eQuator – Cerita klasik tentang ‘perselingkuhan’ antara perusahaan farmasi dan dokter yang melahirkan kesepakatan bahwa dokter harus memberikan resep obat kepada pasien sesuai daftar merek perusahaan farmasi masih saja terjadi di beberapa rumah sakit di sejumlah daerah di seantero Indonesia.
Cerita ini pun dibenarkan dan diyakini terus berlangsung sampai hari ini oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zaenal Abidin.
Dalam sebuah wawancara kepada media baru-baru ini, Zaenal bahkan menyiratkan jika praktek itu hampir tak bisa lagi dicegah. Sehingga IDI–dengan meminta kerja sama masyarakat untuk bersama-sama melakukan pengawasan terkait persoalan tersebut.
Pertanyaannya, sudah seberapa parahkah cengkeraman korporasi produsen-produsen obat tersebut sehingga memaksa dokter-dokter yang berada di bawah sumpah tega “mengibuli” pasiennya.
Jualan brand ke mana-mana. Memaksakan pasien untuk memilih dan membeli obat paten sesuai keinginan perusahaan dengan harga yang relatif mahal. Sementara obat generik dengan biaya hampir gratis itu disembunyikan rapat-rapat di balik lemari.
Padahal kalau mau jujur, banyak dokter dan ahli sudah membuktikan bahwa obat generik tidak kalah khasiatnya dengan obat paten atau obat-obat branded lainnya. Atau mungkin antara generik dan paten, hanya beda dibungkusnya saja.
Lantas bagaimana Ketua IDI Provinsi Kalbar, Berli Hamdani memandang persoalan ini? Apakah praktik ini juga terjadi di Kalbar? Apa saja motifnya dan sejauh mana proses ‘ijab kabul’ antara dokter dan perusahaan farmasi tersebut?
Demikian wawancara wartawan Rakyat Kalbar dengan dr Berli Hamdani, yang juga menjabat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kubu Raya (KKR), Selasa (24/11) selengkapnya.
+Bagaimana hubungan antara perusahaan farmasi dengan dokter di Kalbar?
-Biasa mengadakan kegiatan atau seminar bersama. Namun itu sifatnya lembaga. Yang namanya gratifikasi kan sifatnya perorangan. Kalau ini yang terima lembaga, yakni berupa kegiatan-kegiatan seperti baksos.
+Siapa yang meminta untuk dilaksanakan kegiatan baksos tersebut?
-Biasanya dari farmasi yang menawarkan kegiatan-kegiatan tersebut. Atau dari IDI yang mengajukan proposal kegiatan baksos untuk masyarakat, bukan pribadi. Dan kita selalu menekankan betul agar berhati-hati. Tidak ada misalnya kita bikin kegiatan, harus sekian boks obat, resep, tidak.
+Bagaimana dengan hubungan pribadi dokter dengan perusahaan farmasi tersebut?Apakah kontrak itu riil?
-Saya tidak bisa mengidentifikasi. Biasanya itu terjadi di kota-kota besar. Tapi kalau untuk Kalbar, saya belum ada dengar. Mungkin yang dimaksudkan Pak Ketua IDI itu di kota-kota lain. Dan mungkin bisa dikonfirmasikan lagi ke beliau.
+Artinya tidak menutup kemungkinan praktik-praktik seperti itu juga terjadi di Kalbar?
-IDI Wilayah Kalbar tidak mentoleransi praktik seperti itu. Karena dokter dalam menulis resep harus sesuai dengan kepentingan pasien, demi kesembuhan pasien, berdasarkan rekam medis dari si pasien. Tidak hanya obat. Tindakan, saran, tidak boleh ada embel-embel pesan sponsor.
+Apa yang bisa menjadi celah untuk terjadinya praktik semacam itu?
-Untuk profesi dokter, selalu dituntut untuk mengembangkan kemampuan profesionalismenya setiap 5 tahun sekali. Yakni dengan mendapatkan Surat Tanda Profesi (STR) atau untuk dokter spesialis yang harus mengumpulkan 280 Satuan Kredit Partisipasi (SKP). Ini berlaku untuk semua dokter di Indonesia. Nah untuk mendapatkan STR baru harus keluar daerah dan memerlukan biaya. Nah biasanya peluang farmasi menawarkan hal tersebut.
+Beredar isu, perusahaan farmasi tidak hanya memberikan kemudahan bagi dokter yang ingin mendapatkan SKP atau STR. Lebih dari itu, yakni turut memberikan fasilitas, dana atau beasiswa bagi para dokter untuk mengambil kuliah spesialisasi kedokteran?
-Kalbar ini saya belum dengar. Kalau mengikuti seminar mungkin.
+Bagaimana sebenarnya kedudukan hukumnya ketika dokter meminta pasien untuk membeli obat paten atau obat bermerek dari salah satu perusahaan farmasi?
-Secara aturan Permenkes, selain juga mengacu kepada UU Kesehatan disebutkan bahwa dokter diwajibkan memberikan resep obat generik, kalau tidak ada bisa pakai obat yang setara dengan generik. Kalau pun paten, karena kebutuhan pasien, tapi bukan karena pertimbangan sponsor.
+Apa upaya IDI Provinsi Kalbar untuk mencegah praktik tersebut?
-Untuk pembuatan SKP dan STR sekarang sudah bisa, kita permudah sampai ke pusat. Kalau kita lihat yang paling banyak bermasalah itu di daerah-daerah luar dan bukan di Kalbar. Selain itu, kami juga melakukan pengawasan. Dalam setiap seminar-seminar kita sudah menyosialisasikan ini dan dokter kita komitmen. Kita juga biasa mengundang dirjen dari Kementerian Kesehatan dan BPK untuk memberikan pencerahan kepada dokter agar mewaspadai. Dan memang tidak semua bantuan oleh perusahaan farmasi adalah gratifikasi.
+Apa yang harus dilakukan masyarakat, jika fenomena ini kebetulan terjadi pada dokter-dokter di Kalbar?
-Laporkan saja ke kita. Kita punya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Karena di dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) lengkap disebutkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Reporter: Fikri Akbar
Redaktur: Andry Soe