Menkum HAM Kaji Amnesti Baiq Nuril

Baiq Nuril saat bercengkerama bersama anaknya--Dok. Jawa Pos

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Perjuangan Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual yang dianggap dikriminalisasi, mencari keadilan lewat pengajuan amnesti kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat titik terang. Presiden telah menugaskan Menkum HAM Yasonna H. Laoly untuk menelaah pemberian amnesti tersebut.

Kemarin (8/7) Yasonna menerima konsultasi dari Nuril beserta tim kuasa hukumnya di kantor Kemenkum HAM. “Saya sudah diminta Bapak Presiden melalui Mensesneg untuk mengkaji hal ini secara mendalam,” ujarnya seusai pertemuan yang berlangsung sekitar setengah jam tersebut.

Yasonna menjelaskan, amnesti menjadi upaya yang bisa ditempuh Nuril dan kuasa hukumnya. Bukan dengan mengajukan grasi. Sebab, hukuman yang diterima Nuril kurang dari dua tahun. Pemberian amnesti, kata dia, menjadi hak presiden. Itu diatur dalam pasal 14 ayat 2 UUD 1945.

Setelah bertemu dengan Nuril, Yasonna segera mengumpulkan beberapa pakar hukum. Tujuannya, membicarakan konstruksi terkait amnesti yang akan menjadi pertimbangan bagi presiden. Di sisi lain, pihaknya tetap menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Nuril. ”Kami akan mempersiapkan argumen yuridisnya terkait hal ini,” ucap politikus PDIP tersebut.

Yasonna menegaskan, kasus yang dialami Nuril mendapat perhatian khalayak. Termasuk presiden. ”Korban yang seharusnya menjadi korban justru dipidanakan. Mungkin ada banyak lagi wanita di Indonesia yang menjadi korban pelecehan seksual, tapi tidak berani bersuara,” katanya.

Sinyal positif amnesti untuk Nuril juga datang dari istana. Kepala Staf Presiden Moeldoko menegaskan bahwa potensi pemberian amnesti itu sangat terbuka. Namun, dia menggarisbawahi bahwa proses harus sesuai dengan prosedur hukum. Selain dengan jajaran pemerintah, presiden perlu melakukan komunikasi dengan DPR. ”Poses hukumnya sudah berjalan dulu. Setelah itu ada pertimbangan dari DPR, baru nanti opsi itu (amnesti, red) akan dijalankan,” terangnya.

Sementara itu, Jaksa Agung M. Prasetyo menyatakan tidak akan tergesa-gesa mengeksekusi putusan MA yang menghukum Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Pihaknya juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Apalagi, presiden juga tengah mempertimbangkan untuk memberikan amnesti.

”Secara hukum, prosesnya sudah selesai. Kami sebagai eksekutor tentu menunggu (salinan putusan, red). Kami tidak akan buru-buru, tidak serta-merta (eksekusi),” ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor.

Yang penting, kata Prasetyo, Nuril harus tetap bersikap kooperatif dalam menjalani proses tersebut. ”Dia juga harus aktif seperti apa nanti. Jangan juga dia terkesan lari-lari,” tuturnya.

Pada bagian lain, anggota Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengaku telah berkomunikasi secara langsung dengan Wakil Ketua Komisi III DPR Erma S. Ranik. Hasil komunikasi itu memastikan bahwa Komisi III DPR mendukung Nuril. ”Akan memberikan dukungan kalau nanti Presiden Jokowi meminta pertimbangan DPR dalam memberikan amnesti,” kata Sri.

Komnas Perempuan menyatakan bahwa amnesti tersebut harus diberikan. Beberapa fakta yang saat ini ada dinilai sudah cukup menjadi alasan. Nuril, kata Sri, merupakan korban pelecehan seksual. Ketika berusaha membela diri, mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram itu malah kena hukuman pidana. ”Amnesti harus diberikan karena (perkara Nuril, red) dalam situasi yang khusus,” imbuh Sri.

