Mengajak Golput Bisa Dijerat Pidana

ilustrasi. net

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Potensi ancaman maupun gangguan yang bisa menjadi permasalahan dalam Pemilu 2019. Mulai hoaks, politik uang, radikalisme, sampai terorisme. Khusus hoaks, salah satu yang diantisipasi adalah hoaks bernada ajakan untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Menko Polhukam Wiranto tidak menutupi adanya ancaman itu. ”Hoaks yang mengajak masyarakat untuk tidak datang ke TPS karena nggak aman dan sebagainya kan masih ada,” ungkap dia saat diwawancarai setelah mengisi acara di Jakarta, Rabu (27/3).

Menurut Wiranto, hoaks tersebut sangat menyesatkan. Sebab, petugas sudah memastikan bahwa TPS bakal dijaga. Bahkan, aparat keamanan dari Polri maupun TNI siap mengantar pemilik hak suara dari rumah sampai TPS. ”Ayolah datang ke TPS. Aman, aman, aparat keamanan akan menjaga,” tegas dia.

Wiranto juga menyampaikan bahwa pihak-pihak yang mengajak masyarakat untuk golput sama saja dengan mengacaukan pemilu. Sebab, ajakan itu bisa jadi mengganggu dan mengancam hak pemilik suara untuk menentukan pilihan masing-masing.

Apabila ajakan golput sudah dirasa masuk kategori mengancam, Wiranto mengingatkan, ada ketentuan dalam undang-undang yang juga bisa dipakai untuk menindak orang-orang di balik ajakan-ajakan golput tersebut. Pelaku bisa dijerat pidana. ”Indonesia kan negara hukum. Sesuatu yang membuat tidak tertib, yang membuat kacau, pasti ada sanksi hukumnya,” terang mantan Menhankam/panglima ABRI itu.

Terkait dengan potensi ancaman lain yang berdasar pada indeks kerawanan pemilu dari Bawaslu serta Polri, Wiranto memastikan bahwa semuanya sudah diantisipasi dengan baik. Misalnya, sambung Wiranto, di Papua perlakuannya tentu tidak sama dengan di Aceh. Pun demikian halnya di wilayah lainnya. ”Karena kerawanannya berbeda,” imbuh dia. Yang pasti, unsur keamanan maupun penyelenggara pemilu sudah siap.

Langkah-langkah antisipasi diambil supaya potensi ancaman yang sudah tampak sejak jauh hari bisa diredam. Sehingga tidak muncul ketika hari pemilihan tiba. Termasuk di antaranya ancaman di dunia siber. ”Tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia tak luput dari adanya potensi ancaman serangan siber,” timpal Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi.

Menurut Djoko, sejak Pemilu 2004, serangan siber sebenarnya sudah ada. Karena itu, bukan tidak mungkin pemilu tahun ini juga disasar untuk diserang melalui jalur siber. ”Potensi atau tren ancaman siber yang akan terjadi pada Pemilu 2019 di Indonesia adalah hack, leak, dan amplify,” ungkap dia.

Tiga kategori tersebut saat ini menjadi perhatian BSSN. Sebab, yang menjadi target bukan hanya penyelenggara pemilu. Peserta pemilu atau pemilih pun disasar.

Djoko menyampaikan, bila tiga kategori serangan tersebut dilancarkan secara masif dan tidak ditangkal atau dilawan, gangguan yang timbul sangat besar. Karena itu, BSSN juga terlibat untuk mengamankan jalannya pemilu sampai tuntas. Bukan hanya pada tahap pemilihan, tapi sampai tahap pelantikan kontestan terpilih.

Ada tiga strategi, terang Djoko, yang sudah dilaksanakan instansinya. Mulai penguatan keamanan aplikasi pemilu, penguatan infrastruktur teknologi informasi KPU, hingga edukasi berupa pengayaan literasi kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pemilu. Semua itu dilaksanakan BSSN bersama instansi lainnya. Selain KPU; Kemenkominfo, BIN, BPPT, dan Kemenlu ikut terlibat. Mereka dibagi dalam beberapa tim. Harapannya, strategi yang mereka terapkan berhasil menangkal semua ancaman siber. (Jawapos/JPG)