eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Untuk pertama kalinya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK RI Perwakilan Kalbar. Sebaliknya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sambas berhasil naik ke predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Gubernur Kalbar, Sutarmidji berdalih sama sekali tak kecewa. Hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov Kalbar Tahun 2018, BPK memberi nilai gagal mempertahankan predikat WTP yang sudah disandang enam tahun berturut-turut. Tahun ini, hanya bisa mendapat predikat WDP. “Lalu tidak bisa WTP, ya sudah lah. Saye juga tidak terlibat langsung ketika penyusunan APBD 2018. Saya kan dilantik September (2018, red),” kata Sutarmidji, Selasa (28/5).
Kendati demikian, Sutarmidji sedikit mengkritik BPK. Pasalnya, dalam pemeriksaan LKPD, seluruh komponen yang diminta juga sudah dilaksanakan. Sejumlah temuan sudah ditindaklanjuti. Temuan bersifat materil atau kerugian negara pun diklaimnya nihil. “Hasil audit itu ada 26 temuan. Semua sudah kita tindaklanjuti. Action plane nye juga sudah waktu pembahasan sama BPK,” bebernya.
Namun, kata dia, empat hari sebelum tanggal 27 Mei, hari penyerahan hasil pemeriksaan LKPD, tiba-tiba BPK menyampaikan tidak bisa WTP. Alasannya, Pemprov Kalbar tidak melakukan APBD perubahan. Sementara terjadi perubahan anggaran. Salah satunya, untuk membayar bagi hasil pajak kepada 14 kabupaten/kota.
Itu pun dilakukan tidak sembarangan. Pengajuan pembahasan perubahan bersama DPRD Kalbar sudah ditempuh. Namun, di legeslatif tak menemukan kesepakatan soal pembahasan APBD perubahan tersebut.
Sehingga pembayaran itu, terpaksa dilakukan dengan mekanisme Peraturan Gubernur (Pergub). Lantas, dikemudian hari, seakan-akan perubahan anggaran itu menjadi suatu hal yang wajib oleh BPK. “Kalau memang sudah itu, kenapa dari awal kita disuruh buat action plane, begini-begitu kan. Kalau saye, saye bilang, kenapa anda tidak beri disclaimer. Kalau itu menyalahi aturan,” sebutnya.
Karena itu, Sutarmidji agak heran dengan ‘sikap’ BPK. Ia pun membeberkan dugaan penyimpangan pembangunan Gedung Olahraga (GOR) dimasa pemerintahan pejabat yang lama. Seharusnya menjadi temuan untuk ditindaklanjuti BPK. “Saye tunggu, berani ndak BPK menyerahkan yang masalah temuan GOR yang menyimpang itu ke aparat penegak hukum. Karena, pembangunanya harusnya ditender, tetapi tidak ditender. Saye tunggu keberanian BPK ya,” katanya.
Selain itu, Sutarmidji juga membeberkan soal penyusunan APBD Tahun 2018, yang dinilainya sangat amburadul. “Yang jadi pertanyaan saye, ketika menyusun APBD 2018 itu, gaji 13 dan 14 itu tidak dianggarkan. Satu rupiah pun tidak dianggarkan,” tuturnya. “Padahal pengesahannye kan November. Pak Sekda (M Zeet Hamdi Assofi, red) saat itu, sebagai ketua tim tidak memasukkan itu,” timpalnya.
Lebih jauh, Midji juga mengungkapkan, banyak masalah saat penyusunan APBD Tahun 2017 lalu. Saat itu Pemprov Kalbar, kata dia, bahkan secara real mengalami devisit anggaran mencapai Rp165 miliar. “Silpanye Rp207 miliar. Kewajiban kepada kabupaten/kota itu Rp172 miliar. Artinya, minus (devisit, red) Rp165 miliar. Harusnya itu digambarkan oleh BPK. Tapi tidak digambarkan. Tetap saja WTP. Itu tahun 2017. Nah, masalahnya 2018, terjadi devisitnya lebih besar,” paparnya.
Bahkan, saat Dodi Riyadmadji menjabat Penjabat Gubernur Kalbar, terjadi devisit mencapai Rp691 miliar. Sebagai gubernur baru, kata Sutarmidji, tentu persoalan itu harus ia selesaikan. “Lalu saya harus ambil langkah. Langkah pertama itu, membatalkan sebanyak-banyaknya belanja modal untuk pembangunan. Ya, karena kita harus membayar kabupaten/kota,” katanya.
Pembayaran bagi hasil pajak untuk 14 kabupaten/kota itu, jumlahnya mencapai Rp600 miliar. Jika tidak dibayarkan, Midji khawatir, daerah-daerah akan kolaps. “Di triwulan 2017 saja, yang tidak bayar sebesar Rp372 miliar. Tahun 2018, juga tidak mau dibayar dua triwulan. Sebesar Rp260 miliar. Itu berarti kan ada Rp600 miliar lebih, hak kabupaten/kota tak dibayar. Jadi betul-betul amburadul,” bebernya.
Terlepas dari itu, apapun penilaian yang dilakukan BPK, Mijdi mengatakan, tak menjadi masalah baginya. Termasuk, pemberian WDP. “Apapun yang dilakukan BPK silakan. Suke–suke die jak kan. Die punye kewenangan. Tapi, harusnya punya standar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala BPK Perwakilan Kalbar, Joko Agus Setyono melalui rilis yang diterima Rakyat Kalbar menyatakan, pemeriksaan atas LKPD Pemprov Kalbar Tahun 2018, ditujukan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan.
