sang anak.
Bagi Kak Seto, upaya melindungi anak itu perlu dilakukan oleh warga satu kampung. Tidak bisa dibiarkan kepada kedua orangtuanya saja. Sebab orangtua juga bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan kepada anak.
Kemudian terkait dengan potensi anak-anak terlibat cyber crime, Kak Seto mengatakan perlu ada diet menggunakan gadget dan diet menonton TV. Di sela-sela itu orangtua mengajak ngobrol santai anak-anaknya.
’’Misalnya main dakon atau sekedar makan malam atau minum teh sore-sore bersama,’’ jelasnya.
Dia tidak ingin anggota keluarga sibuk dengan gadget masing-masing. Orangtua tetap perlu untuk melek IT supaya bisa ikut memantau penggunaan IT oleh sang anak. Namun juga tetap tidak boleh berlebihan dalam menggunakan IT.
MULAI FOKUS KASUS ANAK TERPAPAR PAHAM RADIKAL
Ada dampak lain dari buruknya pengawasan pada pemanfaatan teknologi. Anak mudah terindoktrinasi radikalisme dan terpapar faham ekstrimis. Dari laporan KPAI, angka kasus menyangkut agama dan budaya tahun ini meningkat tajam. Ada 219 kasus, naik 82 persen dari tahun sebelumnya.
”Saat ini, radikalisme sangat berkembang biak di media sosial,” tutur Ketua KPAI Asrorun.
KPAI sendiri saat ini tengah fokus mengawasi gerak-gerik empat anak yang terindikasi paham radikal ini. Pengawasan secara intensif sejatinya telah dilakukan sejak 2013 lalu. Dimulai dari mencuatnya kasus di Cirebon. Sebuah lembaga pendidikan terendus menyisipkan paham radikal pada anak didik mereka.
Kemudian, adanya kasus terorisme yang dilakukan oleh pelaku usia anak. Kasus terjadi pada 2014 lalu di Klaten, Jawa tengah. ”Prosesnya (radikalisasi, red) tidak dilakukan dalam waktu pendek. Proses dilakukan jauh sebelumnya,” ungkapnya.
Komisioner Penanggung Jawab Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Rita Pranawati menuturkan, anak-anak ini terjerat paham radikal setelah mempelajarinya melalui internet. Tanpa pengawasan, mereka cenderung salah menafsirkan apa itu arti jihad dan lainnya. ”Jihad di Suriah diposisikan sama seperti di Indonesia. seharusnya ada pendampingan yang bisa menjelaskan hal itu,” ungkapnya.
Dari empat anak yang tengah diawasi intensif oleh KPAI, 1 anak saat ini sedang berada di penjara atas kasus percobaan pengeboman di salah satu tempat ibadah. Satu orang lainnya, karena mengancam peledakan salah satu kantor berita asing.
”Dua lainnya ini sedang dalam rehabilitasi dan pengawasan intensif kami. Mereka memang belum tersangkut kasus, tapi sempat ada keinginan untuk melakukannya,” jelasnya.
Banyak pihak yang mengira keempatnya berasal dari keluarga dengan paham garis keras. Nyatanya tidak. Mereka tumbuh ditengah keluarga normal biasa. Tapi sayangnya, lagi-lagi, pola asuh yang kurang. Pasalnya, indikasi anak mengalami perubahan nyata dalam pola pikir dan tindakan sudah terjadi sejak lama. Sudah sejak 5-6 tahun sebelumnya. Namun, orang tua mendiamkan karena tidak mampu mengatasi.
”Cirinya mudah. Anak tidak mau lagi berkumpul dengan sekitar. Lalu, tidak lagi menghormati para ulama yang ada, tidak mau lagi sholat di masjid yang biasanya. Cenderung pendiam. Ini harus segera ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Selain melaui internet, radikalisasi ini ternyata sangat dekat dengan kehidupan di penjara. Dari pengawasan yang dilakukan KPAI, anak-anak yang berhadapan dengan hukum sangat rawan terpapar. Pasalnya, mereka ditempatkan bersama dengan terpidana dewasa. Lebih parahnya, mereka merupakan terpidana atas kasus terorisme.
”Ada salah satu anak yang cerita. Dia didekati,” ungkapnya.
