eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. April 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditargetkan menyelesaikan kajian status hukum sejumlah game online. Salah satunya, Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG) yang memicu pelaku penembakan di dua masjid di Selandia Baru. Secara kejiwaan, game ini merupakan kompensasi pemindahan stres.
Sejak santer dikabarkan MUI akan menerbitkan fatwa haram terhadap game yang berpotensi memicu kekerasan dan terorisme, seolah berseloroh, anak-anak gaul kini sering menyebut PUBG sebagai game haram. Kenyataannya, mereka tetap enjoy memainkan game tersebut.
Salah seorang mahasiswa perguruan tinggi di Pontianak, Abi merupakan pemain aktif PUBG. Meski kelak MUI sah mengeluarkan fatwa haram, dirinya tidak merasa keberatan dan tidak ambil pusing. “Kalau menurut aku biase jak sih, karena toh aku masih bisa main juga. Tapi aku ndak masalah sih hal kaya gitu,” ujar Abi kepada Rakyat Kalbar, Jumat (5/4).
PUBG menjadi permainan sejuta anak muda, tentu memiliki dampak bagi para pemainnya. Abi yang sudah memainkan PUBG sejak 6 bulan yang lalu menceritakan pengalamanya. “Paling dampak yang kerasa kecanduan. Terus kalau pelajaran jadi lupa dengan tugas,” ucapnya.
Alasan lain para gamer (pemain game) bermacam-macam, mengapa terus memainkan PUBG. Dari mengasah keterampilan, menghilangkan bosan, sampai mendapatkan teman baru.
Meski merasa mendapat dampak negatif dari PUBG, kata Abi, ada juga dampak positifnya. “Keuntunganya sih kalau kita punya skill balak (hebat, red). Kalau skill bermainnye meningkat, kite bise buat konten di Youtube,” terangnya.
Para gamer tidak sadar bahwa kejiwaan mereka ikut terganggu, karena memainkan permainan sadis.
Terpisah, Psikolog Rumah Sakit Anugrah Bunda Khatulistiwa (ABK) Pontianak, Maria Nofaola SPsi MPsi ditemui Rakyat Kalbar menjabarkan hal-hal terkait permainan dalam PUBG. “Permainan ini dilihat dari perspektif psikologi lebih banyak mengarah pada pembunuhan, melukai, dan juga hal-hal yang menyakiti,” ujar psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Dijelaskanya, permainan bergenre Bettle Royale ini bisa sampai mengubah emosi, perilaku dan sikap gamer. Menurutnya, permainan PUBG bahkan bisa semakin meningkatkan stres seseorang. “Game ini hanya kompensasi pemindahan stres. Jadi apapun yang menegangkan itu pasti mengakibatkan stress,” paparnya.
Tanpa disadari game PUBG juga ikut masuk dalam diri gamer. Itulah mengapa terkadang banyak kata-kata dan perilaku kasar yang sering dilakukan para gamer. “Sebab sensitifitas kita berkurang. Awalnya melihat hal yang melukai dan berdarah-darah ngeri, sekarang menjadi biasa saja,” tutur Nofaola.
Meskipun ada dampak positif berupa menambah kekompakan bersama teman dalam tim, pengembangan imajinatif, dan keseruan. Namun, hal ini cenderung tidak sesuai dengan kerugian yang bakal diterima.
Dikatankaya, game ini lebih cocok dimainkan oleh profesi yang menuntut keahlian mengunakan senjata dan strategi berperang seperti tentara, polisi dan security. “Serta juga pekerjaan yang membutuhkan imajinasi tinggi, seperti animator film. Jadi gak cocok sebenarnya PUBG untuk mahasiswa,” tambahnya.
Terakhir, Nofaola yang telah menjdi psikolog selama 11 tahun itu menyarankan, agar anak muda zaman sekarang lebih selatif memilih game. Akan lebih baik jika waktu luang digunakan untuk meningkatkan keahlian di bidang lain. “Contohnya musik, olahraga dan membaca buku, pasti lebih bermanfaat,” tutupnya.
Sementara itu, Ketua MUI Kalbar, Basri Har mengatakan, kini MUI Pusat di Jakarta masih melakukan kajian terkait fenomena game yang mengandung unsur kekerasan. “Kita di daerah tinggal menunggu hasil kajian MUI Pusat,” katanya dihubungi Rakyat Kalbar melalui sambungan telepon, Jumat (5/4).
Menurutnya, kajian tentang game yang berpotensi merusak mental generasi muda tersebut dilakukan, karena adanya desakan masyarakat. “Karena itu, memang hal ini perlu disikapi. Apakah nanti keputusannya berupa fatwa atau rekomendasi, kita tentu mendukung saja,” katanya. “Dari penjelasan Sekretaris MUI, sekarang masih dibahas secara bersama dengan Komnas Anak dan berbagai pihak, untuk diminta masukan,” tambahnya.
Pembahasan secara bersama tersebut, kata dia, merupakan langkah yang baik untuk menuju kesepakan bersama. Sehingga apapun sikap yang dikeluarkan nanti, bisa diterima semua pihak. Sehingga tak lagi timbul pro dan kontra. “Jadi, kalau lah memang game itu berbahaya dan bisa mempengaruhi mental anak, kita (MUI daerah, red) akan mendorong, sebaiknya ada sikap tegas,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan menjelaskan, secara umum, kualitas game tidak bisa disamaratakan. Di satu sisi, ada game yang positif yang memiliki nilai edukasi seperti logika maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Namun di sisi lain, ada juga game yang mengandung konten negatif seperti kekerasan, pornografi, ataupun menciptakan ketergantungan akut. “Ini harus ditolak sesungguhnya,” imbuhnya.
Amir menuturkan, saat ini pihaknya tengah meminta masukan dari bergagai pihak sebelum mengeluarkan fatwa terkait game online. Termasuk di antaranya ahli kesehatan dan psikologi. Sebab, game tidak hanya dilihat dari dampak sosialnya, melainkan juga efek terhadap penggunanya.
Secara substansi, kata dia, jika game sudah membuat penggunanya ketergantungan dan berakibat melalaikan tugas-tugas kesehariannya, maka bisa dinyatakan tidak baik. Sebab, sudah terbukti mendatangkan kerugian. “Sesungguhnya ya lebih banyak mudharat,” tuturnya.
Oleh karenanya, Amir menilai fatwa MUI harus segera diterbitkan. Harapannya, dengan fatwa tersebut masyarakat memiliki pencerahan dalam mendidik anak-anaknya.
Amir menyebut kajian membutuhkan waktu sekitar satu bulan. “Bahkan lebih cepat lebih baik kan. Supaya orang tidak bingung. Tidak ada keraguan, justru harus ada kepastian. Untuk apa? Untuk kemaslahatan, utama anak-anak muda kita,” ungkapnya.
Ketua Bidang Hubungan MUI Muhyiddin Junaidi menambahkan, dalam Islam, permainan atau olahraga yang mengasah kecerdasan dibolehkan. Namun jika banyak mudharatnya, maka otomatis dilarang. “Apabila mudaratnya, negatifnya lebih banyak, maka itu kita anggap bertentangan,” pungkasnya.
Laporan: Suci Nurdini Setiowati, Abdul Halikurrahman, Jawapos/JPG
Editor: Yuni Kurniyanto