Kenaikan Iuran Kelas III Terancam Mundur, Kelas I dan II Pasti

BPJS Kesehatan Pontianak Menunggu Juknis

Gerry Adhikusuma

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Bukalah media sosial, serapah netizen luar biasa soal rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk Kesehatan di Pontianak pun menunggu petunjuk teknis (Juknis) usulan kenaikan iuran tersebut.

Disebutkan Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pontianak, Gerry Adhikusuma, usulan kenaikan dari Pemerintah Pusat cq Kementerian Keuangan, itu untuk iuran kelas III dari Rp25.500 naik menjadi Rp42.000. Kelas II dari Rp51.000 naik menjadi Rp110.000. Lalu kelas I dari Rp80.000 naik menjadi Rp160.000. Sementara untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), besaran iurannya naik menjadi Rp42.000 dari sebelumnya Rp23.000.

“Namun sampai sejauh ini kami masih menunggu produk hukum dari pemerintah pusat terkait dengan usulan kenaikan iuran BPJS,” tutur Gerry di Kantor BPJS Kesehatan Jalan Sutan Syahrir Abdurrahman, kemarin

Ia bilang pihaknya terus koordinasi dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, perihal usulan kenaikan. Koordinasi itu dilakukan berkaitan dengan Penerima Bantuan Iuran yang pembayaran premi asuransi plat merah itu menggunakan APBD di kabupaten/kota maupun provinsi.

“Untuk itu BPJS Kesehatan juga telah melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota dan provinsi untuk membahas dengan potensi kenaikan iuran PBI dari APBD, dari besaran iuran Rp23.000 menjadi Rp42.000. Apakah itu dibantu pemerintah pusat atau seperti apa, kami masih menunggu petunjuk teknis yang nantinya akan dilakukan seperti apa,” jelasnya.

Seiring rencana kenaikan iuran itu, kata Gerry, pihaknya pun juga gencar sosialisasi ke masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk, menghindari adanya dampak dari kenaikan tersebut.

“Seperti hanya dampak dari sisi tunggakan iuran, terlebih diketahui kepesertaan BPJS tidak hanya dari pemerintah, badan usaha, TNI/Polri, atau menerima yang terdaftar dalam PBI, tapi juga Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri,” paparnya.

Imbuh Gerry, ”Peserta bukan penerima upah inilah yang nantinya akan membayar secara mandiri iuran BPJS Kesehatan, apalagi tujuan kenaikan iuran itu guna menutup defisit yang dialami BPJS Kesehatan secara nasional”.

Sedangkan untuk potensi risikonya, dijelaskan dia, bisa saja terjadi sebagai dampak kenaikan iuran. Seperti meningkatnya tunggakan iuran. Potensi risiko lainnya pergeseran kepesertaan dari setiap kelas di BPJS Kesehatan.

“Kenaikan iuran yang mencapai 100 persen ditengarai dapat mendorong perubahan yang sebelumya peserta kelas I berpindah ke kelas II. Begitu juga dengan kelas II berpindah ke kelas III,” ungkap Gerry.

Ia menegaskan bahwa pergeseran kelas sebagai dampak dari kenaikan iuran itu tidak mengubah pelayanan medis ke masyarakat. Perbedaan itu hanya pada akomodasi rawat inap yang dibutuhkan peserta JKN.

“Untuk FKTP tidak berubah. Pengobatan dan indikasi medis tetap sama. Beda hanya akomodasi rawat inap saja. Baik itu kelas I, II maupun III, sementara efek dari pergeseran kelas itu hak masyarakat, kami tak bisa berkeberatan. Tetapi kami akan terus mensosialisasikan segala keputusan dari pemerintah. Kami memiliki kader JKN yang bisa memaksimalkan sosialisasi termasuk menekan tunggakan iuran,” paparnya.

Lalu bagaimana dengan jaminan pelayanan kesehatan? Gerry memastikan tidak ada perubahan. Rapat bulanan yang digelar BPJS bersama rumah sakit tetap menekankan untuk mengutamakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat peserta JKN.

“Sebetulnya pada intinya pelayanan kesehatan harus tetap berjalan, walaupun di tengah permasalahan terjadi, seperti adanya keterlambatan pembayaran klaim,” tutup Gerry.

TINGGAL TUNGGU PERPRES

Sementara itu, rencana pemerintah menaikkan tarif iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas I, II, dan III Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara serentak terganjal restu DPR. Dewan menolak kenaikan tarif untuk perserta kelas III. Validasi data jadi alasan utama.

