eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Sorotan terhadap kasus kematian penyelenggara pemilu tidak hanya ditujukan pada jumlahnya yang sudah lebih dari 500 orang. Proses penyerahan santunan kepada keluarga korban juga tak luput dari perhatian.
Karena itu, Komisi II DPR meminta pencairan itu dilakukan secepatnya, karena sangat dibutuhkan keluarga korban. “Pencairan harus dilakukan secara serempak. Prosesnya tidak boleh berbelit dan dipersulit. Urusan pencairan harus dipermudah. Jangan seperti birokrasi yang berbelit dan rumit,” ujar Wakil Ketua Komisi II, Ahmad Riza.
Politikus Partai Gerindra itu juga berharap pencairan dan santunan untuk penyelenggara pemilu yang meninggal tidak seperti bantuan untuk korban gempa Lombok, NTB. Saat itu, pemerintah mengatakan bahwa dana segera dicairkan, tapi tak kunjung cair. ”Nasib masyarakat yang terkena musibah jangan dipermainkan,” imbuhnya.
Sebenarnya, lanjut ketua DPP Partai Gerindra itu, jauh sebelum pemilu digelar, komisi II mengusulkan asuransi untuk petugas pemilu. Tapi, usul itu tidak disetujui. Dua kali usul tersebut disampaikan, tapi tetap tidak juga disetujui. Sekarang pemerintah dan KPU kalang kabut ketika banyak petugas yang meninggal.
Riza berjanji komisinya melakukan evaluasi menyeluruh setelah penetapan hasil pemilu pada 22 Mei. Komisi II akan membentuk panitia kerja (panja) yang khusus membahas persoalan pemilu. Namun, kata dia, saat ini juga muncul usulan pembentukan pansus pemilu dari Fraksi PKS dan Partai Gerindra. ’’Kita lihat saja nanti,’’ ucapnya.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman enggan memberikan komentar terkait pencairan santunan untuk petugas yang meninggal. Dia hanya menepis isu yang menyebutkan banyak anggota KPPS meninggal karena diracun. Menurut dia, rumor itu tidak benar. ”Sampai saat ini tidak ada laporan yang menyatakan bahwa yang meninggal ini keracunan,” ujarnya saat ditemui di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol.
Pria asal Surabaya itu menjelaskan, ada petugas yang dinyatakan sakit sebelum bertugas. Beberapa penyakit yang dilaporkan berjenis degeneratif. Misalnya jantung dan hipertensi. ”Saya bukan dokter, saya tidak bisa menyimpulkan sampai sejauh itu kenapa-kenapanya,” tutur mantan komisioner KPU Jatim tersebut.
Arief menambahkan, kemungkinan seperti itu sebenarnya sudah menjadi pemikiran KPU. Jauh sebelum pemungutan suara dilaksanakan, KPU berusaha mengurangi beban kerja para petugas. Dengan pertimbangan pemilu berlangsung serentak, pihaknya mengurangi jumlah maksimal pemilih di tiap TPS dari 500 menjadi 300 orang. (Jawapos/JPG)