eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Tingginya harga tiket pesawat domestik sejak Januari lalu tidak kunjung merendah. Kondisi tersebut membuat pelaku industri wisata dan perhotelan tidak berekspektasi tinggi meski sebentar lagi memasuki musim libur Ramadan. Mereka menyebutkan, pada peak season tahun ini, okupansi berpotensi merosot 20–40 persen.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyatakan, mahalnya harga tiket penerbangan sangat memukul industri hotel, restoran, dan transportasi.
’’Jika okupansi hotel rata-rata 60 persen, berarti ada yang okupansinya tinggal 20 persen,’’ ujar Maulana, kemarin.
Mahalnya harga tiket pesawat akan mengakibatkan target-target pariwisata tidak tercapai. Padahal, saat ini pemerintah sudah memutuskan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama bagi keuangan negara.
’’Tiket domestik yang mahal bakal membuat wisatawan Nusantara (wisnus), terutama milenial, lebih memilih untuk pergi ke luar negeri,’’ katanya.
Menurut Maulana, fenomena stagnansi traffic wisatawan sudah tecermin dari libur panjang pada awal tahun.
“Seperti Imlek lalu, tidak ada maskapai penerbangan yang mengajukan penerbangan ekstra. Pas libur Natal–tahun baru lalu, jumlah penerbangan ekstra hanya dalam hitungan jari,’’ jelasnya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar mengakui, harga tiket pesawat domestik saat ini sangat mahal daripada tiket internasional.
“Maskapai (penerbangan, Red) menjual di kelas Y, yakni kelas harga tertinggi. Waktu itu pernah ada pengumuman akan menjual di kelas N (medium) dan Y. Ternyata hanya kelas Y yang tersedia. Kalau kelas V, yang terendah, sudah tidak ada yang menjual,” ungkapnya.
Asita menyoroti tingginya harga tiket pesawat domestik sejak sebelum masa liburan Natal dan tahun baru. ’’Ini turut menjadi masalah kita. Harga tiket sangat mahal, bahkan bukan hanya untuk destinasi kota wisata, tapi juga destinasi kota-kota besar. Naiknya bisa lebih dari 50 persen,’’ tegasnya.
Menurut Asnawi, dampak dari mahalnya tiket pesawat itu pun memukul mundur angka traffic wisatawan selama akhir 2018.
’’Descreasing-nya cukup tinggi. Biasanya, destinasi-destinasi favorit itu penuh, tapi sekarang mungkin hanya 60–70 persen,’’ papar Asnawi.
Dia berharap hal tersebut bisa menjadi perhatian bersama, baik dari pelaku industri penerbangan maupun pemerintah. Sebab, tren leisure cukup membaik setahun terakhir. Diperlukan dukungan dengan akses transportasi yang terjangkau untuk bisa menjaga tren positif pariwisata.
“Perlu ada kerja sama antara pelaku usaha wisata dan airlines. Karena kami kan bisa lebih leluasa menawarkan promo kepada wisawatan domestik dan mancanegara saat harga tiket airlines lebih terjangkau,’’ tuturnya.
Berbicara mengenai supply and demand, Asita setuju jika pemerintah menambah jumlah suplai penerbangan. Suplai untuk rute-rute ke luar Jawa, menurut Asnawi, masih tergolong minim. ’’Kalau suplai minim, kecenderungan bakal dikuasai airlines yang itu-itu saja,’’ ujarnya.
Kehadiran Merpati Airlines yang come back tahun ini disebut Asnawi sebagai kabar baik. Terutama karena Merpati dikenal sebagai maskapai penerbangan spesialis jalur-jalur penerbangan perintis. (Jawa Pos/JPG)