eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana, ke proses diluar peradilan pidana (diversi) yang digagas Unit PPA Polresta Pontianak dan Balai Pemasyarakatan (Bapas) gagal, Kamis malam (11/4). Namun, masih terbuka dua kesempatan serupa di tingkat Kejaksaan.
Penanganan perkara hukum penganiayaan terhap AU, pelajar SMP yang pelakunya melibatkan tiga sisiwi SMA, yaitu EC, 17, TR, 17, dan LL, 17, dipastikan berlanjut ke proses peradilan anak.
Upaya diversi atau mediasi yang coba dilakukan oleh Unit PPA Satreskrim Polresta Pontianak bersama Bapas, Kamis malam (11/4), tak berhasil menemukan titik damai.
Pihak korban melalui pengacaranya yang diketuai oleh Daniel Edward Tangkau menegaskan, telah menolak upaya diversi tersebut. “Hasil pertemeuan diversi, yang dipimpin oleh ibu Kanit, ini gagal. Kita tolak. Persoalan ini tetap lanjut sampai tingkat pengadilan,” ujar Daniel.
“Jadi kita tidak mau menerima diversi, yang hanya menyelesaikan diluar pengadilan saja,” timpalnya.
Menurutnya, penolkan upaya penyelesian melalui mekanisme diversi adalah permintaan langsung pihak keluarga korban atau klinennya. “Itu diluar rencana kami. Karena pihak keluarga yang anaknya masih sakit, tadi sudah berpesan kepada kami lakukan sesuai hukum yang berlaku,” ucapnya.
Menurutnya, jika mekanisme diversi yang difasilitasi Unit PPA Satreskrim Polresta Pontianak dan Bapas disetujui, artinya perkara itu bisa dianggap selesai. “Tetapi kita tolak. Jadi tetap lanjut sesuai hukum yang berlaku. Soal putusan berapa lama, bebas atau bagaimana, itu urusan hakim,” ujarnya.
Ia menegaskan, upaya proses hukum sampai ke tingkat pengadilan perlu dilakukan untuk kasus ini. Supaya ada efek jera. Sekaligus bisa menjadi pelajaran untuk anak-anak ‘nakal’. “Ini kita lakukan untuk memberikan efek jera kepada anak-anak nakal seperti ini. Kita berdebat lah di pengadilan. Untuk membuktikan siapa salah dan siapa benar. Kita mau ada wujud keputusan hukum dari pengadilan,” tegasnya.
Keluarga korban, lanjut Daniel, sampai saat ini memang kekeh, ingin mencari keadilan melalui proses persidangan. Sebab, perbuatan pelaku sudah dianggap sangat brutal.
Perkara penganiayaan yang dialami AU, menjadi perhatian publik. Karena itu, polisi pun bekerja cepat menangani persoalan itu.
Kamis (11/4) kemarin, setidaknya lebih dari 10 saksi sudah diperiksa oleh penyidik. Termasuk, satu saksi kunci, PP. Yang merupakan sepupu korban. Yang menyaksikan kejadian dugaan penganiayaan tersebut.
Kapolresta Pontianak, Kombes Pol Muhammad Nasir Anwar mengungkapkan, berdasarkan kesaksian PP, tidak ada penganiayaan yang menyerang alat vital korban. “Jarak saksi PP saat kejadian, 1 meter dari korban,” ungkap Muhammad Nasir, saat diwawancarai wartawan di Mapolresta Pontianak, Kamis malam (11/4).
Lebih lanjut, Kapolres mengungkapkan, dari keterangan PP menyatakan, pelaku EC melemparkan botol berbahan plastik ke arah korban. Setelah itu, EC menjambak rambut dan menendang badan korban.
Tak berhenti sampai disitu, satu rekan EC, yaitu TR ikut memukul wajah korban. Dan menimpa kaki korban hingga korban tak bergerak. “Kemudian LL (rekan EC dan TR, red) menendang wajah korban. Dan melempar sandal ke arah korban. Tidak ada (saksi PP, red) melihat adanya aniaya pada kemaluan korban,” tegasnya.
“Ini hasill konfirmasi tehadap PP yang menyaksikan peristiwa itu,” timpalnya.
Sedangangkan pengakuan korban yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Awal, kata Anwar, menyatakan bahwa, korban dijambak dan ditendang di bagian punggung belakang oleh EC.
