eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kasus penganiayaan terhadap AU sebenarnya tidak perlu diviralkan. Selain menjadi aib, menimbulkan beban mental bagi korban, pelaku, dan keluarga. Orangtua mesti mampu menghadirkan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi anak, melalui pendidikan moral dan teladan.
Begitu pendapat Ustad Ibrahim, pemerhati sosial dan pendidikan yang hadir dalam acara Diskusi Ngopi Yok yang digelar Harian Rakyat Kalbar, Senin (15/4) lalu. Diskusi mengusung tema “Mengapa Kasus Kenakalan Remaja Menjadi Viral dan Diviralkan.”
Dia mengaku terkejut pertama kali mengetahui informasi itu. Bagaimana permasalahan anak bisa sampai viral. Awalnya informasi yang beredar AU dianiaya 12 orang, tapi polisi menetapkan hanya tiga orang sebagai tersangka. “Kasus AU masih sebatas kenakalan anak remaja. Masih ada kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum yang lebih parah dari ini,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, dalam kasus ini bukan sepenuhnya salah anak. Menurutnya, keluarga memiliki tugas dalam memberikan pendidikan moral dan teladan yang baik kepada anak.
Keluarga seharusnya bisa memberikan rasa nyaman terhadap anak. Orangtua bisa menjadi sahabat terdekat bagi anak. Sehingga ketika anak memiliki masalah dan butuh teman curhat, maka orangtua bisa menjadi pendengar.
Contoh kasus, orangtua yang tidak memberikan perhatiannya kepada anak. Anak ingin bercerita atau melapor kepada ayahnya, tetapi ayah sedang asyik memainkan handphone. Ayahnya, tidak mendengar keluhan si anak. “Dia bilang risau, agak mak kau, seperti itu,” ucapnya mencontohkan.
Anak kemudian mengadu kepada ibunya, tapi jawaban yang sama juga didapatkan, orangtua sedang sibuk. “Bising, main sana,” ujarnya.
Akhirnya dengan pola asuh yang seperti ini, akan membuat anak mulai berperilaku menyimpang, dan berani pacaran. “Pola asuh yang harus dikedepankan, bagaimana seorang anak bisa merasakan rumah adalah surganya, tempat dia bermain yang layak,” ucapnya.
Kemudian, teman adalah tempat solusi untuk mengembangkan kreasi dan kreativitas. Sekolah sebagai tempat menimba ilmu dari sisi pengajaran, maupun moral pendidikan. “Seperti itu yang harus dikedepankan,” ungkapnya.
Dia menyarankan agar Komisi Pengawasan dan Pelindungan Anak Daerah (KPPAD) dalam memberikan pendampingan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, orangtuanya juga juga ‘disentuh’ supaye lebih memperhatikan anak. “Sehingga psikologi anak, yang mulanya merasa tidak diperhatikan, maka akan merasa diperhatikan. Sehingga psikologinya lebih baik, lebih tenang. Mudah-mudahan mereka lebih bagus akhlaknya,” sarannya.
Di tempat yang sama, Fitry Sukmawati, Psikolog Anak menuturkan, manusia memiliki tahap perkembangan. Kalau berbicara kasus ini, pelaku maupun korban sudah masuk dalam fase remaja awal. Artinya, ada satu siklus yang sudah mereka lewati.
Sejauh ini dia melihat, memang dampak media sosial sangat besar. Untuk itu, orangtua punya peran penting dalam mendisiplinkan anak dalam penggunaan gadget. Menurutnya era digital saat ini, khususnya gadget bisa membuat sosialisasi anak menjadi kurang.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah pola asuh. Sebab, mendidik bukan hanya tugas seorang ibu, tapi harus melibatkan kedua orangtua, yakni ayah dan ibu. Sebab, keduanya memiliki peran dalam pembentukan kepribadian anak. “Seorang ayah punya figur maskulin dan seorang ibu punya figur feminim, yang semua anak harus dapat baik itu laki-laki maupun perempuan,” terangnya.
Banyak kasus–kasus yang terjadi, dimana figur ayahnya sangat dekat, baik laki-laki maupun perempuan, sering sentuhan fisik, sering ada bermain bersama, dan lain sebagainya akan menjadikan anak menjadi orang yang bertanggung jawab dan lebih sehat. “Disini lah fungsi pola asuh, bagaimana orangtua bisa mengerti,” imbuhnya.
