Ada SD Hanya Berisi Empat Siswa Dua Guru

Potret Dunia Pendidikan di Beranda Indonesia

WAJAH PERBATASAN. Murid SD Negeri di Nanga Badau ketika menyambut kunjungan dari Polda Kalbar di Taman Baca Badau, Ahad (27/12) tahun lalu. Andreas-RK.

Sampai sekarang, pemerintah belum sepenuhnya hadir di daerah perbatasan. Ketimpangan sarana-prasarana menjadi bukti bahwa sejak puluhan tahun merdeka, buah kemerdekaan tersebut masih samar. Problem infrastruktur dasar yang sangat terbatas harus diakui.

Andreas, Putussibau

Jangankan bicara pemerataan pembangunan jalan, maupun blablabla (omong kosong) multiplier effect dari akses yang dibangun, dua kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu hingga kini belum didapati sekolah setingkat menengah atas (SMA). Padahal, Kecamatan Puring Kencana dan Empanang itu merupakan beranda Indonesia yang semestinya diperkuat oleh Negara.

Guru SMPN 32 Empanang, Marselianus Leokarnaen, menyatakan peserta didik ketika lulus SMP berjuang keras untuk mengecap pendidikan lanjutan.

“Di Empanang, kami sebagai guru sering mendapat saran agar membantu masyarakat memperjuangkan SMA. Karena dua kecamatan seperti Empanang dan Puring Kencana belum punya SMA. Sampai hari ini, usaha pengajuan belum membuahkan hasil,” tegas Marsel, karib dia disapa, ditemui Rakyat Kalbar di Putussibau, Jumat (30/1).

Pria yang genap empat tahun mengabdi di sekolah perbatasan ini mengakui, ketika lulus SMP, murid-muridnya lebih memilih sekolah ke Malaysia ketimbang ke Badau atau Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau.

Ada kisah nyata, lanjut Marsel, siswa asal Empanang yang sekolah di Lubuk Antu, Malaysia. Anak itu ingin pindah sekolah ke Indonesia.

“Sekolah setingkat SMP di Lubuk Antu istilahnya form one hingga form six (tingkatan 1-6) setara dengan SMP/SMA. Dia mau pindah ke sekolah kita, saya konsultasi ke dinas (Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga/Disdikpora Kapuas Hulu) tapi tidak bisa diterima,” bebernya. Alasan pihak dinas, beda kebijakan.

Menurut Marsel, mestinya pemerintah bisa membuat kebijakan khusus untuk menampung anak-anak perbatasan jika ingin kembali sekolah ke daerah asal. “Alasan karena tidak punya ijazah SD. Padahal di Malaysia itu sudah lewat tingkat 1-6. Bagaimana kalau banyak warga kita yang ingin kembali dari Malaysia ke Empanang? Otomatis (kebijakan,red) ini bisa membuat mereka putus sekolah nanti,” tutur dia.

Data yang dihimpun koran ini, akhir tahun 2015 lalu, di Kecamatan Puring Kencana tercatat 18 siswa yang bersekolah di Malaysia, 10 siswa SD, 8 siswa setingkat SMP dan SMA. Informasi yang didapat dari masyarakat sekitar, pilihan warga perbatasan menyekolahkan anaknya ke Jiran karena fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik. Semua siswa dari Puring Kencana diasramakan, waktu kegiatan belajar-mengajar pun sangat disiplin.

Jelas saja, sekolah-sekolah di Empanang terbanting jika dibandingkan dengan sekolah di Malaysia. Contohnya, di SDN 03 Dusun Upak, Desa Kumang Jaya, fasilitas belajar jauh dari kata sudah menunjang.

“Kemudian, di SDN 09, Dusun Sebangkang, Empanang, hanya diisi empat siswa dan dua guru. Isu kemarin mau digabungkan ke SDN 11 Kelutuk, tapi sampai hari ini belum dilaksanakan,” tutup pria asal asal Putussibau itu.

Kisah hidup mengabdi sebagai guru perbatasan juga dirasakan oleh Ismanto. Ia mengajar di SMA Negeri 01 Nanga Badau. Tantangan terberat yang dihadapi para guru di sana terjadi kalau mereka ingin mengurus administrasi ke Dinas Pendidikan di Putussibau.

“Misal, seperti sekarang hari Jumat, kalau selesai mau kejar pulang ke Badau tapi ngajar besok Sabtu, sudah ndak mungkin. Orang di tempat lain, kalau mau berurusan administrasi sebagainya, turun dari rumah, datang ke dinas, selesai. Kalau kita? Lima-enam jam baru sampai Putussibau. Belum lagi biaya bensin, alat motor, dan segala macam,” bebernya.

Dengan kondisi demikian, Ismanto berharap pemerintah punya perhatian lebih, bukan hanya sekedar tunjangan, tapi ada perlakuan khusus untuk mempermudah guru-guru di perbatasan ketika mengurus administrasi. “Kita berharap dapat perlakuan yang sama dengan guru-guru yang ada di tempat lain,” pintanya.

Dia pun tak menampik masyarakat perbatasan lebih familiar dengan barang-barang made in Malaysia. Sangat mudah didapat dengan harga murah. “Karena jauh dan sulitnya akses ke Badau. Maka di Badau itu, warga cenderung belanja barang dari jiran. Karena barang kebutuhan pokok dari sana lebih murah dari barang kita,” demikian Ismanto. (*)