Gerindra Waspada, PKB Mendukung

Rekomendasi PDIP untuk Amandemen Terbatas UUD 1945

Fadli Zon

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Rekomendasi PDIP yang menginginkan amandemen terbatas UUD 1945 tidak serta-merta langsung disepakati semua parpol. Salah satunya Gerindra.

Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menyampaikan wacana itu harus dikaji secara matang. ’’Jangan untuk kepentingan sesaat yang bersifat politis pragmatis,” kata Fadli Zon, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Disampaikannya, rekomendasi PDIP itu bukan usulan baru. Namun wacana lama yang sudah berlangsung sejak periode 2004-2009.

Kata Fadli, bukan berarti tidak setuju dengan usulan PDIP tersebut. Namun yang harus dipikirkan  adalah substansi dan prosedur amandemen.

’’Di masa lalu kita hampir memiliki naskah UUD yang baru. Yang kita khawatirkan adalah perubahan konstitusi,” imbuhnya.

Dalam sejarahnya, UUD 1945 sudah mengalami empat kali amandemen. Yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan tahun 2002. Perubahan tersebut disahkan dalam sidang tahunan MPR.

Amandemen pertama, dititikberatkan pada pergeseran kekuasaan presiden yang dinilai terlalu kuat. Amandemen kedua menyangkut perubahan pemerintahan daerah serta kewenangan DPR. Amandemen ketiga membahas kewenangan MPR, kepresidenan, kekuasaan kehakiman, keuangan negara serta prosedur impeachment atas presiden. Adapun amandemen keempat menyangkut mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Amandemen keempat juga dibahas DPD bagian dari MPR serta mekanisme pengantian presiden. ’’Lalu apa yang ingin diamandemen berikutnya nanti,” ujar Fadli Zon.

Dia menilai, amandemen UUD 1945 saat ini belum memiliki basis urgensi yang mendesak. Jika memang harus dilakukan, usulan itu harus dikaji dengan cermat. Poin apa saja dan dampak negatifnya bagi kehidupan bernegara.

Jangan sampai amandemen mengubah dasar-dasar konstitusi yang ujung-ujungnya merugikan bangsa dan negara. ’’Prinsipnya usulan ini masih bisa didiskusikan. Tanpa harus mengubah konstitusi,” kata wakil ketua DPR itu.

Dukungan datang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang didirikan para ulama NU itu berkomitmen melaksanakan perubahan terbatas jika sang ketua umum Muhaimin Iskandar terpilih sebagai ketua MPR RI.

Wasekjen DPP PKB Daniel Johan mengatakan, amandemen UUD juga menjadi wacana yang digaungkan PKB. “Sudah sejak lima tahun lalu,” terang dia kepada Jawa Pos kemarin (12/8).

Namun, rencana perubahan terbatas itu tak kunjung terealisasi hingga sekarang. Tentu pada periode mendatang rencana itu harus kembali digalakkan.

Jika nanti Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin Iskandar menjadi ketua MPR, partainya berjanji akan mewujudkan rencana lama itu, yaitu amandemen terbatas terhadap UUD. Baik terkait mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Daniel mengatakan, GBHN sangat penting bagi Indonesia. Yaitu, untuk memastikan keberlangsungan pembangunan.

“Artinya, siapa pun presidennya sudah mempunyai garis besar untuk membangun bangsa,” ungkap anggota DPR RI itu.

Sementara itu, Firman Subagyo, wakil ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI mengatakan, partainya masih terus melihat perkembangan soal wacana amandemen UUD. “Nanti akan kami lihat setelah pelantikan pimpinan MPR yang baru,” terang dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Partai Golkar juga akan melihat respons dari partai politik (Parpol) di parlemen. Apakah mereka sepakat dengan amandemen. Jika partai di Senayan setuju dengan rencana perubahan UUD, maka hal itu akan sangat memudahkan amandemen. Jadi, sikap partai beringin bergantung dengan respons dari parpol lain.

Ketua Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa Tengah dan DIY DPP Partai Golkar itu mengatakan, pada prinsipnya, jika amandemen UUD itu membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara, maka tidak ada salahnya perubahan terhadap UUD dilakukan Tentu, kata dia, revisi itu harus mengikuti mekanisme yang diatur di MPR.

Firman mengatakan, di internal Partai Golkar belum ada pembahasan soal amandemen UUD, khususnya soal GBHN. Pembahasan bisa saja dilakukan jika nanti setelah pelantikan pimpinan MPR, wacana amandemen digulirkan kembali.

Sebenarnya, ucap anggota Komisi II DPR RI itu, rencana amandemen UUD sudah lama diwacanakan. Namun, karena tidak ada kesepakatan dari semua fraksi, akhirnya rencana itu pun kandas. Sekarang rencana amandemen itu mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat. Menurutnya, partisipasi masyarakat sangat penting.

“Sekarang eranya keterbukaan,” tutur dia.

Soal penyusunan kembali GBHN, Firman mengatakan, hal itu bergantung dengan kebutuhan politik. Apakah selama ini pembangunan melenceng dari kesepakatan awal. Kalau ada kesalahan, maka semua pihak berkewajiban untuk meluruskan, termasuk Partai Golkar.

Dia menegaskan, sebelum dilakukan amandemen, harus ada komitmen bersama dari 9 parpol yang lolos ke parlemen, apa saja yang akan direvisi. “Agar tidak melebar kemana-mana,” ungkapnya. Pembahasan yang dilakukan harus sesuai dengan komitmen bersama.

Sebelumnya diberitakan, PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 menginginkan amandemen terbatas UUD 1945. Dengan begitu, MPR dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan bernegara.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan amandemen untuk menetapkan haluan negara. Haluan tersebut harus diikuti oleh seluruh lembaga negara. Termasuk presiden dan lembaga negara lainnya. Saat ini, lanjut dia, dalam menjalankan agenda pemerintahan presiden cendrung tidak digerakkan oleh visi-misi. Lebih pada agenda jangka pendek selama lima tahun. Konsekuensinya, jika presiden-wakil presiden berganti, maka arah pembangunan dan kebijakan juga berganti.

Meski MPR jadi lembaga tertinggi negara, lanjut Hasto, bukan berarti presiden dipilih oleh MPR. PDIP setuju bahwa presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga basis legitimasinya menjadi lebih kuat.

’’Presiden bukan mandataris MPR. Agar legitimasi kuat, presiden tetap dipilih secara langsung,” jelas Hasto. (Jawa Pos/JPG)