Setelah itu, korban mengaku dibenturkan kepalanya di aspal oleh EC. Dan lehernya dirangkul oleh TR. Lalu disikut dibagian perut. Begitu pula pada daerah kemaluan korban ditekan-tekan. Kemudian setelah itu, korban ditendang oleh LL. “Ini rangkuman keterangan dari korban. Dan saat ini kita belum melakukan BAP tambahan. Namun, ada beberapa lagi yang harus kita konfrontir ke korban,” katanya.
Anwar menambahkan, pengakuan dari salah satu pelaku, DC, memang mengakui bahwa ia memukul korban sebanyak dua kali. Pada jidat korban. Kemudian, EC juga mengakui perbuatannya menjambak rambut korban. Penganiayaan yang dilakukan EC terhadap korban itu terjadi di Jalan Sulawesi sebagai tempat kejadian perkara (TKP) pertama. Tepatnya di belakang pavilion pada tanggal 29 Maret, siang.
Setelah itu, diwaktu yang hampir bersamaan, peristiwa penganiayaan yang dialami AU berlanjut ke Taman Akcaya.
Di TKP kedua itu, TR mendorong, menarik rambut, dan memukul leher korban. Setelah itu, TR juga menendang bagian bahu korban. “Ini pengakuan TR,” katanya.
Anwar menyatakan, semua keterangan-keterangan tersebut, akan dikonfrontir dan diuji. Jika ada kesaksian dan keterangan yang tidak sesuai, tentu ditahap rekontruksi nanti akan terungkap semua. “Kita akan lakukan rekonstruksi. Jadi benar-benar siapa dan berbuat apa. Perannya dimana. Posisinya dimana. Nanti peran masing-masing akan kelihatan. Sehingga kejanggalan keterangan yang tidak berkesesuaian, akan kelihatan,” tegasnya.
Anwar pun menegaskan, sampai saat ini tidak ada penambahan tersangka baru terkait kasus itu. “Hanya tiga saja,”pungkasnya.
Sementara itu, kuasa hukum pelaku, Deni Amirudin mengungkapan, pihaknya menerima hasil diversi yang dipimpin Kanit PPA Polresta Pontianak, Iptu Inayatun Nurhasanah dan Bapas.
Dia melanjutkan, saat proses diversi, hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) oleh Bapas memberikan rekomendasi, agar ketiga anak yang berhadapan dengan hukum diberikan sanksi sosial, berupa pelayanan masyarakat selama tiga bulan di lapas. “Itu hasil putusan Litmas yang dilakukan lapas selama dua hari ini terhadap perkara ini,” katanya.
Hal tersebut lanjut dia, mengingat pidana yang dituduhkan kepada ketiganya tidak memenuhi hukuman 7 tahun penjara, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), serta bukan pengulangan pidana.
Selain itu, pertimbangan dari Litmas yakni penyesalan pelaku, anak yang berhadapan dengan hukum, maupun kata dia, kesanggupan orangtua pelaku untuk betul-betul mendidik anaknya dan permohonan maaf tentunya.
Akan tetapi, hasil diversi ini ditolak oleh pihak keluarga korban, yang diwakili oleh pengacaranya. “Sehingga dengan ditolaknya diversi, maka prosesnya akan berjalan dengan dilimpahkan kepada kejaksaan,” ungkap Deni.
Meskipun diversi gagal, Deni mengungkapkan, masih ada dua tahap diversi lagi yang akan dilakukan. “Kalau disini gagal, ada ditingkat kejaksaan. Kalau pun gagal, wajib dalam persidangan pengadilan dilakukan, sebagaimana diatur dalam UU SPPA,” terangnya.
Dia menekankan, proses diversi bukanlah upaya yang diinginkan pelaku, keluarga dan kuasa hukumnya. Akan tetapi lanjut dia, proses ini memang sudah diatur dalam UU SPPA. “Diversi sudah ditentukan dalam UU SSPA, dimana setiap anak yang berhadapan hukum, wajib dilakukan diversi,” tuturnya.
Akan tetapi diversi juga memiliki syarat-syarat dan ketentuan, Pertama, ancaman pidananya tidak boleh melebihi tujuh tahun. Kedua, bukan tindak pidana pengulangan. “Sehingga dalam kasus ini telah memiliki unsur, sehingga penyidik bersama Litmas Lapas melakukan diversi kemarin malam,”paparnya.