Karenanya, KPAI mendesak aparat untuk memisahkan terpidana anak dengan dewasa segera. Selain itu, aparat diminta menerapkan pendekatan restorative justice atau pendekatan pemulihan bagi anak-anak yg terpapar terorisme. sesuai dengan UU 12/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mereka perlu diarahkan untuk memulihkan bukan penghukuman (punitif), membuat anak memiliki masa depan yang lebih baik.
Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin mengakui bahwa di sekolah ada potensi radikalisasi. Potensi itu muncul karena pola pembelajaran Pendidikan Agam Islam (PAI) yang tidak tepat. Sehingga semangat materi pembelajaran PAI yang berpegang pada Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak berjalan on the track.
Diantara penyebab pola pembelajaran PAI yang tidak tepat itu disebabkan karena kurangnya guru agama di sekolah umum. ’’Guru agama yang saya maksud adalah guru agama beneran yang lulusan sarjana Pendidikan Agama Islam,’’ katanya kemarin.
Kamaruddin prihatin kekurangan guru agama itu diisi oleh guru dengan kompetensi lain. Misalnya guru PPKn atau bahasa Indonesia, dipaksa mengajar agama di sekolah. Secara teknis materi pelajaran agama bisa disampaikan ke siswa. Namun semangat menghadirkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa berjalan dengan ideal.
Dia berharap pemerintah daerah menaruh perhatian penting terkait masalah kekurangan guru pendidikan agama itu. Setiap ada pengisian CPNS baru, diharapkan kuota utamanya untuk guru-guru pendidikan agama.
Selain itu guru pendidikan agama tidak sebatas menjadi pengajar di sekolah. Keberadaan guru agama juga bisa menjadi pembing kerohanian di luar kegiatan sekolah. Misalnya melalui bimbingan rohani Islam (rohis). Peran sebagai pendamping ini tidak bisa dilaksanakan jika guru agama diambil dari guru matematika atau mata pelajaran lainnya.
Inti dalam pendidikan agama berbasis kurikulum rahmatan lil alamin adalah menjadikan para siswa sebagai orang Islam yang toleran, mengajarkan kedamaian, dan moderatisme. Dengan kurikulum ini, pembelajaran agama Islam tidak lagi mengarah pada radikalisme, ekstrimisme, apalagi sampai terorisme.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengatakan bahwa memang anak-anak rentan untuk teracuni paham radikal. Saat ini ada 500 orang yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah. ”sebagian besar berusia antara 15 tahun hingga 30 tahun,” paparnya.
Mereka bisa memiliki paham radikal dengan berbagai sebab. Salah satunya, melalui media sosial. Dia mengatakan bahwa sangat penting orang tua untuk bisa mengawasi akses internet anak-anaknya.
”Jangan sampai mereka memiliki paham radikal,” terangnya.
Tidak hanya itu, anak-anak mantan narapidana kasus terorisme menjadi yang paling rentan untuk terjangkit paham radikal. Bahkan, anak-anak mantan narapidana kasus terorisme itu bisa lebih militant bila terjangkit paham tersebut.
”Maka, caranya hanya bisa dirangkul dan jangan dipinggirkan,” ungkapnya.
Suhardi menuturkan, paham radikal itu juga menyebar di penjara. Sebab, tidak ada pemisahan antara narapidana kasus teror dengan narapidana kasus yang lain. Contoh paling nyata yang terjadi pada Afif, pelaku aksi teror Thamrin. Dia merupakan anak didik Amman Abdurrahman di penjara.
”Makanya, saat ini Amman diisolasi,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini sudah ada upaya mengklasifikasikan narapidana kasus terorisme. Ada empat klasifikasi, pertama kelompok teroris yang tidak mau ditemui dan bekerjasama dengan BNPT, kedua kelompok yang bersedia ditemui tapi belum mau ikut program deradikalisasi, kelompok yang bersedia ditemui dan mengikuti program deradikalisasi dan terakhir kelompok yang bersedia ditemui, ikut program dan bahkan bersedia mengajak teman-temannya. ”Semua ini perlu diketahui,” ujarnya.
Kedepan, lanjutnya, memang diperlukan penjara khusus untuk narapidana kasus terorisme. Sehingga, paham radikal tersebut tidak bisa disebarkan ke narapidana yang lainnya. ”Semua itu terus diupayakan,” ungkapnya. (Jawa Pos/JPG)