eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Puluhan orang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Dayak Kalimantan Barat menggelar aksi damai di gedung DPRD Kalbar, Kamis pagi (30/8). Aksi ini menyusul tudingan Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Negoro yang menyebut tradisi gawai serentak sebagai pemicu kabut asap di Kalbar.
Ikut serta dalam aksi tersebut Sekretaris Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Yakobus Kumis, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar Jakius Sinyor dan pengurus DAD lainnya. Massa diterima Wakil Ketua DPRD Kalbar H Suriansyah, Ketua Komisi V DPRD Kalbar beserta anggotanya Markus Amit, Wakil Ketua I DPRD Kalbar H Amri Kalam dan anggotanya Martinus Sudarno, serta beberapa anggota dewan lainnya.
Baca Juga: Karolin Janji Tata dan Optimalkan Gawai Dayak Di Kalbar
Massa aksi menyatakan, masyarakat suku Dayak tidak bermukim di lahan gambut yang selama ini sering dilanda kebakaran. Karena masyarakat Dayak pada umumnya bermukim dan melakukan aktivitas pertanian tradisional di lahan kering. Kendati membuka lahan dengan sistem bakar, namun berdasarkan kearifan lokal. Masyarakat tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
Untuk itu, pihaknya mendesak Sutopo Purwo Nugroho mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat dayak. Baik melalui media lokal maupun nasional.
Sutopo diharapkan lebih menghormati kearifan lokal masyarakat Dayak dalam NKRI. Dia diminta hadir di Kota Pontianak untuk diadili secara hukum adat Dayak paling lama 7 hari setelah surat dilayangkan. Karena pernyataan Sutopo dianggap telah meresahkan dan merendahkan harkat, dan martabat masyarakat Dayak. Mereka mengingatkan kepada pihak manapun agar tidak mudah mengeluarkan pernyataan serupa, yang dapat mendiskreditkan masyarakat Dayak.
Sekretaris MADN, Yakobus Kumis menjelaskan, yang hadir aksi mewakili keresahan masyarakat Dayak se Indonesia. Mereka ingin menyampaikan somasi, teguran hukum maupun pernyataan sikap dari masyarakat Dayak terhadap pernyataan Sutopo yang dinilai menyinggung perasaan.
“Sutopo memberikan pernyataan itu menurut kami sangat menyakitkan. Karena menyangkut harkat, martabat dan nama baik masyarakat Dayak,” tuturnya.
Pernyataan Sutopo terkait gawai serentak memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meluas tidak bisa diterima. Karena masyarakat adat dengan kearifan lokalnya sejak dahulu menjalankan tradisi berladang. “Masyarakat adat Dayak bukan penyebab kabut asap,” tegasnya.
Dayak kata dia, memiliki kearifan lokal saat membakar ladang. Siapa yang menyebabkan kebakaran asap sebenarnya harus ditelusuri. Dia mengajak Sutopo, Polda, TNI, Polri, BNPB , BPBD dan Dinas Lingkungan Hidup, untuk ikut melihat bagaimana masyarakat adat Dayak bakar lahan. “Dayak bukan asal membakar lahan. Tapi, membakar lahan dengan kearifan lokal,” ucapnya.
Baca Juga: Karolin Berpose di Arena Pekan Gawai Dayak, Ini Komentar Warganet
Dia menyebut, kebiasaan berladang masyarakat adat Dayak tidak seperti orang yang membakar lahan di kota. “Kami tidak bakar lahan gambut,” sebutnya.
Pihaknya berharap DPRD meneruskan aspirasi ini kepada semua lembaga dan instansi terkait lainnya. Jangan sampai ada lagi menilai Dayak seperti yang disampaikan Sutopo. Jangan sampai ada pernyataan yang bisa menimbulkan keresahan masyarakat adat. “Ini akan kami sampaikan dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat,” tutup Yakobus.
Ketua Perhimpunan Perempuan Dayak Kalbar, Chaterina Lies menegaskan kebiasaan berladang dengan kearifan lokal telah berlangsung sejak dahulu. “Saya dari lahir sampai sekarang makan beras dari hasil ladang,” pungkasnya.
