eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Aksi mahasiswa yang memuncak pada Senin (23/9) dan Selasa (24/9) merupakan imbas dari pembahasan sejumlah regulasi bermasalah. Untuk itu, selama gol akhir pembatalan revisi UU KPK dan RKUHP belum tercapai, rakyat diharap terus bersatu mendesak agar pemerintah membuka ruang aspirasi secara luas.
Aktivis yang tergabung dalam berbagai LBH dan organisasi itu akan fokus memberikan bantuan hukum bagi mahasiswa yang ditangkap polisi selama aksi. Juga mempejuangkan pembelaan bagi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang kemungkinan dialami oleh mahasiswa. Namun, mereka mengingatkan agar masyarakat tidak teralihkan ke isu lain dan fokus pada gol perjuangan para mahasiswa sejak awal.
Pengacara publik LBH Jakarta Aghlif menyebutkan, pihaknya tetap mengawal seluruh undang-undang yang dinilai merusak cita-cita reformasi. Terutama UU KPK yang jelas-jelas melemahkan upaya pemberantasan antikorupsi. Selain itu, UU Perumusan Peraturan Perundang-undangan (PPP) dan UU Pesantren yang baru disahkan juga berpotensi menimbulkan masalah demokrasi ke depannya.
“Kita mau ngapain lagi? Jelas aksi. Jangan percaya omongan gugat saja ke MK. Itu bohong,” ungkap Aghlif.
Mahasiswa memang sudah tidak turun kemarin. Mereka kini tengah berupaya mengumpulkan teman-teman yang belum kembali ke kelompoknya masing-masing. Meskipun aksi sempat berlangsung hingga malam, perwakilan mahasiswa membantah bahwa penyebab kerusuhan pada malam hari tersebut merupakan bagian dari mereka.
”Di sini teman-teman mahasiswa benar-benar steril dari oknum-oknum yang merusak dan membakar beberapa fasilitas publik. Oknum tersebut tidak terlibat dalam tuntutan kami,” tegas Presiden BEM UI Manik Margana Mahendra di Kantor LBH Jakarta kemarin. Dia juga berterimakasih kepada warga yang sudah memberikan dukungan berupa bantuan makanan maupun akses evakuasi selama aksi.
Manik menegaskan bahwa aksi mahasiswa kemarin bukan tiba-tiba datang dan memprotes anggota dewan. Karena sebelumnya telah dilakukan diskusi di berbagai lingkungan akademis untuk menyusun kajian permasalahan UU yang sedang dibahas. Hal tersebut diamini juga oleh Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. “Mahasiswa di sini bukan ujug-ujug datang, kami melakukan kajian bersama masyarakat. Mari berdebat secara terbuka,” ungkap Erasmus.
Secara tegas, dia mengecam pemerintah yang terus-terusan menggunakan dalih dekolonisasi untuk merumuskan RKUHP. Karena semangat yang muncul dalam rancangan itu justru lebih mendekati kolonisasi. “Kami butuh KUHP yang kolonial, yang membungkam seluruh aspirasi masyarakat. Berhenti bicara dekolonisasi, berhenti urusi urusan privat warga negara. Jangan urusi moral kami, urusi moral para koruptor,” tegas Erasmus.
Ketua Umum YLBHI Asfinawati menyampaikan tujuh tuntutan yang disampaikan publik dalam Aksi Nasional Reformasi Dikorupsi. Di antaranya menolak sejumlah RUU bermasalah dan mendesak pembatalan UU KPK, membatalkan pimpinan KPK bermasalah, menolak TNI/Polri menempati jabatan sipil, dan menghentikan kriminalisasi aktivis.
Selain itu, mereka menuntut dihentikannya militerisme di Papua, pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera serta menghukum pidana pembakarnya, dan menuntaskan pelanggaran HAM termasuk oleh penguasa. Terkait aksi mahasiswa, Asfinawati juga menuntut agar LBH diberi akses untuk memberi bantuan hukum. ”Ini persoalan kemanusiaan, teman-teman mahasiswa perlu dilindungi haknya,” tegas Asfina.