Fitry melanjutkan, apabila melihat kasus ini, mengapa anak berperilaku menyimpang, tentu ada kontribusi orangtua dalam pengawasan selama ini “Kemana selama ini. Anak bermain dengan siapa, itu harus diketahui,” jelasnya.
Selain itu, begaimana orangtua bisa menjadi sahabat, dan bisa mendisiplinkan anak, agar sehat dalam bermedia sosial. “Karena anak punya tugas perkembangan yang lain, mulai dari sekolah, bermain dengan teman-temannya,” lanjut Fitry.
Dalam kasus penganiayaan terhadap AU, Fitry meminta masyarakat untuk stop menghakimi korban dan pelaku yang merupakan anak di bawah umur. “Kalau kita menghakimi, buat status macam-macam, yang itu belum tentu benar, kasihan mereka. Jadi stop semuanya. Biarkan KPPAD mendampingi korban dan pelaku, karena mereka masih punya masa depan,” pesanya.
Sementara itu, Kiyai Rahmatullah, Kepala Pondok Pesantren Mathla’ul Anwar Pontianak menuturkan, menyimpangnya perilaku anak karena mereka tidak mendapatkan keteladanan di dalam rumah. Sehingga mereka mencari tokoh idola diluar rumah. “Bagaimana anak bisa menjadi harapan, tapi sering kali kita tidak seusai dengan harapan dan kenyataan. Lisan kita menginginkan keturunan saleh dan sholehah, tapi caranya salah,” terangnya.
Sehingga bahaya, tidak sesuai dan seiya sekata. “Tidak sesuai dengan perbuatan dan harapan,”ucapnya.
Sedangkan Kompol Sri Haryanto, Kasat Binmas Polresta Pontianak menuturkan, ketika polisi menemukan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), maka ada beberapa tindakan yang harus dilakukan. Salah satunya, tindakan yang disebut diversi.
Tindakan diversi ini bisa dilakukan pada tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan dan peradilan.
Jadi ketika kasus ini masih dalam tahapan penyelidikan pihak kepolisian, Polresta Pontianak telah melakukan diversi. “Kasus ini sudah dilakukan diversi di Polresta Pontianak. Namun tidak ada kesepakatan,” ceritanya.
Pihak kepolisian, kata dia, akhirnya melengkapi berkasnya untuk selanjutya di limpahan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak. “Selanjutnya tahap yang kami lakukan menyerahkan ABH ini ke kejaksaan,” jelasnya.
Setelah kasus ini dilimpahkan, Kejari sepenuhnya nanti yang bertanggung jawab melakukan tahapan-tahapan selanjutnya. Terlepas dari kasus yang sudah berjalan. Dia selaku Kasat Binmas menilai, kasus ABH bukan hanya AU, tetapi masih ada yang lain. “Anak yang berhadapan hukum ini bukan hanya AU. Namun kenapa untuk kasus AU ini menjadi viral? Sehingga para tokoh-tokoh nasional mengomentarinya dan menjadi batu ganjalan,” ucapnya.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat nasional, bahkan internasional. Kondisi tersebut tentu merupakan pengaruh media sosial yang gencar. Sehingga semua pihak turut berkomentar terhadap kasus ini. “Bahkan Menteri pun datang ke Pontianak. Mereka (penyidik, red) harus mendampingi Menteri Pemberdayaan Perempuan,” ungkap dia.
Namun bagaimana penyelesaian kasus ini, tentunya bersama-sama ditunggu, tanpa mengecilkan kasus-kasus anak-anak yang lain. “Tidak hanya di Pontianak, di kabupaten lain, kasus serupa masih terjadi, dan membutuhkan komunikasi yang baik antara aparat kepolisian, KPPAD, dan lembaga-lembaga lain,” tutupnya.
Masi di tempat yang sama, Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak menuturkan, dalam melaksanakan tugas pihaknya mengacu pada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pidana Peradilan Anak, serta UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Eka menuturkan, sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) kerja KPPAD, adalah perlindungan dan pengawasan terhadap anak. “Jadi jangan disalah artikan bahwa KPPAD itu bagian penegak hukum, perlindungan hukum, pengadilan itu bukan,” tuturnya.