Bencana kabut asap kata dia, harus diteliti terlebih dahulu dari mana sumbernya. Baru bisa mengeluarkan pernyataan sesuai kenyataan yang ditemukan di lapangan. “Gawai sudah berlaku sejak dahulu,” ujarnya.
Ditegaskan Chaterina, jangan mengkambinghitamkan gawai sebagai penyebab kabut asap. Karena tidak ada hubungannya. Masyarakat berladang untuk mencari nafkah dan menyambung hidup. “Kalau kami tidak berladang bisa kah orang-orang makan. Kami menuntut Sutopo datang ke Kalbar,” pinta Chaterina.
Menanggapi itu, Wakil Ketua DPRD Kalbar H Suriansyah menegaskan, pihaknya sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Akan menindaklanjuti dan menyampaikan lembar aspirasi tersebut ke Sutopo. Suratnya sedang dikonsep yang nantinya akan dibawa Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar TTA Nyarong ke Jakarta pada Kamis (30/8) malam. “Ini supaya Kepala BPBD bisa menyampaikan secara lisan terkait permasalahan ini,” ungkapnya usai menerima aksi tersebut.
Ia berharap keberangkatan Kepala BPBD Kalbar ke Jakarta bisa menyakinkan Sutopo untuk hadir ke Kalbar sesuai keinginan masyarakat tanpa rasa kekhawatiran. Pasalnya, keamanan dijamin oleh Masyarakat Adat Dayak dan pihak aparat keamanan.
“Memang diakui sudah ada klarifikasi dari Pak Sutopo yang menyatakan bahwa pernyataannya dipelintir,” sebutnya.
Jika terjadi kesalahan pengertian terhadap gawai Dayak, biarlah DAD yang menyampaikan apa yang benar ke Sutopo maupun pemerintah pusat. “Sehingga, ke depan tidak ada lagi kesalahan pengertian tersebut,” tukasnya.
Baca Juga: Sutarmidji Hadir di Pekan Gawai Dayak XXXIII, Karolin Ucapkan Terimakasih
Politisi Gerindra ini berpendapat, bencana kabut asap akibat kebakaran lahan tidak terkendali sejak tahun 1990-an ke atas. Tepatnya sekitar tahun 1995, pada saat maraknya perkebunan sawit. Pembukaan lahan perkebunan sawit menggunakan sistem pembakaran. “Itu dinilai cara paling murah, namun sangat merusak lingkungan,” jelasnya.
Luas lahan Kalbar sekitar 14,6 juta hektare. 11 persen diantaranya atau sekitar 1,5 juta hektare merupakan lahan gambut. Kebakaran lahan gambut inilah yang menyebabkan terjadi kabut asap. Sebab, gambut terdiri dari bahan organik yang mudah terbakar. “Kebakaran lahan gambut ini terutama di daerah-daerah yang digarap sebagai perkebunan, pertanian dan lainnya,” katanya.
Masyarakat adat Dayak sebagian besar berladang di lokasi-lokasi perbukitan. Merupakan tanah mineral yang jauh dari lahan gambut. Sehingga wajar masyarakat adat Dayak keberatan dituduh sebagai penyebab kebakaran lahan yang menyebabkan kabut asap. Karena lingkungan mereka jauh dari pusat-pusat kebakaran.
“Kalaupun ada lahan gambut di daerah perhuluan, biasanya tidak mereka gunakan untuk ladang. Karena mereka berladang di daerah perbukitan yang dianggap lebih subur, apalagi daerah-daerah perbukitan sedikit berbatu,” papar Suriansyah.
Sementara itu, Sutopo menyebutkan, wartawan CNNIndonesia telah menemui dirinya dan minta maaf. Karena hanya memuat sebagian dari release dirinya yang akhirnya menimbulkan penafsiran berbeda dan masalah. “Saya mengerti semua itu. Sekaligus saya sampaikan juga klarifikasi dan permohonan maaf ke masyarakat Kalbar,” tulisnya di group WhatApp WAPENA -KALBAR, Rabu (29/8).
Laporan: Zainudin
Editor: Arman Hairiadi