eQuator – Sebagai upaya mendukung perdagangan bebas ASEAN, industri gula Indonesia dan Thailand terus memperkuat kerja sama. Dua negara itu juga berusaha menyamakan persepsi pengecualian penurunan tarif impor gula.
Sebagaimana diberitakan, semestinya tarif impor 0 persen berlaku untuk seluruh komoditas. Tetapi, Indonesia masih mematok tarif impor gula dari negara ASEAN 5 persen.
Kasubdit Regional Multilateral Direktorat Pemasaran Internasional Kementerian Pertanian Okta Muchtar menyatakan, pemberlakuan tarif impor 0 persen sulit direalisasikan dalam waktu dekat. Sebab, pemerintah berkepentingan melindungi petani hingga karyawan pabrik gula dalam negeri.
Selain itu, produk gula impor dari ASEAN dikhawatirkan mengisi pasar Indonesia. ”Kedua negara sepakat melakukan komunikasi intensif supaya tercipta kesepahaman terkait pemerintah RI yang tetap memberlakukan tarif impor gula,” ujarnya di sela kunjungan di PG Gempolkrep Mojokerto kemarin (27/11).
Patokan tarif impor gula ditetapkan secara bertahap. Dari sebelumnya 25 persen, kemudian turun menjadi 5 persen. Dia mengatakan, melalui tujuh kali pertemuan yang dilakukan secara bergantian di dua negara, pihaknya berharap masing-masing bisa memahami satu sama lain.
”Jadi, Indonesia yang ingin melindungi petani, sedangkan Thailand menilai Indonesia sebagai pasar potensial,” jelasnya.
Negeri Gajah Putih itu memang dikenal sebagai produsen gula dunia. Setiap tahun negara tersebut bisa menghasilkan 10,6 juta ton dari 50 pabrik gula. Sementara itu, kebutuhan lokal hanya 2 juta ton per tahun. Praktis, sisanya diekspor. Selama ini 30 persen diekspor ke Indonesia.
Total kapasitas giling pabrik gula di Thailand mencapai 940.000 ton tebu per hari (TTH). Dengan tingkat rendemen (kadar gula dalam tebu) sampai 12 persen, perhitungan biaya produksi gula hanya Rp 4.000 per kilogram.
Di sisi lain, produksi gula Indonesia baru 2,6 juta ton dari 62 pabrik yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Gula untuk kebutuhan industri masih diimpor. Kapasitas giling seluruh pabrik gula di Indonesia jauh di bawah Thailand, yaitu hanya 205.000 ton tebu per hari. Kemudian, rata-rata biaya produksi gula di Indonesia cukup tinggi. Bahkan, ada yang masih di atas Rp 7.000 per kilogram. Tingkat rendemen juga baru mencapai 7-8 persen.
Senior Expert Kantor Pertebuan dan Pergulaan Kementerian Perindustrian Thailand Porntip Siripanuwat menambahkan, pihaknya masih berharap Indonesia bisa menurunkan tarif impor gula hingga 0 persen. ”Tujuan kami melakukan bilateral consultative meeting agar tarif bisa dinolkan, meski bertahap. Berdasar kunjungan lapangan, kami menilai sektor budi daya sudah bagus. Apalagi kalau sistem mekanisasi dilakukan sepenuhnya oleh petani,” tuturnya.
Dia mengapresiasi pabrik gula, yakni PG Gempolkrep, yang sudah terintegrasi dengan pabrik bioetanol dan limbah tebu. Menurut dia, langkah tersebut bisa menjadi proyek percontohan bagi pabrik gula lain. Sebagaimana di Thailand, hampir 90 persen pabrik gula sudah menetapkan diversifikasi usaha dengan memproduksi bioetanol dan listik. (res/c15/oki)