Dia berujar, sesuai UU ada tiga bagian pelindungan yang harus didampingi KPPAD, yakni ABH atau yang disebut di dalamnya anak sebagai korban, anak sebagai pelaku, dan anak sebagai saksi.”Yang ketiga ini perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat, kenapa dengan adanya kasus ini, viral lah KPPAD lebih pro kepada pelaku. Itu salah besar,” tegasnya.
Eka melanjutkan, anak sebagai pelaku, dan anak sebagai korban itu mendapatkan tempat yang sama di mata negara. Negara hadir disitu, karena ada UU yang mengaturnya.”Jadi gak ada namanya KPPAD itu sayangnya hanya kepada pelaku, terus tidak sayang kepada korban. Korban berhak dibela, pelaku juga dibela, dan saksi juga dibela. Ketiganya kita peluk, tidak ada bahasanya ini anak tiri dan anak kandung, itu tidak ada,” paparnya.
Dalam struktur KPPAD ada 15 bidang. Bidang yang menangani ABH dihandel oleh Tumbur Manalu. “Beliau yang mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum,” ujarnya.
Sesuai UU Pelindungan Anak, KPPAD sudah memberikan perlindungan khusus kepada semuanya, yakni korban, pelaku, dan saksi. Dia berujar, tidak ada perbedaan terhadap anak siapapun dalam setiap pendampingan yang dilakukan KPPAD, karena anak dibawah umur di Kalbar ini berhak mendapatkan perlindungan. “Jadi anak siapa pun, tidak memandang pekerjaan orangtuanya, baik tukang becak pemulung sekalipun berhak memperoleh keadilan, kebenaran, dalam konsep dia harus dilindungi oleh negara, apabila dia anak dibawah umur,” terangnya.
Karena kata Eka, dalam kasus anak di bawah umur, bukan salahnya di anak, tapi kembali kepada orangtuanya.”Karena bukan salah mereka, tapi yang salah orangtuanya, harusnya ada pengawasan paling intensif dari orangtuanya,” lanjutnya.
Sebab kata dia, anak lahir dari tiga tempat. Yakni lingkungan keluarga, sekolah, serta lingkungan masyarakat. “Inilah yang mengemasnya,” ucapnya.
Kalau anak keluar dari lingkungan rumah, karena merasa tidak nyaman dengan keluarganya, misalnya dengan ibunya, maka dia mencari tempat curhat kepada teman. “Kalau misalnya anak menemukan permasalahan yang tidak menemukan solusi, maka ia bisa jatuh ke tempat yang salah,” paparnya.
Dia mengajak masyakat seluruh Indonesia, maupun masyarakat seluruh dunia, agar stop menyebarkan vidio tentang korban, pelaku, maupun saksi. Ini tercantum dalam pasal 19 UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Nomor 11 Tahun 2012, dimana identitas korban dan pelaku wajib dirahasiakan dan tidak boleh dipublikasikan. “Siapa yang mempublikasikan, maka melanggar UU SPPA,” tegasnya.
Dia mengajak masyarakat bermedia sosial secara bijak dan cerdas. Jangan membenci (bully), tapi pada dasarnya menjadi pelaku bully itu sendiri. “Jempolmu harimaumu,” jelasnya.
KPPAD merasa tidak sendirian melakukan pengawas dan perlindungan anak dalam kasus ini. “Kasus ini bagi kami kasus kecil. Mengapa kasus ini besar, karena viral tadi, akibat media sosial yang salah dicerna masyarakat. Mareka lebih menuhankan media sosial dan percaya dengan dunia maya daripada dunia nyata, tanpa mau konfirmasi dulu, dan mengecek dulu, bagaimana berita sebenarnya,” ungkapnya.
Eka melanjutkan, bagaimana semua bisa mengantisipasi, agar mempelajari UU SPPA, dan UU Sistem Perlindungan Saksi dan Korban. Karena anak memiliki kualifikasi spesial di mata negara. UU kata dia, dibuat untuk dilaksanakan.
KPPAD berada disini, kata dia, untuk melaksanakan UU tersebut. Apabila kata dia, KPPAD bisa melaksanakan sampai berakhirnya kasus ini, maka negara lain akan belajar, bagaimana melaksanakan perlindungan anak, belajar dari Kalbar. “Ada dampak positif dan negatifnya dalam hal ini,” jelasnya.