Deni melanjutkan, perlu untuk dipahami, bahwa diversi yang dimaksud, bukanlah upaya berdamai. Menurutnya, diversi tidak menggugurkan pidana dari pelaku. “Diversi yang dimaksud adalah bagaimana menyelesaikan perkara pidana anak dengan cepat diluar persidangan, bukan berarti mendamaikan, tidak,” tegasnya.
Selama ini, kata dia, memang banyak kesalah pahaman, yang menyebut bahwa diversi diterjemahkan mendamaikan. “Diversi bukan mediasi, tapi menyelesaikan perkaranya,” ujarnya.
Dia berujar, dalam kasus pidana anak yang ancaman hukumanya dibawah tujuh tahun, dan mereka tidak melakukan pengulangan pidana serupa, sangat berbeda penerapannya dengan pidana umum. “Kalau pidana umum (memberikan sanksi) paling berat, seberat-beratnya. Kalau pidana anak itu seringan-ringannya,” ungkapnya.
Kalau pun memang mereka harus dipenjara, itu adalah pilihan dan putusan terakhir yang dilakukan. Dia mengaku sangat memahami gejolak yang ada ditengah publik terhadap kasus ini. Untuk itulah dalam kesempatan diversi, pihaknya juga turut menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian dan musibah ini. “Karena dalam pidana anak, jangankan korban, pelaku pun dianggap korban karena anak dianggap belum cakap hukum, karena dia belum manusia yang betul-betul memiliki kebebasan untuk melakukan hukum,” timbalnya.
Dia berujar, bahwa pelaku tetap akan pendapatan pendidikan sebagaimana haknya sebagai anak , sebagaimana diatur dalam UU SPPA. “Harus, karena haknya dilindungi oleh UU. Siapa yang menghalangi hak sekolahnya, berhadapan dengan UU, bukan berhadapan dengan anak,” jelasnya.
Deni menuturkan, dia juga mendengar ada sanksi-sanksi moral yang diterima pelaku, bahkan ada sekolah-sekolah yang menolak mereka. “Untuk itu kami mengimbau, jangan seperti itu. Kasus ini belum ada kepastian hukum. Keputusan hukumnya apa, tidak seberat apa yang kita bayangkan,” terangnya.
Pihaknya juga meminta masyarakat untuk tidak menghukum pelaku dengan menyebarkan berita-berita yang tidak benar. “Bahwa sampai saat ini hasil visum negatif, tapi bentuk pidana ada, walaupun harus dibuktikan lagi kebenarannya di hukum formil pengadilan pidana anak,” paparnya.
Da menuturkan, apabila melihat sanksi moral yang diderita anak yang berhadapan dengan hukum ini lebih berat. Sebeb, mereka telah menjadi tranding tropic mendunia. “Telah banyak yang menghujat mereka, mereka dituduh anak pejabat, dan lain sebagainya dan berkenaan pengrusakan alat kelamin yang itu tidak benar, dan mohon diluruskan,” ungkapnya.
Kemudian, dia berharap, semua pihak menghukum pelaku sesuai kadar kesalahan yang mereka lakukan. “Kami berharap kesalahannya harus sesuai dengan kadar apa yang ia lakukan. Hukumlah dia sesuai dengan kadar yang ia perbuat. Jangan dihukum berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat yang belum melalui pembuktian secara materil,” pungkasnya
Terpisah, salah satu pengacara AU, Umi Kalsum menegaskan, pihak korban menolak hasil visum yang ada. Alasannya bahwa sampai sekarang dari keluarga korban belum menerima secara fisik nyata hasil visum baik yang pertama maupun kedua. “Kita lihat yang sekarang ini yang ‘digoreng’ di masyarakat bahwa ada visum kedua yang hasilnya seperti tidak ada goresan, lebam dan lainnya. Kami punya bukti gambar lebam. Kemudian, anak kami ada di rumah sakit,” ujar Umi seraya menunjukkan foto kaki korban yang lebam, Jumat (12/4) di RS Promedika Pontianak.
Menurut dia, apakah dengan ada bukti, maka itu merupakan rekayasa. Diaku Umi Kalsum, bahwa polisi memang tidak pernah meminta gambar kepada pihaknya. Sementara mereka menunggu interaksi dari aparat penyidik. “Kaki dan tangan, tangan coba lihat, ini sudah berapa hari luka. Ini posisinya di kasur rumah sakit,” tegas dia.
