Pemuda Rebut Kekuasaan dari Generasi Tua

Pasca Jokowi dan Prabowo Bertarung di Pilpres 2019

Ilustrasi. by monitor.co.id

Anak-anak muda harus mulai mengambil peran dalam situasi kebangsaan, ekonomi, sosial dan politik saat ini. Pasca generasi Jokowi dan Prabowo bertarung di Pilpres 2019 nanti, diyakini sebagai awal kekuatan generasi muda mengambil peran. 

Rizka Nanda, Pontianak

eQuator.co.idAnak muda harus turun beramai-ramai mengambil, merebut dan mengisi posisi kepemimpinan yang saat ini banyak diisi oleh generasi tua. “Karena kekuasaan itu tidak pernah diwariskan, kekuasaan harus kita (anak muda, red) rebut dan harus ada peradaban politik dan kekuasaan yang baru dibangun oleh generasi muda. Kalau generasi tua kan secara energi dan produktivitas sudah mulai berkurang. Makanya, ayo kita ambil dan rebut ini secara masif dan bersama-sama,” kata Owner Warkop Solidaritas, Moch Sab’in, Kamis (4/4).

Ia melanjutkan, jika suara anak muda ingin didengarkan, maka mereka harus menjadi aktor, bagaimana membuat bangsa ini lebih baik kedepan. Pemuda harus meyakini diri, bahwa anak muda bisa memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara, khusus untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Indonesia hari ini kita yakini memiliki potensi-potensi generasi yang sangat luar biasa. Hanya saja, kita masih terjebak pada pola klasik yang dibangun dalam politik saat ini,” ujar dia.

Menurutnya, masih banyak anggapan yang mengucilkan peran pemuda dalam politik di Indonesia. Anak muda selalu dianggap tidak berpengalaman, minim fasilitas finansial atau materi. Padahal, dinamika politik yang berkembang, hal itu bukan merupakan urgensi.

Ia beranggapan, bahwa sumber daya pemuda Indonesia hari ini menjadi penentu masa depan bangsa kedepan. Dimana anak muda saat ini dianggap kaya akan semangat, daya inovasi dan kreativitas. “Tentunya tenaga muda sangat luar biasa untuk kita eksplor. Kita harus sudah coba membidik tentang regenerasi total kepemimpinan,” jelas dia.

Tentu yang harus dipersiapkan untuk anak muda masuk kedalam ranah-ranah potensi kepemimpinan, jiwa semangat pemuda harus difasilitasi dan membekalkan mereka dengan literasi, berbagai macam konsep, termasuk membekali anak muda dengan pemahaman-pemahaman kebangsaan dan kenegaraan.

Semangat anak muda harus mampu diterjemahkan dalam semangat kebangsaan yang memang berlaku pada semangat gotong royong, solidaritas dan dibangun sedini mungkin. “Sehingga mereka mempunyai rasa dan tanggung jawab, bahwa mereka adalah putra bangsa atau anak kandung Indonesia yang mampu membawa bangsa ini lebih baik dan maju kedepan,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua DPC GMNI Pontianak, Rival Aqma  menyayangkan pemuda dan mahasiswa Indonesia saat ini masih dijadikan objek politik. Potensi-potensi anak muda sebagai pemimpin masa depan, tertutupi oleh generasi yang berebut kekuasaan semata. Padahal, kata dia, pemuda dengan idealisme merupakan investasi terbesar bangsa. “Perkembangan politik saat ini, jarang memberikan ruang kepada anak muda untuk mengeksplor diri. Anak-anak muda dianggap masih harus menjadi pengikut angkatan tua,” tutur dia.

Disisi lain, pemuda saat ini masih apatis dengan persoalan bangsa dan dianggap masih belum mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi sekarang. Oleh karena itu, dia mengajak generasi muda untuk bersama-sama bergerak masif dan menyatukan persepsi, mempersiapkan orang-orang yang mempunyai potensi yang nantinya menjadi pemimpin bangsa kedepan. “Generasi muda banyak terlena dengan kemajuan teknologi, sehingga over dalam menanggapi isu yang ada. Tentu ini menjadi tantangan, maka kedepan Indonesia sebagai negara besar, harus mampu mempersiapkan SDM yang baik,” pungkasnya.

Sedangkan Ketua Komunitas Anak Negeri Indonesia, Atho Lose mengatakan, potensi anak-anak muda harus sudah diasah dari sejak dini, sehingga para pemuda mampu menghadapi tantangan zaman kedepan.

Karena menurut dia, bangsa yang besar harus mampu menerobos tantangan globalisasi yang telah menanti di depan. Oleh karena itu, dia mengajak anak-anak muda berpikir kedepan, jangan hanya bermuara pada situasi politik yang ditentukan pada 17 April 2019. “Bangsa ini harus berjalan terus, terlepas siapa yang menang pada Pemilu 2019. Kalau berpikir pada 2019, pastikan bahwa anak muda yang mengambil peran lebih banyak dan menjadikan generasi tua untuk pensiun,” tutur dia.

Tentu tantangannya, berpikir maju akan datang dari generasi tua, dimana mereka akan terganggu pada visi-visi yang jauh kedepan, apalagi dalam hal ini sudah berbicara mengarah pada tampuk kekuasaan.

Secara fakta, sejarah bangsa Indonesia sejarahnya pemuda. Puzzle-puzzle perjalanan bangsa Indonesia sangat dominan dipengaruhi oleh pemuda. Seperti pergerakan 1908, 1928 yang berpuncak pada kemerdekaan 1945, dimana peristiwa Rengasdengklok antara golongan tua dan muda. Belum lagi era 1965 dan 1966, berlanjut 1970-an dan terpuncak pada 1998. “Namun setelah 21 tahun reformasi, harusnya sudah berpikir ini adalah sejarah anak muda. Perkembangan kedepan, saya rasa pemimpin bangsa akan dipegang oleh pemimpin berusia muda,” jelas dia.

Jika dianalisa potensi-potensi anak muda Indonesia saat ini, sangat luar biasa. Mengarah pada regenerasi, maka bicara pada pembaharuan semangat baru. Tinggal bagaimana semua mempersiapkan kader-kader muda bangsa untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan baik kedepan.

Hanya saja tantangan itu juga harus dipikirkan, seperti kemajuan teknologi yang tidak terbendung, ditambah lemahnya literasi anak muda saat ini. “Penguatan literasi kita harus sudah dimulai. Bagaimana kita ingin mempersiapkan kepemimpinan nasional kita di tahun 2024, dan menuju 2045. Kalau tanpa literasi,” jelas dia.

Masalah selanjutnya, minimnya kepedulian generasi muda saat ini. Perkembangan teknologi yang memudahkan masyarakat berkomunikasi dan mendapatkan informasi, menjadikan masyarakat lebih kepada individualis. “Tentu hal ini juga harus dipikirkan, jangan sampai dunia maju, tapi secara pemikiran kita jauh tertinggal,” ujar dia .

Kepemimpinan dimaknai secara struktur dan kultural. Secara struktur, anak muda merebut ruang-ruang kebijakan dan cultural, adalah bagaimana mempengaruhi basisnya masa untuk bisa berjuang bersama.

Yang terpenting juga, bagaimana mempersiapkan pemimpin yang mempunyai rasa. Karena pemimpin tanpa rasa, tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. “Rasa melalui pendekatan kepedulian dan teoritik itu yang bisa melahirkan jawaban atas persoalan yang ada. Maka pemuda hari ini harus dibekali dengan penguatan literasi dan kepedulian,” pungkasnya.

Editor: Yuni Kurniyanto