Adiksi Gadget dan Jam Wajib Belajar Siswa

Oleh : Y. Priyono Pasti

ilustrasi - net

eQuator.co.id – Arus deras perubahan zaman, kemajuan iptek, hedonisme, konsumerisme, materialisme dan adiksi (ketergantungan)  gadget yang belakangan ini kian memprihatinkan menjadi tantangan aktual bagi keluarga. Di tengah era zaman yang demikian, keluarga akan mengalami berbagai persoalan dan tantangan besar dalam menghayati nilai-nilai dasar dalam kehidupannya. Termasuk nilai-nilai religiusitas dan pola asuh  pendampingan tumbuh kembang anak-anaknya.

Dalam konteks adiksi gadget, irama hidup sebagian besar keluarga (saat ini) hanya disibukan dengan  bermain HP (Smartphone Android) bermedia sosial (medsos), sehingga aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama dan sharing masalah iman dalam keluarga terabaikan.

Belakangan ini, medsos telah menyatu dengan denyut kehidupan  mayoritas keluarga dan bahkan masyarakat Indonesia. Dalam Digital in 2018 yang dirilis We Are Social,  Indonesia menempati peringkat ketiga untuk jumlah waktu yang dihabiskan di medsos setiap hari. Rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit per hari untuk pelbagai aktivitas di medsos (Angga Indraswara, Kompas, 25/3/2019).

Terkait adiksi ber-medsos ini, sekitar satu windu yang lalu, Rhenald Kasali dalam (Cracking Zone, 2011) mencatat aktivitas penggunaan Smartphone di kalangan masyarakat ini sebagai berikut; Stay in contact (65%), kepentingan bisnis (49%), memperluas pergaulan (36%), simbol status sosial (49%), dan mengatasi “gegana” (36%).

Realitas empirik yang terjadi belakangan ini, di tengah kesibukan orang tua memenuhi tuntutan kehidupan zaman now, tak banyak orang tua yang memiliki waktu luang berkualitas untuk menyentuh hati anak-anaknya. Komunikasi kultural orang tua-anak terabaikan. Sebagai ganti kehadiran dan sentuhannya, banyak orang tua membelikan dan memberikan Smartphone Android dengan berbagai aplikasinya untuk anak-anaknya.

Di tengah kondisi yang demikian, anak memang menjadi anteng dan penurut karena sibuk dengan gadget. Akan tetapi, ada nilai-nilai kehidupan dan kebersamaan yang hilang di antara anggota keluarga. Fakta yang terjadi di tengah keluarga kita saat ini, gara-gara adiksi gadget itu banyak anak dan orang tua kehilangan keakraban, anak kehilangan daya berpikir kritis, dan meminjam istilah Ketua Rumah Amalia, Muhammad Agus Syafii, banyak anak kehilangan kampus kehidupan dan kehilangan ‘dosen sejatinya’, yaitu ayah atau ibu.

Kebiasaan orang tua menenangkan anak dengan gadget akan membuat anak semakin bergantung dan mengalami adiksi pada gadget. Kita semakin prihatin mengingat saat ini (sebagaimana diungkapkan oleh M. Agus Syafii saat mengikuti pameran 5th Banten Campus Expo 2019 di Mall Teras Kota, BSD Tangsel yang berlangsung 25-27 Maret 2019 anak-anak kita terjajah oleh gadget.

Hasil riset, anak usia dua tahun sudah lima persen kenal gadget ketika menyusui dengan ditunjukkan video. Bahkan anak empat tahun tak mau makan kalau tak dibukakan YouTube. Kondisi ini semakin parah ketika banyak orang tua dan juga anak-anaknya sibuk ber-Whatsapp ria meskipun sedang makan bersama. Kita sungguh hidup di dunia maya. Kita kehilangan sisi kemanusiaan kita yang paling mendasar, kasih sayang satu sama lain. Gadget telah menggantikannya.

Fenomena sosial lainnya yang kini kian memprihatinkan terkait gadget ini, banyak anak kita yang mengalami adiksi permainan daring (Game Online). Memang game online bisa menjadi sarana rekreasi, pelipur lara, melepas segala kesuntukan dan kepenatan. Namun, ternyata  (apalagi berlebihan) bisa membuat orang kecanduan yang berdampak buruk pada perkembangan psikologis, pendidikan, kehidupan personal dan sosialnya.

Menyadari dampak buruknya, belum lama ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan kecanduan game tersebut ke dalam kategori adiksi perilaku dalam International Classification of Disease (ICD) edisi ke-11. ICD merupakan klasifikasi diagnosis penyakit, gangguan, dan luka yang standar dipakai secara global, baik untuk keperluan klinis maupun riset.

