Nilai Tukar Petani Rendah Penduduk Miskin Bertambah

Ilustrasi.NET

eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat per Maret 2019 mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan September 2018. Rendahnya nilai tukar petani (NTP) dinilai menjadi penyebab naiknya jumlah penduduk miskin di provinsi ini.

“Tercatat angka kemiskinan di Kalbar pada bulan Maret 2019 menurut data BPS Kalbar meningkat 0,12 persen. Satu-satunya provinsi di Kalimantan yang mengalami peningkatan angka kemiskinan adalah Kalimantan Barat,” ungkap Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Eddy Suratman, kemarin.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar, yang dirilis Agustus 2019, pada bulan Maret 2019, jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di Kalimantan Barat mencapai 378,41 ribu orang atau 7,49 persen dari total penduduk. Angka ini bertambah sebesar 8,7 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2018 yang sebesar 369,73 ribu orang dengan persentase 7,37 persen.

Adanya kenaikan angka kemiskinan, menurut Eddy, agaknya cukup mengherankan. Pasalnya, jelas dia, karakteristik ekonomi Kalimantan Barat dengan provinsi lainnya di Kalimantan tidak jauh berbeda. BPS Kalbar mencatat persentase penduduk miskin di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, masing-masing sebesar 4,98 persen, 4,55 persen, 5,94 persen, dan 6,63 persen.

“Kita dengan Kalteng, Kalsel (kondisi ekonominya) sama saja, dengan Kaltara rasanya lebih baik, sementara dengan Kaltim memang kita akui lebih baik Kaltim,” ucapnya.

Eddy menilai, faktor yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat dibandingkan dengan provinsi lainnya di Kalimantan, adalah lantaran NTP Kalbar yang relatif masih rendah, bahkan terendah di Kalimantan. Terutama NTP di sub sektor tanaman perkebunan rakyat, dan tanaman padi dan palawija. Dengan begitu, dia menyimpulkan, peningkatan kemiskinan di provinsi ini ada di sektor pertanian.

“Peningkatan kemiskinan itu, 100 persen hampir pasti ada di sektor pertanian,” lugasnya.

Untuk mengukur kemiskinan sendiri, Kepala BPS Kalbar, Pitono menjelaskan dapat menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

“Dengan pendekatan ini tentunya dapat dihitung headcount index yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk,” pungkasnya.

Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan pada akhir April lalu menyebutkan, dilihat dari posisi relatif tingkat kemiskinan kabupaten/kota se-Kalbar pada tahun 2018, yang menduduki angka kemiskinan tertinggi adalah Kabupaten Melawi yakni sebesar 12,83 persen dan yang terendah adalah Kabupaten Sanggau yakni pada angka 4,67 persen.

“Bila diperhatikan perkembangan angka kemiskinan 2018 dari masing-masing kabupaten/kota se-Kalbar, akan terlihat bahwa masih ada lima kabupaten yang berada di atas rata-rata nasional sebesar 9,66 persen, yaitu Melawi, Landak, Ketapang, Sintang dan Kayong Utara,” Katanya.

Sejak tahun 2018 pertumbuhan ekonomi di Kalbar berada pada angka 5,06 persen, sedangkan angka kemiskinan pada bulan September 2018 angka kemiskinan 7,37 persen, atau dibawah angka kemiskinan nasional yakni pada 9,66 persen. Jumlah penduduk miskin di Kalbar sebanyak 369.730 ribu jiwa, dimana hal ini selalu menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Kalbar selalu berada di bawah nasional.

Dalam RPJMD tahun 2019-2023 Kalbar menargetkan pengurangan persentase penduduk miskin hingga 6.92 persen pada 2019, dari starting point di tahun 2018 sebesar 7,37 persen. “Kami harapkan Pemprov Kalbar dapat menurunkan angka kemiskinan hingga 5 persen pada tahun 2023,” harapnya.

Dia menyampaikan apresiasi kepada kabupaten/kota se-Kalbar yang sejak tahun 2017 hingga tahun 2018, yang telah dapat menurunkan prosentase maupun jumlah penduduk miskin di daerahnya.

Terdapat 8 isu strategis daerah yang menjadi tantangan yang harus dihadapi, yakni masih rendahnya kualitas dan daya saing SDM, kualitas regulasi, birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang relatif rendah, menurunnya daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup, minimnya ketersediaan sarana dan prasarana transportasi serta akses infrastruktur dasar.

Selain itu, masih rendahnya kesejahteraan penduduk, terjadinya kesenjangan ekonomi di masyarakat, belum adanya keterpaduan rencana sektor dengan rencana tata ruang, serta keberagaman penduduk Kalbar yang rentan akan konflik sosial, juga menjadi salah satu penyebab hal tersebut.

 

Laporan: Nova Sari

Editor: Andriadi Perdana Putra