eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Kalbar Tahun 2018 terdapat defisit sebesar Rp691 miliar. Defisit terang Gubernur Kalbar, Sutarmidji terjadi akibat Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (Silpa) sebesar Rp77 miliar tidak sesuai target.
Kamis (13/6), Sutarmidji menyampikan jawaban atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi DPRD Kalbar terhadap Nota Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2018. Sidang paripurna yang digelar di Balairung Sari DPRD Kalbar itu dipimpin langsung Wakil Ketua DPRD Kalbar, Suma Jenny Heryanti didampingi Wakil Ketua DPRD Kalbar, Suryansyah.
Dalam jawabannya, Sutarmidji mengatakan, penyebab deficit lainnya, tidak dibayarkannya bagi hasil pajak kepada kabupaten/kota sebesar Rp268 miliar. Selain itu, alokasi belanja langsung DBH-DR tahun 2017 sebesar Rp15 miliar juga tidak dianggarkan di APBD 2018.
Demikian pula anggaran alokasi belanja langsung DBA-DR tahun 2017, yang nilainya mencapai Rp11 miliar tak diakomodir dalam APBD 2018.
Selanjutnya, di APBD 2018 terjadi pengurangan alokasi belanja bagi hasil pajak kabupaten/kota, akibat penambahan target pendapatan pajak daerah tahun 2018 sebesar Rp90 miliar.
Kemudian, terjadi pengurangan target pendapatan DBH tahun 2018 sebesar Rp5 miliar. Di APBD 2018 juta terjadi kekurangan penganggaran alokasi belanja pegawai sebesar Rp213 miliar, dan kekurangan alokasi belanja langsung BOS 2018 sebesar Rp10 miliar.
Mengatasi defisit itu, kata Sutarmidji, Penjabat Gubernur Kalbar waktu itu, Dodi Riyatmadji langsung mengeluarkan Surat Nomor 903/2115/TAPD untuk pengurangan pagu anggaran belanja langsung di SKPD tahun anggaran 2018. “TAPD mengambil langkah mengatasi defisit untuk ditampung didalam APBD, antara lain menambah target PAD sebesar Rp208 miliar. Langkah berikutnya, menambah target pendapatan hibah sebesar Rp116 juta,” kata Sutarmidji.
Langkah selanjutnya mengurangi alokasi belanja hibah kepada lembaga organisasi sebesar Rp5 miliar, dan mengurangi belanja bagi hasil pajak pokok tahun 2018 kepada kabupaten kota sebesar Rp3 miliar.
Tak hanya itu, belanja tidak terduga sebesar Rp2 miliar juga dilakukan untuk menyelesaikan masalah defisit tersebut. Namun, langkah-langkah tersebut belum mampu menuntaskan persoalan defisit anggaran itu. Bahkan, hasil pengehematan yang sudah dilakukan masih menyisahkan defisit anggaran sebesar Rp472 miliar. “Selanjutnya, dari surat itu, SKPD diminta untuk mengurangi belanja langsung. Sebesar, 30 persen,” ucapnya.
Namun, dari pengurangan belanja langsung di SKPD sebesar 30 persen itu, hanya mampu menghemat anggaran sebesar Rp148 miliar. “Kondisi ini terjadi sebelum saya dan pak Ria Norsan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar,” sebutnya.
Setelah dilantik sebagai Gubernur pada 5 September 2018, Sutarmidji mengatakan, ia langsung mengumpulkan seluruh kepala SKPD. Untuk menutupi persoalan sisa defisit anggaran tersebut. “Rata-rata SKPD tidak bisa lagi melakukan pemotongan anggaran. Akhirnya, selaku gubernur, saya harus mengambil langkah untuk menyelamatkan keuangan provinsi dan kabupaten/kota,” katanya.
Ketika itu, ada kegiatan sebesar Rp123 miliar, yang belum diproses tender di Oktober 2018. Di kegiatan itu, ada item pembangunan jalan baru. Nilai proyeknnya sebesar Rp17 miliar.
Setelah didiskusikan kata dia, akhirnya diputuskan, kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Sebab waktu tidak memungkinkan. “Kemudian, tidak ada uang untuk membayarnya. Dengan pertimbangan itu, maka kegiatan Rp129 miliar tersebut dibatalkan,” ucapnya.
Rupanya, pembatalan kegiatan pembangunan dengan pagu anggaran Rp129 miliar masih belum menuntaskan persoalan defisit anggaran. “Ternyata masih ada defisit anggaran sebesar Rp200 miliar,” imbuhnya.
Untuk menutupi defisit itu, akhirnya diambil lagi langkah. Yaitu, digencarkan pendapatan target pajak, dan penghematan perjalanan dinas. “Alhamdulilah, APBD menjadi surplus. Bagi hasil pajak kabupaten/kota bisa dibayarkan. Bahkan hingga bulan November 2018,” katanya.