Di sisi lain, menindaklanjuti respresi yang dialami mahasiswa, sejumlah lembaga bergabung membuka posko pengaduan. Antara lain YLBHI, LBH Jakarta, LBH Pers, ICJR, Kontras, Lokataru, dan PP Muhammadiyah. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menjelaskan, posko ini diperuntukan bagi mereka yang merasa anggota keluarga, teman, atau kenalan masih dirawat atau belum kembali pasca aksi demonstrasi.
Dari data yang dihimpun LBH Jakarta, ada sekitar 50 laporan yang masuk dari massa aksi yang mayoritas mahasiswa sejak Selasa malam hingga Rabu siang. “Ada yang mengatakan temannya belum kembali. Mereka juga khawatir ada sweeping di sekitar tempat aksi,” jelas Arif kemarin.
Tindakan represif aparat korps cokelat dikritisi oleh Amnesty International Indonesia. Mereka mencatat bahwa langkah-langkah yang diambil petugas selama aksi massa 24 September lalu itu menyalahi SOP internal. “Ada banyak keanehan yang kami temukan di lapangan. Langkah represif dan penggunaan kekuatan berlebihan tidak sejalan dengan aturan internal Peraturan Kapolri 8/2019,” jelas Campaign Manager Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri kemarin.
Puri membandingkan tindakan aparat dengan upaya pengamanan kerusuhan 22 Mei lalu. Saat itu, kepolisian membuka ruang dialog dan bahkan berkomunikasi dengan massa di tengah aksi. Langkah tersebut tidak dilakukan dalam aksi mahasiswa Selasa kemarin. Puri menyebutkan bahwa secara internal sudah diatur tentang pengendalian massa.
Tepatnya pada pasal 43, dalam upaya mengatasi kerusuhan massal, anggota kepolisian harus menerapkan urutan tindakan mulai dari penggunaan kekuatan paling lunak atau persuasif, sebelum melakukan tindakan represif. Penindakan kerusuhan dengan alasan apa pun juga harus tetap mengupayakan seminim mungkin timbulnya korban. “Standar yang diterapkan berbeda dengan saat aksi Mei,” lanjut Puri.
Penggunaan water canon dan gas air mata pun menurut Puri menyalahi aturan. Dalam penanganan aksi massa, aparat kepolisian membagi status ke dalam tiga jenis. Status hijau ketika aksi tertib, status kuning ketika harus ada kebutuhan negosiasi dengan massa, dan status merah ketika mulai terjadi kerusuhan. “Tetapi kemarin dari hijau statusnya langsung merah sehingga terjadi water canon dan gas air mata,” paparnya.
Aksi massa yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa Selasa (24/9) menelan banyak korban. Dilaporkan, sebanyak 273 orang di rawat sejumlah rumah sakit di Jakarta pada Selasa malam (25/9).
Gubernur DKI Anies Baswedan menyampaikan, pihaknya telah menginstruksikan jajaran Pemprov DKI untuk membantu menangani kondisi ibu kota saat demonstrasi di Gedung DPR/MPR RI. Dalam penanganan aksi massa itu, Pemprov DKI mengerahkan 40 ambulans dan lebih dari 100 tenaga medis disiagakan di lapangan.
“Tadi malam memang ada 273 orang yang dirawat di Rumah Sakit Umum. Ada 24 Rumah Sakit yang memang sudah disiagakan,” jelasnya di Balai Kota DKI, Gambir, Jakarta Pusat kemarin (25/9).
Para korban tersebut, lanjut dia, sebagian besar diangkut ambulans ke Rs TNI Angkatan Laut Mintohardjo dan Rumah Sakit Pusat Pertamina. (RSPP). Tercatat, 11 orang yang masih dirawat di RS Mintohardjo, tiga di RSPP, dan lainnya tersebar ke beberapa rumah sakit lainnya. seperti, Rumah Sakit Pelni, Rumah Sakit Pasar Minggu, di Rumah Sakit Bhakti Mulia, Rumah Sakit Pasar Rebo, RSUD Kebayoran Baru, dan Rs Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Masing-masing satu,” jelas Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut.
Menurut dia, kebanyakan pasien yang dirawat mengalami sesak napas dan kelelahan. Seperti pasien yang dirawat di RSUD Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Menurut dia, dari hasil pemeriksaan darah hasilnya kurang gula karena kelelahan. Karena tak memerlukan penanganan khusus, mereka pun bisa langsung pulang.