KPPAD turut mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, para netizen, para masyarakat dunia, dan netizen. Meskipun komentarnya negatif, atau positif adalah sesuatu yang wajar. “Mari stop kekerasan terhadap anak. Mau kekerasan pisik dan fisikis, dan kejahatan seksual terutama bullying. Jangan kita menjadi pelaku bullying selanjutnya,” ajaknya.
Sedangkan Acep Rasidi, Kasi Pembinaan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak menuturkan, pada intinya pihaknya siap melayani dan menyediakan apabila kasus AU ini sudah adanya putusan pengadilan.
“Akan tetapi harapan perkara ini dapat terhenti lah, karena akan ada perubahan mental, apabila sudah berada dalam lapas,” harapnya.
Dia berujar, untuk kasus anak dibawah umur pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) memberikan perlakuan yang berbeda dari orang dewasa. “Bahkan kami juga telah mengubah namanya, menjadi wisma anak,” ucapnya.
Di dalamnya, mereka juga akan dibimbing dengan latihan kerja untuk mendapatkan keterampilan. Dirinya pun memastikan bahwa pendidikan anak merupakan prioritas. “Kalau pendidikan itu nomor satu. Kalau misalnya ada keterangan dari sekolah dan dia harus sekolah kita dampingi,” jelasnya.
Tapi jika mereka masih tahanan, dan belum ada putusan dari hakim, maka yang bertanggung jawab ada pihak penahan, yakni jaksa atau pengadilan.” Jadi mereka dulu yang mendampingi, “tegasnya
Di tempat terpisah, Della, salah seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di Kabupaten Sambas mengatakan,banyak warga Kalbar yang tidak percaya kejadian penganiayaan terhadap AU bisa terjadi. “Pelaku wajib diberi sanksi, biar ada efek jera dan korban mendapatkan keadilan. Karena, jika tidak diberikan hukuman, kedepannya bakalan ada lagi hal seperti ini. Tak peduli siapa yang duluan salah, yang jelas semua permasalahan tidak perlu adanya kekerasan,” ujar Della, salah seoarang guru Bimbingan Konseling (BK) di Kabupaten Sambas ketika ditemui Rakyat Kalbar di Kubu Raya, belum lama ini.
Banyak orang ingin para pelaku dihukum sepantasnya, hingga tidak akan ada kejadian serupa terulang kembali dikemudian hari. “Dalam hukum siapapun yang memukul duluan, dia yang salah, walaupun orang yang dipukul memicu permasalahan sebenarnya. Korban maupun pelaku saat ini adalah korban bullying juga,” lanjutnya Della
Walaupun para pelaku itu benar salah, seharusnya jangan ikut terbawa emosi. Sebab dari keluargga korban sudah melanjutkan hal ini ke jalur hukum. “Karena pelaku disudutkan oleh semua orang, bahkan orang terpandang juga menyudutkannya. Ini sama halnya dengan bullying juga,” tegas Della.
Selanjutnya, agar tidak ada kejadian ini terulang, Della menyarankan, memberikan contoh kepada mereka dan memberikan pemahaman mengenai bullying, dampaknya dan bagaimana cara mencegahnya. “Sekaligus memberikan contoh. Bullying pelaku diberikan efek jera sesuai jalur hukum yang berlaku. Jika bullying dilakukan pelaku masih dikategori ringan, masih bisa ditangani dengg cara memberi motivasi serta menanyakan apa untungannya, jika melakukan bullying,” bebernya.
Dampak dari kasu ini ada dua. Pertama, orangtua akan takut anaknya menjadi korban seperti ini. Kedua, anak akan merasa terancam, karena tidak semua anak memiliki mental dan jiwa yang kuat. Contohnya, masih banyak anak-anak yang dikatergorikan pendiam dan penakut. “Kadang anak seperti ini yang mudah terancam saat mendengar berita seperti ini. Kan sudah jelas pelaku melakukan pengeroyokan loh, penganiayaan,” ungkapnya.
Semua sekolah pasti ada siswa yang melakukan bullying, tapi tidak separah ini. Ini sudah melanggar hukum. Dan harus ditindaklanjuti oleh pihak berwajib.
Laporan: Andi Ridwansyah, Tri Yulio HP
Editor: Yuni Kurniyanto