Penolakan itu disampaikan dalam kesimpulan Rapat Kerja Gabungan Komisi IX dan XI tentang defisit keuangan BPJS Kesehatan di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (2/9). Ada sembilan poin yang disepakati. Salah satunya, di poin kedua, tentang penolakan kenaikan iuran untuk PBPU kelas III saat ini.

Wakil Ketua Komisi XI Soepriyatno mengatakan, kenaikan tarif pada PBPU kelas III bisa menjadi persoalan tersendiri. Sebab, cleaning data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai data terpadu penentu penerima bantuan iuran (PBI) masih belum dirampungkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Padahal, masih ada sekitar 10 juta data yang harus diclearkan.

Data tersebut merujuk pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) tentang data kepesertaan yang bermasalah. Ada sekitar 27 juta data yang dinilai tidak tepat. Dari jumlah tersebut, tersisa 10 juta data kepesertaan yang sedang dikebut cleansingnya oleh Kemensos.

“Kita takut nanti ada yang harusnya terima PBI malah tidak menerima. Karena tidak semua PBPU itu mampu,” ujarnya dalam rapat.

Oleh sebab itu, dewan sepakat untuk menunda kenaikan tarif iuran peserta mandiri kelas III tersebut. Rencana kenaikan bakal dibahas kembali setelah pemerintah sudah menyelesaikan sinkronisasi data PBI.

Pihak pemerintah yang diwakili oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Merdiasmo sempat keberatan. Sebab, kenaikan iuran dinilai menjadi salah satu cara mengatasi defisit keuangan BPJS kesehatan yang terus membengkak.

Dia mengatakan, kekhawatiran tersebut sejatinya sudah masuk dalam concern pemerintah. Ada skenario untuk memasukkan PBPU kelas III yang tidak mampu untuk dimasukkan dalam PBI pusat atau daerah.

”PBPU ini ada dua kelas. Jelata dan jelita. Kalau jelita biarkan bayar. Jelata ini yang akan dirangkul dalam PBI setelah data kita kembangkan,” jelasnya.

Sayangnya, DPR tidak ingin berjudi dengan hal itu. Dewan kekeuh ingin cleaning data dirampungkan sebelum iuran tarif PBPU kelas III dinaikkan.

Setelah perdebatan cukup alot, pemerintah dan DPR akhirnya satu suara. Kenaikan iuran dilakukan setelah cleansing data PBI diselesaikan oleh Kemensos. Artinya, PBPU kelas akan tetap membayar iuran sebesar Rp 25.500 per bulan per jiwa sampai rapat selanjutnya.

Ditemui dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kemensos Andi ZA Dulung menegaskan, bahwa pihaknya terus berlomba dengan waktu untuk merampungkan cleaning data tersebut. ”Awal tahun masih 27 juta, dua bulan ini sudah 10 juta. Terus kita kebut,” tegasnya.

Andi mengatakan, ada hal yang perlu dicermati terkait sinkronisasi data ini. Basis data terpadu yang dilakukan di 2011 dan diulang pada 2015, tidak melihat siapa yang menerima bantuan jenis A atau B. Hanya berpatok pada 40 persen masyarakat di garis bawah yang diambil datanya. Sementara, Kemensos hanya mengambil sekitar 15 persen terbawah untuk penerima bantuan sosial yang dikucurkan.

”Perlu diketahui, data ini asal usulnya nggak sama. Ketika sekarang disatukan dan disinkronisasi pasti butuh waktu ya. Karena tidak mudah,” ungkapnya.

Kendati begitu, ia optimis cleaning data bisa dirampungkan secepatnya. Sehingga, bisa sejalan dengan rencana penaikan iuran PBPU tahun depan.

Di sisi lain, Mardiasmo menegaskan bahwa kenaikan tarif untuk kepesertaan lain tetap berjalan. Iuran untuk PBI pusat maupun daerah akan naik dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu. ”PBI memang diterapkan mulai 1 Agustus 2019. Tapi uangnya dicairkan kalau Perpres revisi tentang JKN sudah diterbitkan,” katanya. Menurutnya, draft Perpres sudah diajukan pada presiden. Tinggal tunggu ditandatangani.

Sedangkan, iuran peserta PBPU kelas I dan II akan resmi berlaku pada 1 Januari 2020. Angka kenaikan mengacu pada skema yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat dengan DPR sebelumnya. ”Kelas I dan II jadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu,” ungkapnya. Jangka waktu ini akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mensosialisasikannya pada masyarakat.

 

Laporan: Nova Sari, Jawa Pos/JPG

Editor: Mohamad iQbaL