Menurut dia, pihak keluarga korban menyangkal atau membantah apa yang telah dibeberkan pihak kepolisian. Sebab, korban ada di rumah sakit, tapi dikatakan tidak ada terjadi apa-apa. “Tidak ada memar, perlukaan. Bagaimana profesional tim medis, kalau anak kami dibilang tidak ada apa-apa, sedang anak kami ada disini (RS, red). Kalau fisiknya tidak tampak, tapi psikisnya kan mereka bisa tahu. Kalau psikis, mereka ada disini. Jika tim medis merasa anak kami baik-baik saja, seharusnya dikeluarkan dari sini, bukan tetap ada disini,” ucap dia.
Pihaknya pun tetap mau memproses hukum. Dan tetap meminta visum ulang, mungkin dengan gambar yang mereka miliki tersebut, sehingga ada yang lebih profesional dan spesifik cara visumnya. “Visum katanya dua kali, tapi kami tidak dapat satu dan dua pun,” lanjutnya.
Dia mengaku sudah bertemu kepala rumah sakit, tapi yang disampaikan katanya yang bisa mendapatkan hasil visum cuma polisi, jaksa dan hakim. Tapi menurut dia, seharusnya visum dibuka di ruang persidangan, saat proses pemeriksaan. “Karena pengalaman saya sebagai pengacara. Tapi ternyata ini sudah timbul di masyarakat hasil visum ini. Belum dalam persidangan kok. Sudah dijelaskan apa-apa. Apakah itu tidak mempengaruhi pendapat – pendapat sosial masyarakat, sehingga masalah ini semakin viral dan panas,” urai dia.
Dia berharap, pihak yang berkompeten maupun yang tidak harus menutup mulut baik-baik. Serahkan kepada proses hukum yang benar.
Diketahui, korban masuk rumah sakit tanggal 6 April dan dilakukan visum, tapi hasilnya belum diterima. Bahkan, lanjut Umi, pihak korban belum diberitahu hasil visum. Termasuk, rekam medis. “Paling mereka bilang darahnya turun, dalam bentuk kertas segala macam, kita tidak ada lihat. Yang kita percaya bukan kata-kata. Dalam bentuk formal, tertulis, hitam putih, itu baru menjadi sesuatu yang benar-benar hak yang kita lihat,” ujarnya.
Saat masuk ke RS, dia mengungkapkan, kondisi korban memang dalam keadaan lebam-lebam. Itu menurut dia, ada dokter yang melihatnya.
Usai dianiaya, dia mengatakan, korban sempat sekolah. Menurut dia, korban menyembunyikan apa yang telah terjadi. Padahal, telah mengalami pusing – pusing dan kepala benjol. “Kenapa dia harus menunjukkan dirinya baik-baik saja, karena dia memang menutupi ini dari ibundanya. Kemudian dia sudah diancam untuk tidak mengatakan kepada siapapun, kalau tidak kenak kau, apa itu bahasanya,” ucap dia.
Dia melanjutkan, saat korban di rumah tanggal 4 April sudah muntah-muntah lendir kuning. Lalu ditanya oleh ibunya, ada apa. Lanjut Umi, kemudian ada salah satu kakak sepupunya menceritakan bahwa korban dipukul. “Karena sudah tahu anaknya dipukuli dari cerita anaknya, besoknya baru lapor polisi, dan lusanya masuk rumah sakit,” ungkap dia.
Sementara kuasa hukum AU lainnya, Daniel Edward Tangkau menjelaskan, kasus ini memang menjadi perhatian. Bahkan ekstra perhatian. Sebab, komentar dari beberapa orang bahwa tidak masalah, biasa – biasa saja tapi diakui dia, pihak keluarga berkeberatan dengan hal itu. “Karena keluarga waktu masuk Rumah Sakit Promedika mengatakan, bahwa kondisi memang lebam, sakit. Sempat keluar dari rumah sakit dan masuk lagi,” sebut dia.
Dia menegaskan, hal ini menjadi perhatian, bahkan pihaknya akan menanyakan dan meminta visum persurat kepada kepolisian, termasuk rekam mediknya. “Karena memang yang berhak meminta visum itu kan polisi, rekam medik juga. Kita bagaimana pun meminta melalui polisi, supaya rumah sakit menyerahkan kepada keluarga,” pungkasnya.
Laporan: Abdul Halikurrahman, Andi Ridwansyah, Maulidi Murni
Editor: Yuni Kurniyanto