Sutarmidji mengklaim, jika saja tidak dilakukan langkah-langkah pengehematan sebagaimana yang ia sebutkan itu, maka seluruh kabupaten/kota terancam bermasalah keuanganya. Sebab, akibat defisit anggaran tersebut, diperkirakan hampir Rp500 miliar dana daerah bagi hasil pajak kabupaten/kota terancam tidak bisa dibayarkan. “Itu penjelasan dari kami,” sebutnya.
Berkenaan dengan penilaian BPK terhadap LKPD tahun anggaran 2018 dengan raihan predikat wajar dengan pengecualian (WDP), juga turut dijawab Sutarmidji dalam rapat paripurna tersebut.
Menurutnya, hasil audit LKPD tahun 2018 pada awalnya, terdapat temuan sebanyak 26 temuan. Dari 26 temuan itu, 12 temuan diantaranta sudah ditindaklanjuti oleh OPD terkait. “Sehingga, hasi audit LKPD tahun 2018 tersisa 14 temuan. Terdiri dari 13 temuan administrasi dan 1 temuan kerugian daerah. Terkait renovasi kawasan Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, untuk persiapan kegiatan Pesparawi ke-12,” katanya.
Menurut Sutarmidji, terhadap sisa temuan itu, pada dasarnya tidak terlalu mempengaruhi material terhadap penilaian opini LKPD 2018.
Ia menjelaskan, penurunan predikat hasil audit LKPD 2018, dari WTP menjadi WDP, BPK menilai Pemprov Kalbar, tidak patuh terhadap aturan. Sebab, perubahan anggaran yang dilakukan Pemprov Kalbar untuk menyelesaikan persoalan defisit anggaran tersebut, tidak melalui pembahasan rancangan peraturan daerah, tentang Perubahan APBD tahun 2018 bersama DPRD Kalbar.” Kenapa saya katakan BPK subjektif? Kalau alasan tidak ada perubahan anggaran, kenapa Sumut, Aceh, Maluku Utara yang tidak ada perubahan, bisa WTP,” sebutnya..
Sutarmiji mengakui, empat hari sebelum tanggal 27 Mei, atau pengumuman hasil audit LKPD 2018 oleh BPK, tim BPK memang telah menemuinya, dan menyampaikan bahwa LKPD 2018 tidak bisa WTP. “Alasanta karena, tidak ada perubahan APBD. Itu aja alasanya. Bukan karena hasil auditnya,” jelasnya.
Di kesempatan itu, Sutarmiji juga menjelaskan perihal sejumlah penjabat tinggi pratama di lingkungan Pemrov Kalbar yang sebagian mengundurkan diri, dan sebagian memang diminta mundur. “Ada beberapa pejabat administarator dan eselon memang mengundurkan diri. Karena, atas permintaan sendiri dengan alasan kesehatan, keluarga, dan ingin pindah ke jabatan fungsional, supaya bisa pengsiun lebih lama,” jelasnya.
Kemudian, ada pula pejabat setara eselon II, yaitu Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Singkawang yang memang diminta mundur. Sebab yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi sesuai bidang. “Beliau sarjana ekonomi,” sebutnya.
Sutarmidji mengatakan, kalau yang bersangkutan itu tetap dipertahankan, maka RSJ Singkawang tidak bisa diakreditasi. Konsekuensi jika RSJ Singkawang tidak terakreditasi, maka BPJS Kesehatan tidak akan membayar klaim pasien. Artinta, seluruh pasien harus bayar pribadi. “Alhamdulilah, sekarang sudah terakreditasi. Tingkat madia bintang tiga,” katanya.
Kemudian, Wakil Direktur RSUD Soedarso Bidang Administrasi Umum dan Keuangan juga memang diminta mundur dari jabatannya. Alasannya juga sama. Kedua pejabat itu menduduki jabatan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman jabatan.
Selanjutnya, ada juga pejabat yang menjabat lebih dari lima tahun dan tidak pernah dilakukan evaluasi, juga diminta mungundurkan diri. Dan, ada beberapa pejabat juga diminta mundur, karena sudah tidak efektif. Rapat kerja tidak pernah hadir. “Selanjutnya ada lagi dua pejabat diminta mundur, supaya bisa leluasa mengadapi proses temuan keuangan di Polda maupun di KPK,” terangnya.
Berkaitan dengan pokok pikiran DPRD yang hilang di tahun 2018, Sutarmidji mempersilakan, agar hal itu ditanyakan langsung ke SKPD masing-masing. “Karena kami baru menjabat 5 September 2018,” tuturnya.
Demikian pula ditahun 2019. Jika ada pokok-pokok pikiran yang hilang atau sengaja dihilangkan, Sutarmiji meminta DPRD Kalbar juga mengkonfirmasi hal itu ke SPKPD terkait. “Jika ada SKPD yang menyatakan pokok-pokok pikiran DPRD yang dihilangkan atas perintah gubernur, saya minta tunjuk siapa kepala SKPD nya. Dimana. Dan saya akan telusuri. Bapak ibu boleh catat apa yang saya sampaikan, ya,” pungkasnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman
Edotor: Yuni Kurniyanto