Pemeriksaan tersebut memperhatikan kesesuaian Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektifitas sistem pengendalian internal.
Disebutkannya pula, pemeriksaan LKPD Pemprov Kalbar tahun 2018 yang dilakukan oleh BPK, setidaknya mengaudit tiga komponen.
Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LPH) atas LKPD Tahun 2018. Kemudian LHP atas Sistem Pengendalian Internal (SPI), dan LHP atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. “Laporan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018 ini, telah disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis Akurat,” kata Joko Agus Setyono dalam rilis yang ditema Rakyat Kalbar, Senin (27/5).
Jumlah laporan keuangan terdiri dari 7 laporan. Diantaranya, laporan Realisasi anggaran (LRA). Kemudian, laporan perubahan saldo anggaran lebih dan neraca. Selanjutnya, laporan operasional, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas serta catatan atas laporan keuangan.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK tersebut dipaparkan bahwa, pada LKPD Pemprov Kalimantan Barat Tahun Anggaran 2018, anggaran belanja yang disajikan sebesar Rp4,69 triliun. Sementara realisasinya mencapai Rp4,38 triliun.
Kemudian, anggaran belanja transfer disajikan sebesar Rp739,014 miliar, dengan realisasi mencapai Rp961,408 miliar.
Dalam pelaksanaannya, juga dijelaskan, terdapat pergeseran yang mengakibatkan realisasi belanja melampaui anggaran belanja yang ditetapkan dalam Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang APBD Tahun Anggaran 2018.
Realisasi belanja melampaui anggaran tersebut bersifat material. Dan mempengaruhi penyajian laporan keuangan. Yaitu, belanja pegawai sebesar Rp296,63 miliar, dan Belanja Bagi Hasil kepada provinsi/kabupaten/kota sebesar Rp262,85 miliar.
Pergeseran anggaran yang tidak ditetapkan dalam Perda Perubahan APBD Tahun Anggaran 2018, dan realisasi belanja yang melampaui anggaran, tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Atas dasar tersebut, BPK RI memberikan opini WDP atas LKPD Pemprov Kalimantan Barat Tahun 2018.
Sehingga direkomendasikan kepada Pemprov Kalbar beserta jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD)-nya kedepan agar kualitas laporan keuangan perlu ditingkatkan. Selain itu, dalam melakukan perubahan penjabaran APBD, BPK juga meminta Pemprov Kalbar perlu memedomani ketentuan yang berlaku.
Serta, lebih optimal dalam berkoordinasi dengan DPRD Provinsi Kalbar, dalam melakukan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
Ketika ditemui saat kegiatan Media Workshop di Kantor BPK RI Perwakilan Kalbar, Selasa (28/5), lebih jauh Joko Agus Setyono membeberkan, sejauh ini program yang sudah dilakukan oleh Gubernur Kalbar, sudah berjalan dengan baik. “Namun ada hal-hal yang harus dilakukan sesuai aturan dan harus ada perubahan,” ungkapnya.
LKPD merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Tujuan pemeriksaan ini, adalah untuk memberikan keyakinan apakah LKPD telah disajikan secara wajar, dalam segala hal yang material, sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah, dan prinsip akuntansi yang berlaku umum lainnya
Sebagai hasil pelaksanaan pemeriksaan keuangan tersebut, BPK menyampaikan tiga buah buku laporan hasil pemeriksaan yang memuat opini atas kewajaran laporan keuangan, pengendalian internal, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Ketiga-tiganya perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dan DPRD, sebagai upaya penyempurnaan LKPD yang merupakan perwujudan akuntabilitas dan pertanggungjawaban keuangan daerah. “Seperti di Kabupaten Sambas kini WTP, dimana dari hasil pemeriksaan yang kami lakukan terhadap 13 entitas, sebanyak dua entitas masih berstatus WDP, yakni Bengkayang dan Kayong Utara,” terangnya .
Sementara Kabupaten Sambas, kini menyusul 10 entitas lainnya yang telah lebih dulu dan masih memperoleh opini WTP, yakni Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Mempawah, dan Kota Singkawang.
Dalam hal ini, Joko menyebutkan terkait permasalahan dalam pemberian opini WDP dan WTP tidak serta merta tanpa permasalahan pengelolaan laporan keuangan. Permasalahan aset masih ditemukan pada minimal 12 pemda di Kalbar. Masih terdapat pemda yang mencatat aset secara gabungan, kapitalisasi aset yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan, bukti kepemilikan dan belum seluruh aset dilakukan pencatatan. Dalam hal penganggaran, sebanyak sepuluh entitas masih melakukan kesalahan dalam menganggarkan belanja modal dan belanja barang. “Dalam hal ini pemerintah daerah juga perlu untuk meningkatkan pengelolaan pendapatan, antara lain kepastian pengaturan dalam perda, pembenahan pemungutan retribusi, penetapan sebagai sumber PAD, dan penggiatan penagihan piutang pendapatan. Dalam hal pembayaran, juga terjadi kelebihan bayar, baik atas belanja pegawai, barang, dan modal,” paparnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Nova Sari
Editor: Yuni Kurniyanto