Sebagai korban yang kini berada dalam posisi disalahkan, Nuril layak mendapat bantuan presiden. Sebab, semua jalur hukum sudah ditempuh. Mulai pengadilan tingkat pertama sampai kasasi dan mengajukan PK. ”Pemerintah harus melakukan sesuatu untuk mencegah praktik buruk dan preseden-preseden yang nanti justru menjauhkan perempuan dari keadilan,” tegas dia.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa kasus yang menjerat Baiq Nuril telah selesai. Putusan yang menolak PK dari Nuril, kata dia, sudah sesuai dengan fakta persidangan.

Andi berharap masyarakat mengerti kedudukan MA sebagai judex juris. Dalam hal ini, MA hanya memeriksa penerapan hukum dari sebuah perkara. ”MA tidak lagi mengutak-atik fakta,” ucapnya.

Nuril, jelas Andi, terbukti telah merekam perbincangannya melalui telepon dengan saksi pelapor (Muslim, mantan atasannya). Rekaman tersebut kemudian dia serahkan kepada Imam Mudawi. Meskipun awalnya Nuril tidak memiliki keinginan untuk membagi rekaman itu.

Hal itulah yang membuat Nuril bersalah di mata hukum. Pertama, dia secara sadar telah merekam pembicaraan dengan Muslim. Rekaman tersebut bermuatan asusila. Kedua, dia memberikan rekaman ilegal itu kepada orang lain. Meski bukan Nuril yang menyebarkan rekaman tersebut, dia tetap dinyatakan bersalah. ”Karena dalam kasasi ini sama saja. Dia mengetahui rekaman itu bermuatan asusila, tapi tetap diberikan ke Mudawi. Berarti dia menghendaki penyebaran tersebut juga,” jelas Andi.

Perbuatan Nuril itu dinyatakan memenuhi unsur pasal 27 ayat 1 juncto pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Terkait Nuril yang menjadi korban pelecehan seksual, menurut Andi, itu merupakan kasus yang berbeda.

Andi mengatakan, pihaknya tidak akan menghalangi upaya Nuril yang hendak mengajukan amnesti. Sebab, pemberian amnesti merupakan kewenangan presiden. ”Kalau itu sudah bukan kewenangan MA lagi, melainkan DPR yang memberikan pertimbangannya ke presiden,” terangnya.

Selain bersama tim kuasa hukum, Nuril kemarin berada di Jakarta dengan didampingi Rieke Dyah Pitaloka, aktivis perempuan yang juga politikus PDIP. Kepada media dia mengaku sejak awal telah mengira bahwa pengajuan PK-nya bisa ditolak MA. Namun, dia tidak bisa menutupi kesedihan saat mendengar putusan tersebut benar-benar keluar pada Jumat lalu (5/7).

Nuril sempat berdiskusi dengan suaminya, Lalu Muhammad Isnaeni. ”Menerima meskipun tidak secara legawa,” katanya. Karena itu, perjuangan mencari keadilan tersebut dilanjutkan. Salah satunya dengan bertolak ke ibu kota.

Nuril menegaskan bahwa perjuangannya itu dilakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri atau keluarga. ”Tapi juga demi perempuan Indonesia yang tidak berdaya menjadi korban pelecehan seksual,” tegasnya.

Hal yang paling sulit, ungkap Nuril, ialah memberitahukan situasi saat ini kepada anak-anaknya. Saat si sulung diberi tahu, kondisinya langsung drop. Sedangkan anak terakhirnya langsung merespons, ”Ibu mau sekolah lagi ya?” ucap Nuril menirukan kata-kata anaknya.

Nuril memang tidak memberi tahu secara gamblang bahwa dirinya ditahan. Yang si bungsu tahu, ibunya harus pergi ke Universitas Mataram (Unram) untuk bersekolah. Namun kali ini pergi dalam waktu lebih lama daripada sebelumnya. ”Bilang ke Pak Jokowi, Ibu tidak usah sekolah lagi,” kata anak Nuril.

Sementara itu, Rieke mengungkapkan, Nuril memiliki keinginan agar amnesti bisa diperoleh sebelum HUT RI pada 17 Agustus. Sebab, Rena, anak sulung Nuril, terpilih sebagai anggota Paskibraka. ”Dia terpilih untuk menjadi anggota Paskibraka mewakili NTB,” ungkapnya. (Jawa Pos/JPG)