“Mayoritas sudah bisa pulang,” tuturnya. Hingga Rabu (25/9), pukul 10.00 WIB, tersisa 19 orang yang masih berada dalam perawatan di beberapa Rumah Sakit.
Termasuk, tiga orang pasien yang harus dioperasi karena pendarahan selaput darah, pendarahan otak, dan trauma tulang belakang. Dia menegaskan, pihaknya akan memfasilitasi pembiayaan untuk pengobatan para korban.
Mantan Rektor Universitas Paramadina itu menuturkan, korban paling banyak dalam aksi massa tersebut berstatus mahasiswa. “Tapi harus dicek lagi satu-satu. Kalau yang saya temui tadi malam, mayoritas korban yang dirawat di RS adalah mahasiswa,” ucapnya.
Kepala Seksi Pengendalian, Evaluasi Dan Pembiayaan Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Ria Virgiandari menambahkan, pemprov memang memiliki anggaran khusus untuk penanganan tersebut. ”Karena memang BPJS kesehatan kan gak mau jamin itu ya,” ujarnya.
Dalam proses pembiayaannya nanti, Dinkes menerima sistem klaim dari pihak Rs yang menangani para korban demo. Setelah proses validasi, biasanya akan turun surat keputusan gubernur (kepgeb) DKI Jakarta untuk mencairkan dana tersebut. ”Hingga saat ini sih belum ada klaim masuk. Memang nggak bisa cepat ya. Mereka harus list dulu tindakan apa yang dilakukan untuk pasien,” ungkapnya. Yang jelas, imbuh dia, RS harus memastikan pasien sembuh terlebih dahulu sebelum akhirnya mengajukan klaim.
Sementara itu, Naufal Siregar, mahasiswa Universitas Pertamina, kemarin siang pukul 11.30 meninggalkan instalasi gawat darurat (IGD) RS Pusat Pertamina. Dua perban menempel di pipis. Satu di pelipis kanan dan satu lagi di pipi kanan dekat mulut. Menurut ceritanya, perban di pipi kanan itu untuk menutup luka bolong akibat peluru. ”Kalau yang ini kata dokter karena pukulan,” ucapnya sambil mengusap pelipis kanan.
Naufal sebenarnya tak tahu pasti kenapa pelipisnya lebam. Sebab setelah pipinya tertembak, dia langsung tak sadarkan diri. Dia bangun sudah di IGD.
Kejadian malam nahas dimulai saat mahasiswa teknik itu terpisah dari rombongannya. Sebenarnya dia bersama teman-teman lain ingin pulang. Sayangnya kondisi ricuh. Alih-alih menyelamatkan diri, Naufal malah tertembak dan akhirnya dilarikan ke RSPP.
Dia tak sendiri. Senin lalu (24/9) ada 89 mahasiswa lain yang dibawa ke RSPP. Sebagian besar yang dibawa ke rumah sakit yang berada di Jakarta Selatan itu karena terkena gas air mata. Akibatnya banyak yang sesak napas dan sakit di bagian mata. ”74 kondisi kategorinya triase emergency hijau cukup stabil kesadaran penuh observasi beberapa saat dan itu bisa dipulangkan,” kata Direktur RSPP Kurniawan Iskandarsyah. 14 orang lainnyanya katagori kuning dan membutuhkan observasi.
Ada tiga orang yang mendapat perhatian khusus. Sebab luka yang dialami serius. Pertama karena pukulan benda tumpul yang menyebabkan retak tengkorak atas sisi kanan. ”Menyebabkan pendarahan sub aranoid hemoragic (salah satu pembuluh di otak, Red),” ungkapnya. Satu pasien lainnya juga mengalami luka di kepala. Lainnya, luka di bagian tulang belakang. ”Apabila ada kondisi tertentu mungkin akan dilanjutkan dengan operasi,” imbuhnya.
Seluruh korban yang masih dirawat berjenis kelamin laki-laki. Dua orang berusia 19 tahun. Satu lagi usia 20 tahun. ”Salah satu Universitas Pamulang,” tuturnya.
Dia menyatakan bahwa perawatan gratis. Sebab Dinas Kesehatan DKI Jakarta menjamin sepenuhnya. (Jawa Pos/JPG)