eQuator.co.id – Ibu seringkali kesal bahkan jengkel dan marah-marah saat anaknya susah makan. Anak zaman sekarang bukan lagi susah disuruh makan, tetapi mereka lebih senang pilih-pilih makanan atau dikenal dengan istilah Picky Eater. Jangan sampai nantinya kebutuhan asupan gizi mereka tak terpenuhi dan bisa berdampak pada tumbuh kembang.
Picky eater adalah anak yang mengonsumsi makanan kurang bervariasi dan biasanya rendah sayuran, buah, protein serta serat karena menolak makan. Makanan yang disukai dan tidak disukai memiliki peran penting dalam pemilihan makan, di mana picky eater dapat menunjukkan adanya preferensi kuat terhadap makanan.
Menurut Jurnal Gizi Indonesia pada tahun 2018, picky eating merupakan salah satu risiko anak dapat mengalami kurang gizi, karena picky eater (anak yang mengalami picky eating) cenderung memiliki asupan energi, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral lebih rendah dibandingkan non-picky eater.
Pakar Tumbuh Kembang Anak serta Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Jakarta Prof. Dr.dr. Rini Sekartini SpA(K)., menjelaskan nutrisi adalah kebutuhan dasar anak. Anak harus diberi gizi seimbang antara karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Dia meminta para bunda agar anak juga diajarkan makan sehari 3 kali ditambah dengan asupan snack 2 kali sehari.
“Dulu kan 4 sehat 5 sempurna. Sekarang namanya gizi seimbang. Ada juga konsep piring makanku. Maka anak jangan sampai melewatkan sarapan misalnya, sehari makan 3x dan 2x snack. Jika sudah dididik seperti ini, akan menjadi kebiasaan baik dan menghindarkan anak menjadi picky eater,” dalam Konferensi Pers dan Peluncuran Susu Curcuma Plus, Jumat (19/10).
Dalam penelitian ditemukan fakta 75 persen picky eater mulai menolak untuk makan pada tahun pertama kehidupan, berlanjut hingga usia dua tahun. Setelah itu, apabila terus berlanjut, akan diikuti dengan berat badan yang kurang. Kondisi ini menyebabkan anak berisiko stunting.
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6 persen di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penyebabnya, karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan diperparah dengan gelaja picky eater.
“Bunda harus memahami tujuan makan selain mencukupi kebutuhan gizi anak tetapi juga mendidik kebiasan makan. Idealnya seorang anak makan ada makan pagi, makan siang dan malam, maka ini akan jadi kebiasaan baik,” katanya.
Menurut dr. Rini, pola mendidik anak makan seperti ini harus diajarkan saat usia pra sekolah. Jika sudah usia sekolah atau bahkan remaja, maka tak akan efektif dan anak sudah terlanjur menjadi picky eater.
“Jika bunda baru mulai saat anak usia sekolah, itu sudah salah. Harusnya dimulai saat anak diberi Makanan Pendamping (MPASI) lalu dilanjutkan makanan keluarga,” tegasnya. (JawaPos.com/JPG)