Rokok Membebani Biaya BPJS Kesehatan

ilustrasi.net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Menurut hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Mei lalu. Defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp9,1 triliun. Salah satu penyebabnya karena pembiayaan penyakit katastropik. Rokok menjadi penyebab penyakit katastropik seperti jantung, stroke, dan kanker.

Menurut data BPJS Kesehatan hingga Maret tahun ini, untuk pembiayaan pasien jantung sudah mencapai Rp 2,8 triliun. Sedangkan kanker dan stroke menjadi beban ketiga dan keempat dengan masing-masing total pembiayaan mencapai Rp 1 triliun dan Rp 699 miliar. Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas membenarkan bahwa pembiayaan penyakit katastropik cukup besar. Tahun lalu, total pembiayaan 8 penyakit katastropik mencapai Rp 20,4 triliun.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr Agus Dwi Susanto SpP(K) menyatakan bahwa kanker paru menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada tahun lalu saja ada 1,8 juta jiwa yang meninggal karena penyakit tersebut. ”Data World Health Organization (WHO) di 2018 memperlihatkan bahwa rokok merupakan penyebab utama dari kanker paru-paru, dan berkontribusi lebih dari 2/3 kematian terkait kanker paru-paru secara global,” ungkapnya, Rabu (26/6).

Selain kanker paru, perokok juga memiliki risiko terancam penyakit kanker 13 kali lipat lebih tinggi dibandingkan non-perokok.

Pakar Kesehatan Publik dan Ketua Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI) dr Rosa Christiana Ginting menyatakan alternatif solusi bagi para perokok masih sangat terbatas. ”Melihat kondisi BPJS Kesehatan saat ini, kebijakan yang efektif sangat diperlukan untuk mengurangi angka perokok di Indonesia,” tuturnya.

Sebenarnya, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan berbagai program untuk mengurangi prevalensi merokok di Indonesia. Misalnya saja hotlinetelepon untuk konsultasi bagi para perokok yang ingin berhenti. Selain itu juga membentuk komunitas berhenti merokok yang difasilitasi oleh berbagai klinik dan rumah sakit. Sayangnya implementasi program tersebut masih jauh dari ideal. Pada 2018, WHO melaporkan bahwa terdapat 30,4 persen perokok Indonesia yang berusaha berhenti merokok, namun hanya 9,4 persen di antaranya yang berhasil. ”Untuk itu, sekarang adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memulai penelitian lokal sebagai solusi alternatif untuk mengurangi angka perokok,” bebernya. (Jawapos/JPG)