WHO mendefinisikan kecanduan sebagai pola perilaku game (online atau video) yang ditandai dengan ketidakmampuan pemainnya mengontrol hasrat bermain dan menjadikan game sebagai prioritas utama dibandingkan aktivitas lain. Meski memberikan dampak negatif perilaku, itu terus dilakukan secara berulang. Pola perilaku itu berdampak buruk pada kehidupan personal, sosial, pendidikan, dan pekerjaan (Kompas, 23/6/2018).

Game ini umumnya dikembangkan dalam tingkat kesulitan tertentu agar tetap menarik, menantang, membuat penasaran dan akhirnya memberikan kesenangan. Ini akan mencekram otak semakin dalam pada adiksi.

Menurut Iman Firmansyah, psikiater dan juga Kepala Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), kecanduan game merupakan kecanduan perilaku (behavioral addiction). Meski bersifat menyenangkan, dalam jangka panjang game membuat candu akan menyebabkan kerusakan di otak, bahkan menimbulkan kecemasan dan depresi.

Iman mengingatkan (20/6/2018), game terutama online atau video, akan memengaruhi ventral tegmental area (VTA) pada otak yang berperan mengeluarkan dopamine, hormon yang membuat kita merasa senang dan nyaman. Sensasi menyenangkan ini kemudian akan direkam dalam pusat memori pada otak. Begitu terekam dalam memori, kesan menyenangkan akan sulit dihilangkan. Pusat memori di otak tidak bisa lagi menikmati kesenangan yang lain. Otak akan terus menagih untuk terus bermain game karena aktivitas itu memberikan kesenangan tersendiri. Jika demikian kondisinya, saraf otaknya telah mengalami kerusakan. Bagaimana kondisi ini bisa diatasi?

Peran Orang Tua

Adiksi gadget, diantaranya game online yang dapat memicu kerusakan otak anak-anak kita tentu harus diwaspadai dan dihindari. Di keluarga, peran orang tua dalam mengantisipasi bahaya game ini adalah kemutlakan. Orang tua, melalui komunikasi kultural yang intensif dan sehat harus menaruh perhatian terhadap berbagai aspek kehidupan anak-anak agar mereka mendapat kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi insan-insan  yang cendekia, berohani dan memiliki integritas pribadi yang unggul.

Salah satu hal penting dan mendasar yang bisa dilakukan orang tua untuk menciptakan kebersamaan keluarga tanpa gadget adalah membuat komitmen (kesepakatan bersama) bahwa ketika di rumah pada jam-jam tertentu lupakan dan simpan gadget.

Ciptakan kesempatan dan kebersamaan yang berkualitas agar orang tua dan anak bisa ngobrol santai berkualitas edukatif. Sesibuk apapun pekerjaan orang tua, sediakan waktu untuk  bermain, rekreasi bersama, makan bersama antara orang tua dan anak. Jika ruang-ruang ini bisa diciptakan, keakraban orang tua dan anak sebagai faktor paling penting dalam kehidupan berkeluarga bisa diwujudkan. Jika hal ini bisa diwujudkan, adiksi gadget di kalangan anak-anak kita  bisa dieliminasi.

Hal lain yang mesti disepakati antara orang tua dan anak adalah menentukan jam wajib belajar bagi anak-anaknya. Dalam rentang jam wajib belajar itu, TV dimatikan, gadget disimpan, suasana tenang diciptakan. Dengan demikian, anak akan serius dan fokus dalam belajar karena orang tua ikut memotivasi dan mendukung. Orangtua memberikan teladan pada anak-anaknya.

Selain dukungan dari pihak orang tua, dukungan dari pemda dan dinas pendidikan dan kebudayaan sungguh diperlukan. Rekomendasi penulis, pemda atau pihak dinas pendidikan dan kebudayaan bisa memasang baliho-baliho yang berisi sosialisasi jam wajib belajar siswa di tempat-tempat strategis. Imbauan tersebut mengajak warga untuk mendorong anak-anaknya memanfaatkan waktu belajar bagi anak  secara efektif.

Anak adalah harapan keluarga dan sekaligus masa depan bangsa. Perlakuan, pendidikan dan permainan yang tepat sangat diperlukan dalam rangka membangkitkan roh kreativitas dan optimalisasi kemanusiaan anak sesuai dengan proses pertumbuhan dan perkembangannya. Karena itu, upaya meminimalisir adiksi gadget dan menentukan jam wajib belajar di kalangan siswa adalah keniscayaan.

Dengan cara yang demikian akan lahir generasi peradaban bangsa yang militan, berkarakter, mandiri, disiplin, bertanggung jawab, bertoleransi, kreatif-inovatif, pandai mengambil keputusan dan memiliki jejaring sosial luas sebagaimana tuntutan abad ke-21.

*Alumnus USD Yogya/Kepala  SMP /Guru SMA Asisi, Pontianak