Perangi Sampah via Teknologi Digital

Plastic Reborn 2.0, Gabungan Aplikasi MallSampah, Clean Up, dan Gringgo

LAUNCHING. Peluncuran Plastic Reborn 2.0 di Jakarta, Rabu (17/7). FEDRIK TARIGAN-JAWA POS

Tiga pemuda ini membuat inovasi pengelolaan sampah dengan cara menarik. Mulai bikin e-commerce sampai menciptakan aplikasi data. Di tangan mereka, pepatah ’’sampah seseorang adalah harta karun bagi orang lain’’ berlaku secara nyata.

Debora Danisa Sitanggang, Jakarta

eQuator.co.idDalam keseharian, Adi Saifullah Putra sama seperti mahasiswa biasanya. Bangun pagi di kosnya di daerah Panakukkang, Makassar. Dekat kampusnya, Universitas Muslim Indonesia. Yang agak berbeda mungkin aroma yang kerap menyapa hidung Adi. Bau sampah.

Depan rumah kos Adi digunakan orang-orang untuk mengumpulkan sampah. Kadang sampah dibiarkan sampai berhari-hari. Tidak ada petugas yang mengambil. Aktivis kampus itu awalnya cuek. ’’Tapi, saya pikir saya ini aktivis, kok masalah sampah di kosan sendiri nggak bisa saya selesaikan,’’ tutur Adi yang ditemui di Jakarta.

Itulah awal mula pria 24 tahun tersebut mengembangkan start-up MallSampah. Adi mengkreasi website dan aplikasi yang memfasilitasi urusan mengambil dan memanfaatkan sampah. Mirip sistem e-commerce. Dikembangkan sejak 2015, waktu itu Adi memang terinspirasi menjamurnya lapak berjualan online di Indonesia. ’’Saya pikir kenapa tidak diterapkan juga di persampahan,’’ ujarnya.

Lewat MallSampah, Adi menjembatani pengepul dan pemulung dengan orang yang hendak menjual sampahnya. Dari kasus di kos itu, Adi menemukan fakta bahwa banyak orang yang bingung harus menaruh atau menjual sampahnya kepada siapa. Di sisi lain, banyak juga pengepul yang tidak tahu harus mengambil sampah di mana.

Masih di kota yang sama, ada satu anak muda lagi yang tergerak mengatasi masalah persampahan. Iqra Putra Sanur, 28, merintis start-up bernama Clean Up. Pertama-tama seorang diri. Kegelisahan Iqra timbul dari minimnya layanan angkut sampah selain dari dinas kebersihan.

’’Padahal, di luar negeri sudah banyak perusahaan jasa pengangkut sampah. Kenapa kita nggak bikin aja di Makassar?’’ Iqra bertanya-tanya saat itu.

Pada 2015 juga, dia mendirikan perusahaan jasa pengambilan sampah. Kondisinya hampir sama dengan yang ditemukan Adi. Sampah-sampah tidak terangkut optimal dan tepat waktu. Tadinya, Iqra menyasar pelanggan dari rumah ke rumah. Business to customer. Ternyata, model itu cukup sulit diterapkan.

Masalah utamanya, banyak warga yang belum paham pentingnya menggunakan jasa angkut sampah. ’’Tantangan terbesar ya mengajak mereka masuk ke sistem kami,’’ ungkap Iqra.

Sambil berjalan, ternyata beberapa kawan Iqra mulai tertarik ikut di bisnis persampahan itu. ’’Cari orang yang latar belakangnya punya semangat yang sama untuk mengatasi sampah,’’ lanjutnya.

Masalah angkut sampah juga dirasakan Febri Pratama Putra. Co-founder Gringgo yang berbasis di Bali. Sebelumnya, Febri tinggal di Jakarta. Begitu pindah ke Bali, dia merasakan perbedaan. ’’Kalau di Jakarta, ada yang ambil dan biasanya RT yang ngurus. Kalau di Bali, yang ngumpulin aja nggak ada,’’ ungkapnya.

Dia harus rutin membawa sampah rumahnya ke kantor setiap 2–3 hari. Kebetulan, kantornya bekerja sama dengan jasa angkut sampah. Aplikasinya, Gringgo, mendata sampah yang ada di suatu wilayah. Bukan cuma volume, tapi juga jenis sampah di sana. Bisa jadi, material sampah itu dibutuhkan pengusaha untuk didaur ulang dan memproduksi barang baru.

’’Jadi, pengguna aplikasi dikasih suggestion daerah mana saja yang belum ter-cover atau diambil sampahnya,’’ kata Febri.

Ketiga start-up itu punya semangat yang sama. Mengatasi masalah sampah dengan metode baru. Memanfaatkan teknologi digital. Baru segelintir start-up di Indonesia yang mau berfokus ke sampah. Tiga di antaranya inilah yang kemudian dilirik dan diajak bekerja sama oleh perusahaan multinasional sekelas Coca-Cola.

Mereka bergabung dalam program Plastic Reborn 2.0 untuk mengolaborasikan keunggulan bisnis masing-masing. ’’Jadi, misalnya saya kuat di data management, start-up lain kuat di model bisnisnya. Itu yang kami kolaborasikan,’’ jelas Febri.

Start-up ketiganya sudah berjalan 4–5 tahun. Mereka merasa masih perlu banyak inovasi untuk penyempurnaan. Tak sedikit halangan yang dihadapi. Terutama dari orang-orang yang konvensional dan lebih dulu berkecimpung dalam dunia persampahan.

Iqra, misalnya, pernah hampir dibegal. Dua kali. Pertama, dia berurusan dengan pemulung-pemulung senior dan kelas kakap. Waktu meninjau tempat pembuangan akhir (TPA), Iqra dicegat dan hendak dicelakai.

Kedua, karena cukup sulit menarik warga saja sebagai customer, akhirnya Iqra menyasar developer. Skalanya lebih besar dan dapat langsung banyak rumah. ’’Tapi, waktu ngajuin ke developer, tiba-tiba dicegat lagi sama pemulung-pemulung di tengah jalan,’’ kenangnya.

Sementara itu, Febri memang tidak berhadapan langsung dengan begal layaknya pengalaman Iqra. Namun, dia juga sempat cemas karena desas-desus banyaknya mafia di urusan pengangkutan sampah. ’’Begitu melihat orang baru kayak kami, mereka kan nggak mau diambil mata pencahariannya,’’ tutur Febri.

Cuma, dia menekankan kepada setiap calon mitra dan kliennya, tujuan masuk ke dunia persampahan itu bukan untuk menggantikan. ’’Justru dengan membawa teknologi, kami bisa membantu mereka dapat lebih banyak,’’ ungkapnya.

Manfaat itulah yang juga dirasakan Adi. Selama tiga tahun pertama, dia bisa mengumpulkan 100 mitra pengepul dan pemulung di sekitar Makassar. Banyak mitra yang terbukti lebih sukses dan sejahtera. Dari yang tadinya ambil sampah dengan gerobak biasa atau jalan kaki, sekarang sudah punya gerobak motor. Bahkan mobil pikap. Yang tadinya bekerja sebagai pengepul sendirian, sekarang sudah punya karyawan yang membantu.

Walaupun, Adi juga tidak lepas dari oknum-oknum lawas yang ’’ngambek’’. Gara-gara itu, MallSampah Adi pernah kena hack. Baru Mei lalu. Sistem website Adi langsung down. Dia pun kena komplain dari para user karena tidak bisa berjualan sampah. Namun, masalah tersebut berhasil diatasinya dengan segera sehingga jual beli berjalan lancar lagi. (Jawa Pos/JPG)