eQuator.co.id – Stigma negatif yang menimpa dan melekat pada Kampong Beting sudah amat memprihatinkan dan menyedihkan. Kampung di tengah Kota Pontianak yang termarginalkan, itu salah siapa?
“Terus terang, saya pernah melamar kerja ke beberapa perusahaan dengan ijazah SMA tahun 2009. Waktu diwawancara dan ditanya KTP saya tinggal di Kampong Beting, ditolak,” ungkap Agol, bukan nama sebenarnya, dengan logat Melayu yang kental kepada Rakyat Kalbar, sore Ahad (22/11).
Agol, 25, turut menyaksikan dan mengaku pedih melihat aparat kepolisian untuk kesekian kalinya menggerebek kampung kelahirannya itu untuk melacak Narkoba dan barang illegal, Sabtu (21/11) sore. Warga dengan pandangan tajam mengamati bagaimana aparat Kamtibmas menyapu rumah demi rumah yang jadi target operasi hasil kejahatan. Hasilnya, dua rumah disatroni dan menyita paket sabu-sabu dan satunya lagi diduga barang curian.
Ada sorot mata kebencian terhadap orang berseragam kepolisian, bersenjata lengkap pula. Ada yang jenuh dan menatap curiga melihat aparat masuk ke sana seakan kampung mereka sarang penjahat. Orang tua sampai anak-anak melihat senjata yang disandan polisi seolah mereka yang tinggal disana semua bersalah.
Minggu (21/11) Rakyat Kalbar kembali menyusuri Kampung Beting. Masih ada senyum yang terpancar dari bibir sejumlah warga dan masih ada semangat ketulusan para anak bangsa di sana. Langkah-langkah kecil anak-anak bermain di depan rumah yang kumuh, dan tertawa yang polos berderai. Tapi mengapa stigma saat ini membuat suasana di sana seperti mencekam.
“Kami salah apa? Tempat tinggal kami salah apa. Kami tinggal di sini dianggap jelek oleh orang-orang di luar sana. Tidak semua warga Beting seperti itu, kami mau kerja keras dan jujur demi Allah,” tutur Agol.
Ketika ada peristiwa kejahatan yang dilakukan segelintir orang saja di Beting, orang luar sana sudah terlancur menempelkan cap buruk terhadap warganya. “Ini sangat saya rasakan. Membawa ijazah ke sejumlah perusahaan, melihat KTP dan alamat saya adalah Kampung Beting, ditolak dengan berbagai alasan,” tambahnya.
Namun Agol tidak menyerah untuk mendapatkan pekerjaan walaupun harus menganggur beberapa tahun. “Sangat sulit apa yang kami terima. Kalau tidak punya tekad yang kuat, jatuhnya bekerja sebagai buruh lepas atau tukang pikul. Itu yang terjadi dengan sejumlah orang seumuran saya. Bagaimana dengan anak-anak kecil yang ada di sini kedepannya nanti?” tanyanya dengan sorot mata kosong.
Agol bersumpah, tak semua orang Beting itu pencuri, pengedar dan pemakai Narkoba. Masih banyak surau dan masjid serta ulama yang menjaga hati dan rohani warga Beting yang bekerja untuk keluarganya secara jujur dan kerja keras.
“Kesan ini sangat menyakitkan dan harus diubah. Karena bukan lingkungan atau kampung yang salah. Semua pihak wajib bertanggung jawab atas semua yang terjadi di sana,” ujar Agol sedih.
Dia berharap pemerintah punya kepedulian untuk tidak menambah masalah di Beting. Perlu adanya perhatian khusus mengapa kampungnya menjadi sorotan.
“Datangi kami, berikan kami senyuman. Ubah kesan buruk yang ada di kampung ini. Buatkan sebuah marwah. Bebaskan kami dari opini negatif yang ada di luar sana,” Agol bermohon.
Pemerintah Harus Peduli
Sementara itu, H. Dedi, anggota Komisi D DPRD Kota Pontianak Dapil Kecamatan Pontianak Utara, mengakui stigma negatif Kampong Beting tidak terlepas dari kondisi kemiskinan di kampung yang dihuni ratusan kepala keluarga itu. Kehidupan sosial yang memperihatinkan, infrastruktur yang menyedihkan, lingkungan terabaikan, ekonomi termarginalkan dan pendidikan terkebelakang dibandingkan kecamatan lainnya.
“Saya meyakini seluruh warga yang ada di sana tidak menginginkan situasi dan kondisi yang sering terjadi. Dan saya rasa, sejumlah warga di sana itu merupakan korban dari jebakan modus-modus yang dilakukan para Bandar. Mereka lebih punya perhatian kepada warga miskin ketimbang Pemerintah kita sendiri,” ungkap legislator PAN itu.
Untuk itu harus ada perubahan dari keterpurukan agar stigma tidak selalu melekat kepada seluruh warga. “Semua pihak bertanggung jawab atas ini. Dan tidak semua yang ada di sana bersalah. Selaku warga dan selaku masyarakat, mereka tidak menginginkannya dan ini harus disadari oleh semua pihak,” ujar Dedi.
Ia berharap juga Pemerintah melakukan upaya perbaikan infrastruktur ekonomi dan pendidikan masyarakat di sana. “Ini harus dilakukan secepatnya, selamatkan Beting dari stigma negatif yang ada saat ini,” pintanya.
Dedi juga meminta kepada Wali Kota Sutarmidji turun langsung melakukan pendekatan kepada masyarakat Beting dan tak sekadar statemen di media. “Masyarakat di sana membutuhkan perhatian pemerintah. Realisasikan apa yang menjadi keinginan mereka, yaitu tiga hal tadi. Perbaikan ekonomi, perbaikan infrastuktur dan perbaikan pendidikan,” tegasnya.
Dedi setuju dengan Kapolda Kalbar Brigjen Pol Arief Sulystianto, butuh sinergitas, kekompakan dalam satu visi dan misi untuk mengubah Beting kearah yang lebih baik.
“Gandeng semua pihak, baik itu pihak Kesultanan Kadriah, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah, kepolisian, TNI dan masyarakat di sana untuk mencari solusi secara menyeluruh agar Beting tidak lagi disebut-sebut sarang Narkoba, sarangnya kejahatan,” katanya.
Laporan: Achmad Mundzirin
Editor: Hamka Saptono