Kementerian PUPR Dongkrak Realisasi Program Sejuta Rumah

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Pemerintah menargetkan Program Sejuta Rumah pada periode 2015-2019 sebanyak 5 juta unit. Sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 April 2015, secara bertahap capaian Program Sejuta Rumah terus meningkat dari 904.758 unit di tahun 2015 menjadi 1.132.621 juta unit pada tahun 2018.

Secara keseluruhan selama periode 2015-2018 telah terbangun 3.542.318 unit rumah dengan komposisi 70 persen rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 30 persen rumah non MBR. Pada 2019, Kementerian PUPR menargetkan capaian Program Sejuta Rumah lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya, yakni sebanyak 1,25 juta rumah.

“Capaian program Sejuta Rumah status per 5 Agustus 2019 mencapai angka 735.547 unit. Jadi kita punya target tahun 2019 untuk mendongkrak kekurangan dari total akumulatif menjadi 5 juta unit. Kita bisa capai kurang lebih 4,79 juta atau 94 persen dari total target. Jadi kurangnya tidak terlalu banyak. Sektor perumahan juga cukup tinggi sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Hamid, Kamis (8/8).

Menurut Khalawi, dari berbagai penilaian, Program Sejuta Rumah masih relevan untuk dilanjutkan pada periode 2020-2024. Selain itu juga masih tingginya angka backlog perumahan sekitar 7,6 juta unit ditambah kebutuhan rumah baru per tahunnya mencapai 500-700 ribu unit. Tingginya kebutuhan rumah yang harus dipenuhi memerlukan kerjasama seluruh stakeholder, terobosan, dan inovasi guna memperkuat program tersebut.

“Jadi masalah perumahan ini sangat komplek. Oleh karena itu dengan Program Sejuta Rumah bertujuan menggerakkan seluruh stakeholder di bidang perumahan baik Pemerintah Pusat, swasta, dan masyarakat bersama-sama untuk membangun rumah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan tingginya kebutuhan rumah tersebut, kedepan perlu ada penguatan dan inovasi Program Sejuta Rumah,” bebernya.

Khalawi mengatakan, tantangan ke depan antara lain adalah ketersediaan lahan di kawasan strategis yang dapat dibangun rumah terjangkau bagi MBR. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah pembangunan rusun dekat dengan stasiun kereta atau Transit Oriented Development (TOD) dan rusun dengan kombinasi pasar seperi Rusun Pasar Rumput setinggi 25 lantai berjumlah tiga tower.

“Sebagai contoh rusun TOD Rawa Buntu dari 6 tower dibangun, 4 tower komersial dan 2 tower untuk MBR. Sementara model Rusun Pasar Rumput, adalah terobosan dimana sebelumnya tanah digunakan hanya untuk pasar, sekarang pasar dengan hunian. Mereka yang berjualan tidak perlu pulang jauh, bisa tinggal di rusun,” jelas Khalawi.

Pembentukan bank lahan bisa menjadi opsi agar Pemerintah memiliki lahan untuk pembangunan rumah terjangkau. Dari segi regulasi perlu terus didorong untuk mempercepat dan menyederhanakan proses perizinan. Inovasi dalam pembiayaan perumahan diperlukan seperti skema Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Perumahan (BP2BT) dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) perumahan yang dikembangkan Kementerian PUPR.

“Kementerian PUPR juga terus memperluas jangkauan MBR melalui penyediaan rumah berbasis komunitas, Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri,” tukasnya.

Selain itu langkah penguatan Program Sejuta Rumah ke depan adalah penetapan zona permukiman MBR yang sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), perluasan fasilitas pembiayaan dan penghapusan PPN dan penetapan batasan harga jual rumah subsidi dan revisi Kepmen Kimpraswil 403/KPTS/M/2002 yang berkaitan dengan upaya Kementerian PUPR dalam menjaga kualitas rumah MBR.

Sebelumnya, kenaikan harga rumah bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sejauh ini dinilai belum menjadi persoalan bagi para pengembang properti. Bahkan ini disambut baik oleh sejumlah pengembang.

Namun, hal yang menjadi perhatian yakni tingkat penghasilan masyarakat yang sedianya juga diharapkan tumbuh. Sehingga dapat meningkatkan daya beli.

“Sejauh ini untuk perkembangan rumah MBR sendiri, sampai sekarang masih bagus. Bahkan meski ada kenaikan harga, ini juga menggairahkan kami sebagai pengembang,” ujar Sekretaris Real Estate Indonesia (REI) Kalbar, Mansur.

Mansur menyebutkan, justru yang menjadi dilema bagi para pengembang terutama di bawah payung REI adalah peraturan ini tak sejalan dengan kemampuan daya beli masyarakat untuk memiliki hunian.

Terlebih saat ini, ada perubahan batas maksimum penghasilan penerima bantuan subsidi KPR FLPP yang tadinya Rp4 juta ini dibuka lagi menjadi Rp7 juta.

“Kita berharap penghasilan atau gaji juga lebih meningkat sehingga dengan kenaikan ini bisa masuk. Sebab kalau tidak sama tentu akan berat, di satu sisi kita bangga harga naik, di lain sisi kemampuan masyarakat apakah bisa masuk dengan target tersebut,” terangnya.

Kata Mansur, Rp7 juta tersebut merupakan batas maksimum. Sehingga angka ini dinilai cukup tinggi khususnya di Kalbar. Berbeda halnya untuk daerah seperti Jakarta atau atau Papua, dimana angka ini dinilai tidak begitu tinggi.

“Artinya kita tidak berada di batas maksimum itu, tapi umum,” ucapnya. (ova/Jawa Pos)